Senja di Tengah Bara
Senja di Tengah Bara
Alif Nur Afrizal
Senja merambat
pelan di langit Jawa, melukis semburat tembaga yang seakan mengingatkan bahwa
hari telah lelah menahan tangis. Di tanah lapang yang berdebu, para prajurit
pejuang berbaris rapi. Nafas mereka tersengal, tapi mata mereka menyala.
Lonceng besi di sudut lapangan berdenting, tanda latihan senjata selesai.
Di barisan
depan, Kapten Hasan berdiri tegak, keringat mengalir di pelipisnya. Namun
pikirannya tidak lagi di sini—ia terbang jauh, membayangkan rumah kecil beratap
rumbia di tepi sawah. Di sana, Siti, istrinya, mungkin sedang menumbuk padi,
dan Fatimah, anaknya yang baru genap tujuh tahun, pasti berlarian sambil
memanggil ayam-ayam kampung.
Suara komandan
memecah lamunannya.
"Kapten
Hasan!"
"Siap,
Komandan!" Hasan menegakkan tubuh.
"Latihan
selesai untuk hari ini. Besok kita bersiap siaga, intel melaporkan Belanda
mulai bergerak dari arah barat."
Hasan
mengangguk. "Siap, Komandan."
Komandan
memandangnya sejenak, lalu menepuk bahunya.
"Kau
sudah tiga bulan tak pulang, bukan?"
"Benar,
Tuan."
"Kalau
begitu, malam ini gunakan waktu untuk keluargamu. Besok kita mungkin tak punya
kesempatan lagi."
Izin itu bagai
embun yang jatuh di padang gersang. Hasan menunduk hormat, kemudian bergegas
meninggalkan barak. Namun sebelum kaki melangkah pulang, ia singgah di masjid
kecil dekat kamp, menunaikan salat Asar. Lantunan doa yang keluar dari bibirnya
hanya satu: “Ya Allah, jagalah mereka sampai aku kembali.”
Perjalanan
pulang ditempuhnya dengan langkah besar. Jalan setapak yang membelah hamparan
sawah masih basah oleh hujan siang tadi. Di kejauhan, anak-anak desa berlarian
sambil membawa layang-layang dari kertas koran. Hasan tersenyum membayangkan
Fatimah ikut bermain.
Namun senyum
itu perlahan memudar ketika mendekati desanya, ia mencium bau mesiu. Asap tipis
mengepul dari arah pasar. Langkahnya terhenti, dada berdebar. Di ujung jalan,
ia melihat Pak Kiai Mahfudz sedang duduk di batu besar, wajahnya pucat.
"Assalamualaikum,
Kiai…" suara Hasan lirih.
Pak Kiai
menatapnya dengan mata yang sudah basah.
"Waalaikumussalam…
Hasan…” Kiai Mahfudz berdiri, menatapnya dalam-dalam. “Nak… bersabarlah.
Musibah telah menimpa kampung ini siang tadi. Pesawat Belanda… membombardir
pasar… rumahmu juga terkena.”
Darah Hasan
seakan berhenti mengalir.
"Siti…
Fatimah… di mana mereka sekarang?" suaranya gemetar.
Kiai Mahfudz
menghela napas berat, lalu memegang bahunya.
"Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un… mereka telah kembali kepada Allah."
Hasan terdiam.
Suara dunia seakan lenyap, hanya desiran angin sore yang terasa menampar
wajahnya. Ia berlari melewati jalan-jalan sempit desa, mengabaikan panggilan
orang-orang. Ketika tiba di halaman rumahnya, yang ia dapati hanyalah
papan-papan hangus, anyaman bambu terbakar, dan abu yang terbang tertiup angin.
Di antara
puing itu, matanya menangkap sehelai kain kerudung biru milik Siti—masih utuh,
terlipat separuh. Hasan meraihnya, menempelkan pada wajahnya, dan air mata yang
selama ini ia tahan jatuh juga.
Beberapa
tetangga menghampiri.
"Maafkan
kami, Kapten… kami tak sempat menyelamatkan mereka…" ujar seorang ibu
sambil menangis.
Hasan
menggeleng lemah.
"Bukan
salah kalian… ini perang… dan perang memang tak pernah memilih korban."
Ia kemudian
duduk di tanah, memandang langit yang mulai gelap. Azan Magrib berkumandang
dari surau yang masih berdiri di ujung desa. Hasan menutup mata, mencoba
menenangkan hatinya.
"Ya
Allah," bisiknya, "Engkau telah mengambil yang paling kucinta.
Jadikan kepergian mereka alasan bagiku untuk tidak gentar. Demi tanah ini, demi
anak-anak yang lain, aku akan bertahan. Sampai tak ada lagi senja yang berbau
mesiu."
Ketika ia
bangkit, wajahnya bukan lagi wajah seorang suami yang berduka, melainkan
prajurit yang telah menemukan alasan untuk berjuang sampai titik darah
penghabisan.
Selesai.
Comments