Tinta dan Dendam di Bawah Lentera

 


Tinta dan Dendam di Bawah Lentera

M. Bahrul Ulum, S.Hi.

(Wali Kelas 8 SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)

Hujan gerimis membasahi jalanan Batavia yang gelap, hanya diterangi oleh sinar temaram lentera minyak yang berayun-ayun ditiup angin malam. Di balik jendela gedung pemerintahan kolonial, seorang lelaki berusia pertengahan tiga puluhan duduk membungkuk di atas meja tulis kayu jati yang penuh dokumen. Raden Mas Ulum Widjaya, sang pejabat tinggi pribumi, menatap laporan keuangan proyek kanal baru dengan mata yang semakin menyipit.

"Dua ribu gulden untuk upah buruh? Padahal hanya seratus orang yang bekerja..." bisiknya sendiri, jarinya menelusuri baris-baris angka yang jelas-jelas dipalsukan.

Dari balik tumpukan dokumen, matanya menangkap coretan tinta merah—sebuah tanda yang ia buat sendiri setiap kali menemukan ketidakberesan. Sudah terlalu banyak coretan merah belakangan ini.

Tiba-tiba, pintu ruang kerjanya diketuk pelan.

"Mas Ulum, ada tamu," suara halus Siti Marwah, adik perempuannya, terdengar dari balik pintu.

"Siapa di jam seperti ini?" tanyanya sambil mengusap pelipis yang mulai berdenyut.

"Seorang pemuda... katanya dari koran Suara Rakyat."

Ulum menghela napas. Surat kabar pribumi? Apa lagi yang mereka mau?

"Suruh dia masuk."

Pemuda yang masuk tak lebih dari dua puluh lima tahun, tapi sorot matanya tajam seperti elang. Bajunya sederhana, lusuh di bagian siku, tapi tas kulit yang digantungkan di bahunya terlihat berat berisi catatan.

"Maaf mengganggu di malam hari, Tuan Widjaya," ucapnya sambil sedikit membungkuk. "Saya Faisal dari Suara Rakyat."

"Duduklah," Ulum mengisyaratkan ke kursi di seberangnya. "Apa yang membuat seorang jurnalis muda mencari saya di tengah malam?"

Faisal tidak langsung menjawab. Matanya mencuri pandang ke dokumen di meja, lalu ke arah jendela, seakan memastikan tak ada yang menguping.

"Saya tahu Tuan sedang menyelidiki proyek kanal baru," akhirnya ia berbicara, suaranya rendah tapi tegas. "Dan saya punya informasi yang mungkin Tuan butuhkan."

Ulum mengangkat alis. "Oh? Lantas kenapa kau datang ke saya? Kenapa tidak langsung muat di koranmu?"

Faisal mengeratkan bibir. "Karena redaksi kami dibredel minggu lalu. Kantor kami digeledah, rekan-rekan saya... ada yang hilang."

Suasana mendadak tegang. Ulum mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari, mempertimbangkan risiko.

"Kau tahu berurusan dengan ini berarti berurusan dengan Braam Luuk?"

Nama itu seperti petir di ruangan itu. Faisal mengangguk pelan.

"Saya punya saksi—seorang kuli yang dipaksa kerja tanpa upah. Dia bersedia bicara jika ada perlindungan."

Ulum tertawa getir. "Kau pikir saya bisa melindungi siapa pun? Lihat saya—seorang pejabat pribumi yang hanya jadi boneka Belanda!"

"Tapi Tuan punya akses ke arsip resmi. Saya punya bukti lisan. Jika kita gabungkan—"

"—kita bisa menggoyang mereka," Ulum menyelesaikan kalimatnya.

Diam sejenak. Lalu, dengan gerakan lambat, Ulum mengulurkan tangan.

"Baik. Tapi kau harus berhati-hati. Jika kau hilang seperti rekanmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa."

Faisal tersenyum tipis. "Saya sudah siap, Tuan."

Tiga hari kemudian, di sebuah warung kopi dekat Pasar Baru, Ulum duduk bersembunyi di sudut, membolak-balik dokumen yang diberikan Faisal. Catatan itu rinci—nama-nama buruh yang tidak tercatat, jumlah uang yang menguap, bahkan surat-surat palsu yang ditandatangani Braam Luuk sendiri.

"Ini lebih buruk dari yang kuduga," gumamnya.

Tiba-tiba, langkah berat mendekat.

"Raden Mas Ulum... lama tidak bertemu."

Ulum menoleh. Haji Umar, pamannya, berdiri dengan wajah masam, diiringi dua orang yang ia kenal sebagai saudara jauh.

"Paman... apa kabar?" tanyanya dengan sopan, meski dadanya sudah berdesir was-was.

"Kabar? Kabarnya keluarga kita malu!" hardik Haji Umar. "Kau pejabat tinggi, tapi tidak bisa menolong saudaramu sendiri?"

Ulum menghela napas. "Rizal lagi?"

"Iya, Rizal! Dia lulus dari sekolah pamong praja setahun lalu, tapi sampai sekarang tidak dapat jabatan! Kau pikir kami tidak tahu kau sengaja menghalanginya?"

"Paman, saya tidak—"

"Jangan banyak bicara!" potong Haji Umar. "Keluarga kita butuh pengaruhmu. Jika kau tidak mau membantu, lebih baik kau tidak usah pulang!"

Ulum menatap secangkir kopinya yang sudah dingin. Nepotisme—hal yang selalu ia benci. Tapi darah lebih kental dari air.

"Saya akan... mempertimbangkannya," akhirnya ia berbasa-basi.

Faisal tidak datang pada pertemuan rahasia mereka di gudang tua dekat pelabuhan. Yang Ulum temukan hanyalah setumpuk catatan berserakan, beberapa halaman robek, dan... noda darah di lantai.

Jantungnya berdegup kencang. "Tidak..."

Dari balik kegelapan, langkah kaki mendekat.

"Mencari temanmu, Tuan Widjaya?"

Suara itu—dalam, beraksen Belanda yang kental. Braam Luuk.

"Apa yang kau lakukan padanya?" geram Ulum.

Braam Luuk tersenyum, sinar bulan menerangi separuh wajahnya yang dingin.

"Oh, jangan khawatir... dia hanya 'diajak bicara'. Tapi kau... kau seharusnya lebih bijak."

Tangannya mengeluarkan selembar surat.

"Lihatlah. Pengangkatan adikmu, Rizal, sebagai asisten wedana. Tanda tangan saya sendiri."

Ulum membeku. Ini jebakan.

"Aku tidak memintamu melakukan ini!"

"Tentu tidak. Tapi keluargamu sudah menerimanya dengan senang hati." Braam Luuk mendekat. "Sekarang... kau punya pilihan. Lanjutkan penyelidikanmu, dan Rizal akan kami jerat dengan tuduhan korupsi. Atau... tutup mulut, dan mungkin suatu hari kau bisa melihat adikmu lagi."

Ulum mengepal tangan. Tapi apa yang bisa ia lakukan?

Esok harinya, kabar mengejutkan datang. Rizal ditangkap—tepat sehari setelah dilantik.

"Dia dituduh mencuri dana proyek!" teriak Siti Marwah, tangisnya pecah. "Kakak, kau harus lakukan sesuatu!"

Ulum berdiri di depan cermin, mengenakan jas resmi terbaiknya.

"Aku akan ke gedung gubernur," katanya, suaranya datar.

"Tapi bagaimana—"

"Diam!" bentaknya, untuk pertama kalinya. "Aku sudah terlalu lama diam."

Minggu berikutnya, Suara Rakyat terbit kembali dengan headline mengguncang:

"KORUPSI BESAR DI PROYEK KANAL: PEJABAT BELANDA DAN PRIBUMI TERLIBAT!"

Braam Luuk dipanggil pulang ke Den Haag. Beberapa pejabat pribumi dipecat. Tapi Rizal tetap dalam penjara—dijadikan tumbal.

Di tepi Kali Besar, Ulum berdiri sendirian, memandang air yang keruh.

"Kita kalah hari ini," bisiknya.

Tapi di sakunya, terselip naskah baru—catatan lengkap tentang jaringan korupsi lain yang belum tersentuh.

Faisal mungkin hilang. Rizal mungkin terpenjara. Tapi selama masih ada tinta dan kertas... perang belum berakhir.

Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi