Hujan di Meja Tinta
Hujan di Meja Tinta
Mui’zzatin
Nufus Bidzikrillah
Siswi SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro
Tahun 1938, Desa Kramat Sari hanyalah sebuah titik kecil di peta Hindia Belanda, tapi di mata penduduknya, desa itu adalah dunia yang lengkap—dengan sawah berpetak-petak yang memantulkan cahaya matahari, deretan pohon kelapa yang bergoyang diterpa angin laut, dan pasar kecil yang selalu riuh setiap Senin dan Kamis.
Di tengah desa,
berdirilah Sekolah Rakyat Kramat Sari. Bangunannya sederhana, berdinding papan
kayu, beratap seng yang di sudut-sudutnya mulai berkarat. Jika angin laut
bertiup kencang, atap itu akan berderit, dan suara gemerisik papan terdengar
seperti orang berbisik-bisik di langit. Meja-meja kayu di dalam kelas penuh
goresan nama anak-anak, coretan angka, dan kadang bekas tinta yang tumpah.
Pagi itu, lonceng
sekolah yang terbuat dari potongan besi tua dipukul tiga kali oleh Pak Darmin,
penjaga sekolah. Anak-anak berlari dari segala arah: ada yang masih mengunyah
ketela rebus, ada yang menggendong adik karena harus mengantarnya dulu ke rumah
nenek, dan ada pula yang berjalan santai sambil membawa tas kain dari bekas
karung gula.
Maya duduk di bangku
paling belakang. Tubuhnya kurus, pipinya pucat, rambutnya disanggul sederhana
dengan pita lusuh. Sudah beberapa minggu ini ia sering absen. Demam datang dan
pergi, membuatnya ketinggalan pelajaran. Meskipun begitu, tatapannya tetap penuh
cahaya—seperti bintang kecil yang menolak padam meski langit dipenuhi awan
tebal.
“Anak-anak, minggu
depan kita ada tugas penting. Buatlah cerita pendek. Temanya bebas, tapi
tulislah dengan rapi,” ujar Bu Sulastri, guru bahasa, sambil mengetuk papan
tulis dengan penggaris kayu.
Beberapa murid
bersorak kecil, sebagian langsung berbisik dengan teman sebangku.
“Aku mau nulis cerita
tentang harimau di hutan!” bisik Surip kepada Joni.
“Aku tentang ayahku
yang ikut kerja paksa di jalur kereta,” jawab Joni lirih.
Maya hanya tersenyum
tipis, lalu menunduk. Tangan kirinya menggenggam pensil yang sudah pendek,
hasil pinjaman dari tetangga. Di kepalanya, banyak ide berseliweran, tapi
tubuhnya lemah.
Kehidupan sekolah di
masa itu tak pernah sepi dari suara. Di luar kelas, ayam-ayam kampung kadang
masuk mencari remah makanan. Dari kejauhan, terdengar bunyi tok… tok… tok
lesung ditumbuk para ibu di dapur, bercampur suara perahu nelayan yang baru
pulang dan menabrak ringan dermaga kayu.
Saat istirahat,
anak-anak berlarian di halaman tanah. Ada yang bermain engklek, ada yang saling
kejar sambil tertawa terbahak-bahak. Maya duduk di bawah pohon asem, ditemani
sahabatnya, Rukmini.
“Maya, kamu mau tulis
cerita apa?” tanya Rukmini sambil memakan ubi rebus.
Maya tersenyum tipis.
“Belum tahu, Min. Badanku sering panas… takutnya nggak sempat nulis.”
“Kalau begitu, aku
bisa bacain ceritaku nanti, biar kamu dapat ide,” ujar Rukmini tulus.
Sore itu, Maya pulang
melewati jalan setapak di pinggir sawah. Angin sore membawa aroma padi
menguning, dan suara katak mulai terdengar di pematang. Rumahnya di ujung
kampung, berdinding anyaman bambu dan beratap rumbia. Ibunya sedang menjemur
pakaian di halaman.
“Maya, cepat masuk.
Badanmu panas lagi?” tanya Ibu sambil menyentuh keningnya.
“Sedikit, Bu… tapi aku
baik-baik saja.”
Malamnya, di bawah
cahaya lampu minyak yang bergoyang diterpa angin, Maya mencoba menulis.
Pensilnya menari pelan di atas kertas lusuh. Tapi kepalanya berat, matanya
berkunang-kunang, dan batuknya memutuskan setiap kalimat yang ia coba tulis.
Kertas itu akhirnya hanya berisi setengah baris yang tak selesai.
Hari-hari berikutnya,
demamnya kian sering datang. Ia hanya sempat mendengar teman-temannya bercerita
tentang tokoh yang mereka buat: seekor kambing yang melawan macan, seorang anak
yang menyeberangi sungai untuk sekolah, atau nelayan yang berlayar ke pulau
jauh. Maya tersenyum mendengarnya, tapi hatinya perih.
Suatu sore, Bu
Sulastri mengetuk pintu rumah. Ia datang membawa selembar kertas dan pena.
“Maya, sudah sampai
mana ceritamu?” tanyanya lembut.
Maya menunduk. “Belum,
Bu… saya sakit.”
Bu Sulastri tersenyum
hangat. “Kalau begitu, ceritakan saja pada Ibu. Tentang hari-harimu, tentang
apa yang kamu lihat dari jendela, atau tentang mimpi yang pernah kamu punya.
Ibu yang akan menuliskannya untukmu.”
Mata Maya berbinar.
“Boleh begitu?”
“Boleh. Ingat, tugas
ini bukan hanya menulis di kertas, tapi menulis dari hati. Dan hatimu, Maya,
tidak sakit.”
Malam itu, Maya mulai
bercerita. Tentang suara hujan yang jatuh di atap rumbia seperti tepuk tangan
para malaikat. Tentang bau tanah basah yang menenangkan. Tentang mimpinya
menjadi penulis yang membuat orang tersenyum. Bu Sulastri menulis semua itu
dengan rapi, menyalinnya dalam bahasa sederhana yang indah.
Seminggu kemudian,
ketika semua murid mengumpulkan karya mereka, Maya duduk di bangkunya dengan
pipi merona. Bu Sulastri membacakan ceritanya di depan kelas. Ruangan hening,
hanya suara kapur yang jatuh di lantai menemani.
Selesai membaca, Bu
Sulastri berkata,
“Anak-anak, tak semua
orang bisa menulis dengan tangan. Tapi semua orang bisa menulis dengan hati.
Dan hati Maya… penuh cerita.”
Maya tersenyum.
Demamnya belum hilang, tapi hatinya terasa hangat—lebih hangat dari cahaya
matahari yang menembus celah dinding sekolahnya.
Selesai.

Comments