Rinduku di Bawah Pohon Waru

 


Rinduku di Bawah Pohon Waru

Ulfa Ulul Haslinda

Siswi SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro 

Angin sore turun pelan di sudut desa Wonosari, membawa bau tanah yang baru saja disiram gerimis. Pohon waru tua di halaman rumah Nyai Sarinem menggugurkan satu-dua daunnya, seperti ingin mengingatkan bahwa musim sedang berubah. Tapi bagi Sarinem, waktu tak lagi diukur dari musim. Ia menghitung hari dengan satu ukuran: berapa lama lagi sampai suaminya pulang?

Di serambi rumah panggung yang dindingnya sudah retak di sana-sini, Sarinem duduk bersila di atas tikar pandan. Di sampingnya, seorang gadis kecil sedang merangkai bunga kamboja dalam mangkuk tanah liat.

“Nduk,” kata Sarinem sambil mengelus rambut si kecil. “Kau tahu, waktu embah seusiamu, embah suka memetik bunga kamboja juga. Tapi bukan untuk main. Untuk ditaruh di seragam tentara kakekmu, sebelum ia berangkat perang.”

“Perang?” tanya si kecil, Raras, matanya membesar.

“Iya. Kakekmu, Sastro Dinata, ikut bergerilya melawan Belanda. Waktu itu... kami baru tiga hari menikah.”

Raras terdiam. Tangannya berhenti merangkai.

“Kakek nggak pernah pulang ya, Mbah?” bisiknya.

Sarinem mengangguk perlahan. Pandangannya menerawang ke arah pepohonan di kejauhan. “Sudah lima puluh tahun lebih. Tapi embah selalu nyalakan pelita di serambi. Supaya kalau dia pulang, rumahnya tetap terang.”

Malam itu, angin bertiup lebih dingin. Di antara suara jangkrik dan detak jam dinding, Sarinem membuka kotak kayu kecil berisi surat-surat lama. Salah satunya surat terakhir dari Sastro, ditulis dengan tinta luntur.

"Sarinem, jangan khawatir. Kita akan bertemu lagi. Kalau bukan dalam dunia ini, mungkin dalam mimpi-mimpi panjang kita. Tapi aku akan pulang. Tunggu aku."

Ia membacanya seperti doa. Satu lembar harapan yang tak pernah pudar.

…………..

Suatu pagi di bulan Sura, datang seorang lelaki tua ke rumah. Tubuhnya kurus, tongkatnya dari kayu jati yang penuh bekas luka.

“Nyai Sarinem?” sapanya pelan.

Sarinem menoleh dari sumur. “Inggih, saya. Sampeyan siapa?”

“Saya Parman. Dulu kurir di pasukan suami Nyai, R. D. Sastro Dinata. Maaf baru bisa datang sekarang... setelah sekian tahun.”

Wajah Sarinem membeku.

“Ada kabar tentang dia?” tanyanya, suara nyaris bergetar.

Parman mengangguk. “Beliau gugur di lereng Gunung Kidul. Dimakamkan di sana... bersama pejuang lain. Tapi tak banyak yang tahu. Baru kini kami mulai mencatat satu-satu makamnya.”

Sarinem menggenggam bibir tempayan, menahan napas. “Akhirnya...”

Malam itu, ia berkemas dengan hati pelan. Raras menggandeng tangannya sepanjang perjalanan naik delman ke dusun sebelah, lalu dilanjutkan dengan truk tua menuju kaki gunung.

…………..

Pemakaman itu sunyi. Rumput liar tumbuh tinggi, hanya beberapa nisan tampak jelas. Udara di lereng gunung tipis dan dingin. Parman menunjuk sebuah batu nisan yang sederhana tapi terawat.

R. D. Sastro Dinata. 1948 – Gugur sebagai pejuang Republik

Sarinem berjongkok perlahan. Ia menyentuh tanah di depan nisan itu dengan tangan gemetar, lalu meletakkan bunga kamboja yang dibawanya dari rumah.

“Sastro...” bisiknya lirih, “aku menepati janjiku. Aku menunggu. Dan sekarang aku datang.”

Tapi pandangannya lalu tertuju pada nisan di sampingnya. Baru, bersih. Bertuliskan:

Siti Maryam. Istri dari R. D. Sastro Dinata

Sarinem menahan napas. Matanya tak langsung percaya. Ia memandang nisan itu lama, seolah menuntut penjelasan.

“Parman...” suaranya rendah, nyaris seperti bayangan suara.

“Ya, Nyai?”

“Siti Maryam... siapa dia?”

Parman diam lama. Ia menunduk sebelum menjawab.

“Waktu Pak Sastro luka parah, dia ditolong keluarga Maryam. Mereka mengira Nyai sudah tiada. Setelah sembuh... mungkin karena tekanan perang, atau karena kesepian... beliau menikah lagi. Tapi tak lama. Beliau gugur di medan tempur tak lama setelah itu. Maryam menyusul beberapa tahun lalu.”

Sarinem tidak menangis. Tak ada air mata. Hanya senyum sangat kecil yang menggantung di sudut bibirnya. “Kalau dia hidup, mungkin dia punya alasan,” katanya lirih. “Dan kalau dia sudah wafat... semua alasan sudah selesai.”

Raras menggenggam tangan Sarinem. “Mbah... kita pulang?”

Sarinem mengangguk. “Iya. Rumah kita masih harus terang. Meski yang kita tunggu... sudah menemukan terang lebih dulu.”

…………..

Malam itu, di serambi rumah yang tua, pelita kembali dinyalakan. Tapi bukan lagi untuk penantian, melainkan untuk mengenang. Bukan lagi harap yang menyala, tapi doa yang berpendar. Dan di bawah pohon waru yang menggugurkan daun-daunnya, Sarinem duduk sendiri, membaca surat lama sekali lagi. Lalu dengan tenang, ia membakarnya.

Api kecil itu tak menyakitkan. Hanya melepaskan. Seperti embun yang pamit sebelum pagi datang. Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi