Minggu Pagi di Rumah Suharto
Minggu Pagi di Rumah Suharto
Muhammad Idror Al Imron
Siswa SMP. Plus Maulana
Malik Ibrahim Bojonegoro
Minggu pagi itu seharusnya menjadi hari yang tenang di PP Maulana
Malik Ibrahim Bojonegoro. Matahari menembus jendela asrama dengan lembut,
menimpa rak-rak kitab yang berderet rapi. Joha duduk di pojok kamar, menyalin
pelajaran tafsir yang baru saja diajarkan Kyai Ihsan. Wajahnya tampak lelah,
tapi matanya berbinar—ada semangat yang selalu menyala untuk menuntut ilmu.
Di luar, terdengar suara Kang Bahrul memanggil para santri ke
kantin. “Sarapan dulu, nak. Jangan belajar terus,” katanya sambil tertawa
kecil. Roni, sahabat Joha, datang membawa dua gelas teh hangat.
“Joha, kalau terus belajar tanpa istirahat, nanti kitabnya hafal,
tapi tubuhmu tumbang,” godanya.
Joha hanya tersenyum. “Aku ingin ayah dan ibu bangga, Ron. Aku
tidak ingin mereka menyesal telah mengirimku ke sini.”
Roni menatap sahabatnya itu lama. Ia tahu, Joha bukan santri biasa.
Di balik kerajinannya, ada beban besar yang ia pikul sendirian.
…
Pukul sebelas siang, ketika Joha dan Roni baru saja selesai
membersihkan musala, suara Pak Akom memanggil dari kejauhan,
“Joha, ke kantor pesantren, Nak. Ada yang menunggu.”
Joha mengangguk patuh. Tak ada sedikit pun firasat buruk di
wajahnya. Ia berjalan cepat ke arah kantor, masih dengan senyum kecil di
bibirnya. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sosok yang berdiri di depan
ruangan—ibunya,
Ibu Wartini. Wajahnya muram, matanya sembab.
“Bu... kenapa Ibu di sini?” suara Joha bergetar.
Ibu Wartini menatap anaknya itu tanpa kata. Air matanya jatuh
satu-satu, seperti hujan pertama di akhir musim kemarau.
“Joha... pulanglah, Nak. Ayahmu... Ayahmu sudah tiada.”
Kata itu menghantam dada Joha seperti petir yang menyambar di
tengah siang.
“Tidak mungkin, Bu... Ayah sehat waktu terakhir aku pulang...”
Namun tatapan ibunya menjawab segalanya. Tak ada yang bisa
diingkari.
Joha berlari keluar ruangan. Roni mengejarnya, mencoba menenangkan,
tapi Joha terus berlari—melewati halaman pesantren, melewati barisan santri
yang menatap heran. Dunia terasa kabur. Langit terasa gelap meski matahari
masih tinggi.
…
Pukul sebelas lewat tiga puluh, Joha sudah sampai di rumah. Di
sana, suara tahlil masih menggema. Karpet putih terhampar di ruang tamu.
Dan di tengah-tengahnya... terbaring tubuh Bapak Suharto,
ayahnya yang selama ini bekerja siang malam hanya untuk membayar biaya
mondoknya.
Joha menjatuhkan diri di samping jenazah itu. Tangannya gemetar,
menggenggam jari ayahnya yang sudah dingin.
“Pak... Joha janji akan terus belajar, Pak... Tapi kenapa Ayah
pergi secepat ini?” suaranya pecah. Tangisnya tidak tertahan.
Roni datang tak lama kemudian. Ia langsung memeluk Joha dari
belakang, membiarkannya menangis di bahunya.
“Cukup, Joha... Bapakmu pasti bangga melihatmu. Kau anak yang baik.
Kau santri yang kuat,” bisik Roni lirih, berusaha menahan air matanya sendiri.
…
Hari itu, di antara gema doa dan aroma tanah basah pemakaman, Joha
berdiri memandangi nisan ayahnya.
Ia tahu, sejak hari ini hidupnya tidak akan sama lagi. Tapi ia juga
tahu — cinta seorang ayah tidak pernah benar-benar pergi. Ia tinggal dalam
setiap huruf yang ia baca, dalam setiap sujud yang ia lakukan di malam sunyi.
Dan ketika azan asar berkumandang dari masjid pesantren, Joha
menunduk.
Air matanya menetes pelan, namun ada secercah cahaya kecil di
baliknya — keikhlasan.
Ia berbisik pelan,
“Terima kasih, Ayah. Joha akan terus belajar... sampai doa-doa ini
sampai ke surga.”
TAMAT.
Comments