Seragam Merah Putih

 

Seragam Merah Putih

Rado Satriya Putra

 

Langit desa Karangjati masih diselimuti kabut tipis saat suara ayam jantan berkokok memecah sunyi. Di dapur, aroma nasi liwet dan tempe goreng mengepul dari tungku tanah liat. Seorang bocah laki-laki, Prawira, duduk di lantai sambil mengikat tali sepatu lusuh miliknya. Seragam merah putihnya, yang telah memudar warnanya, tampak rapi disetrika meski dengan bara dari besi gosok tua.

“Nak, ini... Ibu jahitkan lencana kecil,” ujar Ibu Prawira, sambil menyematkan kain flanel merah-putih di dada seragam anaknya. “Lambang ini... meskipun kecil, lebih berat dari ransel tentara.”

Prawira mengangguk. Ia belum sepenuhnya mengerti, tapi hatinya terasa hangat. Ia bangga mengenakan seragam itu, sekalipun sekolah rakyatnya kadang tutup mendadak karena patroli tentara Jepang.

“Bu,” katanya sambil mengunyah tempe, “Kalau ketemu tentara Jepang, aku harus bagaimana?”

“Jangan banyak bicara. Jangan lari. Tapi kalau mereka mulai marah... lari secepatnya,” jawab ibunya, setengah berbisik.

“Kalau aku pakai seragam ini?”

Ibunya terdiam sejenak. Tatapannya jatuh ke lantai.

“Mereka tidak suka warna ini. Merah-putih bagi mereka seperti bara. Tapi bagi kita, ini janji.”

Prawira mengangguk pelan. Setelah mencium tangan ibunya, ia melangkah keluar rumah. Tasnya hanya berisi satu buku, sebatang pensil, dan dua buah ketela rebus.

…………..

Ia baru menapaki jalan tanah dekat pematang sawah ketika suara letusan keras terdengar dari arah timur. Udara pagi berubah tegang. Burung-burung beterbangan, dan daun-daun pisang bergetar.

DOR! DOR!

Prawira sontak berhenti. Jantungnya berdetak tak beraturan.

Lalu dari balik tikungan jalan desa, muncul rombongan tentara Jepang. Sekitar dua puluh orang, berseragam hijau zaitun, sebagian menenteng senapan, sebagian lain mengibas-ngibaskan bendera bertuliskan aksara Jepang.

Mata salah satu serdadu—bertubuh tinggi besar, wajah keras, topi berpinggiran merah—menatap lurus ke arah Prawira.

Oi! Akai fuku!” serunya sambil menunjuk. (Baju merah!)

Prawira menoleh ke bawah. Seragam merah putihnya. Itu yang mereka maksud.

Seketika, serdadu itu berteriak ke pasukannya, menunjuk Prawira. Beberapa langsung mengejar.

Oi, tomare! Yamero!” (Berhenti! Jangan lari!)

Tapi kaki Prawira lebih cepat dari logikanya. Ia langsung lari, menembus pematang, meloncat ke ladang ketela, lalu menerobos rumpun bambu.

“Ya Allah... lindungi aku... lindungi aku...” bisiknya di sela nafas terengah.

Di kejauhan, ia melihat rumah kosong—bekas rumah Belanda yang ditinggalkan sejak pendudukan Jepang. Pintu kayunya separuh terbuka, jendela-jendelanya dipenuhi sarang laba-laba. Tanpa pikir panjang, ia masuk dan menyelinap ke balik lemari tua di sudut ruangan.

Langkah sepatu bot menggetarkan tanah. Suara logam pedang bergesekan di luar rumah.

Koko ni iru ka?” (Apa dia di sini?!)
Sagasu! Akai fuku o kita kodomo da!” (Cari! Anak dengan pakaian merah!)

Prawira menahan napas. Tubuhnya gemetar. Debu berjatuhan dari langit-langit saat seorang tentara menendang pintu rumah.

Oi! Deru!” (Keluar!)

Langkah kaki masuk. Lantainya berderit. Lemari tempatnya bersembunyi bergetar pelan.

“Ya Allah... jangan sekarang...”

Tapi saat tentara itu hendak membuka pintu lemari, terdengar ledakan keras dari arah utara. Diikuti suara-suara tembakan yang makin ramai.

Keitai! Keitai! Modore!” (Cepat! Kembali!)

“Gerilya!” salah satu berteriak dalam bahasa lokal.

Pasukan itu berbalik arah. Dalam kepanikan, mereka keluar rumah dan berlari meninggalkan desa.

…………..

Setelah semuanya sunyi, Prawira keluar perlahan. Langit telah memerah. Ia berjalan pelan melewati sawah, napasnya masih tak teratur. Seragamnya kotor, robek di bagian lutut, dan noda tanah melekat di pipinya.

Sesampainya di rumah, ibunya langsung memeluknya erat.

“Ya Allah, Le... kau ke mana saja?”

“Aku... aku dikejar tentara Jepang, Bu... karena seragam ini.”

“Astaghfirullah... kenapa tak kau lepas?”

“Karena... kalau kulepas, nanti aku bukan Prawira lagi...”

Ibunya menatapnya lama. Lalu memeluk lebih erat, seolah ingin melindungi seluruh dunia dari putranya.

…………..

Malam itu, mereka makan dengan nasi seadanya. Lilin kecil menyala di meja. Di dinding, tergantung seragam yang kini penuh debu dan robek—tapi tetap merah dan putih.

Dan Prawira tahu, ia mungkin hanya anak kecil. Tapi yang ia kenakan di dadanya bukan sekadar kain. Itu harga diri, itu tanah air, dan itu adalah janji.

Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi