Lima Bintang Kecil di Bukit Soko

 


Lima Bintang Kecil di Bukit Soko

Moh. Kholil Mughofar, S.Pd.

(Editor & Guru Menulis)

 

Matahari pagi menyinari lereng-lereng hijau Kecamatan Soko dengan lembut. Di antara pepohonan jati yang rimbun, tersembunyi sebuah gubuk kecil yang tampak sederhana dari luar. Namun siapa sangka, gubuk itulah rumah bagi lima anak yatim yang telah menjadi pahlawan kecil tanpa diketahui siapa pun.

"Ayo, Tono! Bangun!" seru Sari, gadis berusia empat belas tahun dengan mata berbinar-binar. Rambutnya yang dikepang dua bergoyang-goyang saat ia menggoyangkan bahu temannya yang masih tertidur pulas.

Tono menggeliat malas. "Sebentar lagi, Sari. Mimpi aku indah sekali tadi," gumamnya sambil mengucek mata.

"Mimpi tidak akan mengisi perut kita," sahut Budi dari sudut gubuk. Anak laki-laki berusia lima belas tahun itu sudah bangun sejak subuh, merapikan peralatan-peralatan khusus mereka. "Lagipula, Pak Karno bilang ada informasi penting hari ini."

Wati dan Dedi, si kembar berusia dua belas tahun, sudah duduk rapi di atas tikar pandan sambil mengunyah singkong rebus. Mata mereka yang bulat menatap penuh harap pada Budi dan Sari, kedua kakak tertua dalam kelompok kecil mereka.

Lima anak ini bukanlah anak-anak biasa. Mereka adalah korban perang yang kehilangan keluarga karena serangan brutal penjajah Belanda. Namun alih-alih menyerah pada nasib, mereka dilatih oleh seorang pejuang tua bernama Pak Karno untuk menjadi pembuat bom yang ulung.

"Ingat anak-anak," kata Pak Karno suatu hari dengan suara serius namun penuh kasih sayang. "Kalian bukan hanya belajar membuat bom biasa. Kalian belajar memberikan pelajaran kepada penjajah yang telah merenggut kebahagiaan kalian."

Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, kelima anak itu berkumpul di gubuk rahasia mereka untuk menerima misi baru. Pak Karno datang dengan wajah gembira.

"Ada kabar baik, anak-anak," ujarnya sambil membuka peta kecil. "Besok pagi, rombongan tentara Belanda akan melewati jalan setapak dekat Sungai Bengawan. Ini kesempatan emas!"

Mata Sari berbinar. Selama ini, mereka telah berhasil menggagalkan lima konvoi Belanda tanpa pernah tertangkap. Rahasia mereka sederhana: serang cepat, lalu menghilang seperti angin.

"Berapa banyak tentara, Pak?" tanya Budi sambil mengasah pisau kecilnya.

"Menurut mata-mata kita, sekitar dua puluh orang dengan persenjataan lengkap. Tetapi jangan khawatir, bom kalian pasti akan berhasil seperti biasanya."

Malam itu, kelima anak bekerja keras menyiapkan bom-bom kecil mereka. Tangan-tangan kecil yang terampil meracik bubuk mesiu dengan hati-hati. Sari dan Wati bertugas mengisi tabung-tabung bambu, sementara Tono, Budi, dan Dedi menyiapkan sumbu dan pengatur waktu sederhana.

"Ingat," pesan Budi pada yang lain, "begitu bom meledak, kita langsung lari ke gubuk cadangan di balik bukit. Besok sore baru kita kembali mengecek hasilnya."

Fajar menyingsing dengan kabut tipis menyelimuti lembah Soko. Kelima anak sudah bersembunyi di balik bebatuan besar, menunggu rombongan Belanda lewat. Jantung mereka berdebar kencang, tetapi tekad mereka bulat.

"Itu dia!" bisik Dedi sambil menunjuk ke arah jalan setapak.

Terlihat barisan orang-orang berseragam berjalan dalam formasi rapi. Dari kejauhan, mereka memang tampak seperti tentara.

"Sekarang!" seru Budi.

Satu per satu, bom-bom kecil itu dilemparkan dengan tepat sasaran. LEDAK! LEDAK! LEDAK! Suara menggelegar bergema di lembah, disusul teriakan-teriakan panik.

Tanpa membuang waktu, kelima anak itu berlari secepat rusa menuju tempat persembunyian mereka. Mereka berlari tanpa menoleh, adrenalin memompa darah mereka hingga kaki-kaki kecil itu seolah terbang melintasi semak belukar.

"Berhasil lagi!" teriak Tono gembira ketika mereka sampai di gubuk cadangan.

Namun perasaan gembira itu harus mereka tahan hingga keesokan harinya. Itulah aturan mereka: jangan pernah kembali ke tempat aksi sebelum sehari berlalu.

Sore berikutnya, dengan hati-hati kelima anak itu menyelinap kembali ke lokasi ledakan. Biasanya mereka akan menemukan senjata-senjata Belanda yang masih bisa diambil, atau barang-barang berharga lainnya yang bisa mereka jual untuk membeli makanan.

Tetapi kali ini, pemandangan yang mereka lihat membuat dunia seolah runtuh di hadapan mereka.

Di antara reruntuhan dan bekas ledakan, tidak ada seragam tentara Belanda yang berserakan. Yang mereka temukan adalah potongan-potongan kain sarung, topi peci, dan... mainan anak-anak yang hangus terbakar.

Sari berlutut, tangannya gemetar mengambil sebongkah kayu yang masih berasap. "Budi..." suaranya bergetar. "Ini... ini bukan tentara Belanda."

Wati menangis tersedu-sedu. "Mereka... mereka pengungsi Indonesia seperti kita dulu..."

Kenyataan pahit itu menghantam mereka seperti petir di siang bolong. Informasi yang mereka terima ternyata salah. Barisan yang mereka ledakkan bukan tentara penjajah, melainkan rombongan pengungsi Indonesia yang sedang mengungsi mencari tempat aman.

Tono duduk terpekur, menatap kosong reruntuhan di hadapannya. "Kita... kita sudah membunuh sesama bangsa sendiri," bisiknya dengan suara serak.

Budi, yang selama ini menjadi pemimpin mereka, kini terduduk lemas. Tangannya yang biasa mantap memegang bom kini bergetar tak terkendali. "Aku... aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri."

Dedi dan Wati saling berpelukan, menangis dalam diam. Mereka yang dulu mengungsi karena perang, kini malah menjadi penyebab penderitaan pengungsi lainnya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sari dengan suara parau.

Tidak ada yang menjawab. Angin sore berhembus pelan, membawa abu dan debu dari reruntuhan yang masih mengepul. Lima anak kecil itu duduk terdiam, terbebani rasa bersalah yang begitu berat.

Ketika malam tiba, satu per satu mereka mulai berdiri. Tanpa berkata apa-apa, tanpa membuat rencana, mereka mulai berjalan menjauh dari gubuk yang selama ini menjadi rumah mereka.

Sari berjalan ke arah timur, menuju kampung halaman yang mungkin sudah tidak ada lagi. Budi memilih jalan ke selatan, berharap bisa menemukan cara untuk menebus kesalahannya. Tono berlari ke utara, air mata membasahi pipinya yang kotor. Dedi dan Wati berjalan bersama ke arah barat, masih saling berpegangan tangan seperti ketika mereka masih kecil.

Lima bintang kecil yang pernah bersinar di langit Kecamatan Soko kini terpencar, masing-masing membawa luka yang dalam. Mereka yang dulu bersatu untuk melawan penjajah, kini tercerai-berai karena beban batin yang tak tertahankan.

Gubuk kecil di lereng bukit itu kini sunyi. Peralatan pembuat bom berserakan tak terurus. Angin malam mendesau di antara dinding-dinding bambu, seolah menyanyikan lagu duka untuk lima anak yang telah kehilangan arah.

Dan di suatu tempat jauh, Pak Karno masih menunggu laporan dari anak-anak didiknya yang tidak akan pernah datang lagi.

Bulan purnama bersinar terang di atas puncak-puncak gunung Soko, menyinari jejak-jejak kaki kecil yang menuju ke lima arah berbeda. Lima anak yang pernah menjadi pembuat bom terhebat di daerah itu, kini memilih jalan masing-masing, membawa penyesalan yang akan mereka kenang selamanya.

Demikianlah berakhir kisah lima bintang kecil di Bukit Soko - bukan dengan kemenangan yang gemilang, tetapi dengan pelajaran pahit bahwa dalam perang, tidak selalu mudah membedakan antara kawan dan lawan. Dan terkadang, kesalahan terbesar justru datang dari niat terbaik.

Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi