Sambangan di Hari Jum'at
Sambangan di Hari Jum'at
Alifa Shofa Qotrunnada
Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro
Pagi Jum'at
pukul tujuh, embun masih menggantung di dedaunan sekitar kompleks PP Maulana
Malik Ibrahim Bojonegoro. Zaida menggenggam sapu lidi erat-erat, menyapu
halaman dengan gerakan mekanis. Di sampingnya, Alifa menyapu dengan semangat
sambil bersenandung kecil.
"Zaida,
kamu kok diam aja sih dari tadi?" tanya Alifa, menghentikan sapuannya
sejenak.
Zaida
tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Lif. Aku cuma capek."
Tapi Alifa
tahu itu bukan kelelahan biasa. Sudah hampir satu tahun mereka bersahabat, dan
Alifa paham betul kapan Zaida sedang berpura-pura baik-baik saja.
Mereka
melanjutkan bersih-bersih, menyapu area taman depan asrama, membersihkan
selokan, memunguti sampah dedaunan yang berserakan. Santri-santri lain ikut
bergotong royong, suasana ramai dengan tawa dan candaan. Tapi Zaida hanya diam,
tersenyum sesekali ketika ditegur, lalu kembali pada diamnya.
Setelah area
luar selesai, mereka berpindah ke dapur asrama Al-Malik. Mbak Qia sudah ada di
sana, sedang mengaduk sayur dalam kuali besar.
"Pagi,
Mbak Qia," sapa Alifa riang.
"Pagi,
nak. Wah, sudah datang rupanya. Ini, tolong cuci piring-piring yang di sana ya.
Sama pel lantainya."
Zaida dan
Alifa langsung bekerja. Alifa mencuci piring sambil terus mengoceh,
menceritakan mimpinya semalam yang katanya aneh. Zaida hanya mengangguk-angguk
sambil mengepel lantai dapur yang licin.
"Zaida,"
Mbak Qia tiba-tiba memanggil. "Hari ini tanggal 15 ya?"
Zaida
mengangguk pelan. Hatinya berdegup kencang. Mbak Qia ingat.
"Semoga
hari ini menjadi hari yang baik untukmu, nak," kata Mbak Qia sambil
tersenyum hangat.
Zaida membalas
dengan senyum yang dipaksakan. Hari yang baik? Ia tidak yakin.
Hari ini ulang
tahunnya yang ke-17. Tapi tidak ada yang istimewa. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, hari ini akan berlalu begitu saja. Tidak ada kue. Tidak ada
kejutan. Tidak ada sambangan dari Ibu Farhana dan Ayah Fatir yang sibuk bekerja
demi mengumpulkan biaya mondoknya dan biaya sekolah Laila.
Zaida
mengerti. Ia sangat mengerti. Ayah bekerja sebagai buruh bangunan dari pagi
sampai sore, lalu lembur di malam hari sebagai tukang ojek. Ibu menjahit
pakaian dari subuh sampai larut malam, matanya sering merah karena terlalu lama
menatap jarum dan benang. Mereka melakukan semua itu demi Zaida bisa tetap
mondok, demi Laila bisa tetap sekolah.
Tapi tetap
saja... ada bagian kecil di hati Zaida yang berharap, meski hanya sekali,
orangtuanya bisa datang di hari spesial seperti ini.
Selesai
bersih-bersih, mereka shalat Dhuha bersama di musholla. Zaida berdoa panjang,
memohon pada Allah agar diberi ketabahan, agar tidak iri melihat teman-temannya
yang disambang, agar bisa terus bersyukur meski hatinya sering terasa kosong.
…
Pukul dua
siang, setelah shalat Jum'at dan makan siang, Zaida duduk sendirian di musholla
pesantren. Dari jendela kecil, ia bisa melihat area parkir di depan gerbang
putri. Satu per satu, orangtua santri berdatangan. Motor, mobil, bahkan ada
yang naik becak, semua datang untuk sambangan—mengunjungi anak-anak mereka yang
mondok.
Zaida melihat
Siti berlari kegirangan memeluk ibunya. Wanita itu membawa plastik besar berisi
makanan kesukaan Siti. Mereka tertawa, berpelukan, seperti tidak bertemu
bertahun-tahun padahal baru sebulan yang lalu.
Zaida melihat
Fatimah menangis di pelukan ayahnya. Sang ayah mengelus kepala putrinya dengan
sayang, membisikkan sesuatu yang membuat Fatimah tersenyum di balik air mata.
Zaida melihat
Aisyah berjalan bersama kedua orangtuanya, diapit, sambil bercerita panjang
lebar tentang kegiatan di pesantren. Orangtuanya mendengarkan dengan penuh
perhatian, sesekali tertawa mendengar cerita putri mereka.
Dan Zaida?
Zaida hanya duduk di musholla, memeluk lututnya, menatap semua itu dengan mata
kosong.
Alifa masuk ke
musholla, membawa dua gelas es teh dari kantin. Ia duduk di samping Zaida tanpa
berkata apa-apa, hanya menyerahkan satu gelas padanya.
"Makasih,
Lif," bisik Zaida.
Mereka diam
bersama, menyesap es teh dalam sunyi. Alifa tahu Zaida tidak ingin dihibur
sekarang. Ia hanya ingin ditemani. Dan Alifa selalu ada untuk itu.
"Lif,"
Zaida akhirnya berbicara, suaranya serak. "Aku... aku tahu Ibu dan Ayah
sibuk. Aku tahu mereka bekerja keras demi aku. Tapi... kenapa aku masih sedih?
Kenapa aku masih berharap mereka datang?"
Air matanya
jatuh, meski ia berusaha keras menahannya.
"Aku
egois ya, Lif? Aku egois karena masih mengeluh padahal Ibu dan Ayah sudah
berjuang keras..."
Alifa
memeluknya erat. "Kamu nggak egois, Zaida. Kamu manusia. Wajar kalau kamu
rindu. Wajar kalau kamu ingin dipeluk Ibu dan Ayah."
Zaida menangis
di bahu sahabatnya. Menangis untuk kerinduan yang tidak bisa ia ungkapkan pada
siapa pun. Menangis untuk ulang tahun yang akan ia lewati sendirian, lagi.
Menangis untuk perasaan ditinggalkan yang terus menghantuinya, meski ia tahu
orangtuanya tidak meninggalkannya—mereka hanya... sibuk.
"Sudah
satu tahun, Lif," bisik Zaida di sela isakannya. "Satu tahun aku
tidak disambang. Idul Fitri kemarin juga aku nggak pulang karena Ayah bilang
ongkos mahal. Aku... aku kangen Ibu. Kangen Laila. Kangen dipeluk Ayah..."
Alifa tidak
bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa memeluk sahabatnya lebih erat, membiarkan
Zaida menumpahkan semua kepedihannya.
Di luar, suara
tawa dan percakapan antara santri dan orangtua mereka terdengar riuh. Tapi di
dalam musholla, hanya ada tangisan Zaida yang tertahan, yang ia coba redam agar
tidak ada yang mendengar.
"Hari ini
ulang tahunku, Lif," Zaida tersenyum pahit. "Tujuh belas tahun. Dan
aku melewatinya sendirian, lagi."
Alifa menatap
sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu nggak sendirian. Aku di sini.
Dan aku... aku sayang sama kamu."
Zaida memeluk
Alifa, bersyukur punya sahabat sebaik dia. Setidaknya, ia tidak sepenuhnya
sendirian.
…
Pukul empat
sore, Zaida sedang wudhu di kamar mandi asrama ketika seorang santri mengetuk
pintu.
"Zaida!
Bu Hawa manggil kamu! Cepetan ke kantor rois!"
Jantung Zaida
berdegup kencang. Ada apa? Apa ia melakukan kesalahan? Pikirannya langsung
kalut.
Ia bergegas ke
kantor rois putri dengan perasaan cemas. Alifa mengikutinya dari belakang, sama
cemasnya.
Ketika pintu
kantor dibuka, Bu Hawa berdiri di sana dengan senyum lebar. "Zaida, ada
yang nyambang kamu, nak."
Zaida terdiam.
Disambang? Siapa?
Bu Hawa
menunjuk ke teras depan. Zaida berbalik, dan dunianya seperti berhenti
berputar.
Di sana,
berdiri Ibu Farhana dengan kerudung lusuhnya, membawa tas plastik besar. Di
sampingnya, Ayah Fatir dengan pakaian kerjanya yang berdebu. Dan Laila, adik
kecilnya yang berlari kencang begitu melihat Zaida.
"KAKAAAAK!"
Zaida tidak
bisa bergerak. Kakinya seperti terpaku di tempat. Ini mimpi? Ini nyata?
Laila menabrak
tubuhnya, memeluk erat. "Kakak! Aku kangen! Ibu bilang hari ini kita jalan
jauh buat ketemu Kakak!"
Air mata Zaida
tumpah. Ia berlutut, memeluk Laila dengan seluruh kekuatannya, seperti takut
adik kecilnya itu akan menghilang jika ia melepaskan.
"Laila...
Laila..." ia hanya bisa menyebut nama adiknya berulang-ulang sambil
menangis.
Ibu Farhana
mendekat, matanya juga berkaca-kaca. "Maafkan Ibu, sayang... maafkan Ibu
baru bisa datang sekarang..."
Zaida berdiri,
langsung memeluk Ibunya erat-erat. Memeluk wanita yang sudah ia rindukan satu
tahun penuh. Memeluk wanita yang bekerja tanpa henti demi dirinya. Memeluk
wanita yang ia cintai lebih dari siapa pun di dunia ini.
"Ibu...
Ibu datang... Ibu datang..." Zaida terisak di pelukan Ibu. Tubuhnya
bergetar hebat, mengeluarkan semua kerinduan yang ia pendam selama ini.
Ibu Farhana
mengelus rambut putrinya dengan tangan yang kasar—tangan yang sudah ribuan kali
menusukkan jarum untuk menjahit, demi Zaida. "Iya, sayang... Ibu datang.
Maafkan Ibu terlambat."
Ayah Fatir
berdiri agak jauh, menyeka air matanya dengan punggung tangan. Ia tidak biasa
menangis, tapi melihat putrinya menangis seperti ini membuat pertahanannya
runtuh.
Zaida
melepaskan pelukan Ibu, lalu berlari memeluk Ayah. Pria itu kaget, tapi
kemudian membalas pelukan putrinya dengan erat.
"Ayah...
makasih Ayah sudah datang... makasih..." Zaida menangis di dada Ayah yang
berbau keringat dan debu bangunan. Tapi baginya, itu adalah aroma paling indah
di dunia—aroma kerja keras, aroma pengorbanan, aroma cinta.
"Ayah
rindu, nak," bisik Ayah Fatir, suaranya parau. "Ayah sangat
rindu."
Mereka
berempat berpelukan di teras asrama. Beberapa santri yang lewat tersenyum
melihat pemandangan itu. Bu Hawa yang menyaksikan dari kantor menyeka air
matanya. Alifa yang berdiri tidak jauh dari sana ikut menangis bahagia untuk
sahabatnya.
Setelah
tangisan mereda, mereka duduk di gazebo pesantren. Ibu Farhana membuka tas
plastiknya, mengeluarkan kotak nasi, lauk-pauk, dan... sebuah kotak kecil
berisi kue ulang tahun sederhana.
"Maaf ya,
sayang... Ibu nggak bisa beliin kue yang bagus. Ini kue buatan Ibu
sendiri," kata Ibu Farhana sambil tersenyum malu.
Zaida menatap
kue itu—kue sederhana dengan krim putih dan tulisan "HBD Zaida" yang
agak miring. Tapi bagi Zaida, itu adalah kue terindah yang pernah ia lihat.
"Ibu...
ingat ulang tahunku?" tanya Zaida, suaranya bergetar.
"Tentu
saja, sayang. Ibu selalu ingat. Ibu dan Ayah sudah rencanain dari dua bulan
lalu, nabung sedikit-sedikit biar bisa datang hari ini. Ibu nggak mau kamu
ulang tahun sendirian lagi."
Zaida menangis
lagi. Kali ini bukan tangisan sedih, tapi tangisan bahagia yang dicampur rasa
bersalah. Orangtuanya menabung dua bulan—memotong makan mereka, memotong
kebutuhan mereka—hanya untuk datang di hari ulang tahunnya.
"Maafkan
Zaida, Bu... maafkan karena Zaida jadi beban untuk Ibu dan Ayah..."
Ibu Farhana
menggenggam tangan putrinya erat. "Jangan pernah bilang begitu. Kamu bukan
beban. Kamu adalah berkah terbesar dalam hidup kami. Ayah dan Ibu rela bekerja
keras, rela capek, asalkan kamu bisa sekolah, bisa mondok, bisa jadi anak yang
shalihah."
Ayah Fatir
mengangguk. "Ibu benar, nak. Ayah rela lembur sampai tengah malam, asalkan
kamu bisa tetap di pesantren ini. Karena Ayah tahu, ilmu agama itu penting.
Ayah nggak mau kamu seperti Ayah yang nggak sekolah tinggi. Ayah mau kamu jadi
orang yang lebih baik."
Zaida tidak
bisa berhenti menangis. Ia merasa sangat bersalah karena sempat iri pada
teman-temannya yang disambang sebulan sekali. Padahal orangtuanya sudah
berjuang mati-matian, bahkan untuk datang setahun sekali pun mereka harus
menabung keras.
"Udah,
jangan nangis lagi," Laila mengelap air mata Kakaknya dengan tangan
mungilnya. "Hari ini kan Kakak ulang tahun. Harus senang!"
Zaida tertawa
di balik air mata. Ia memeluk Laila, mencium pipi adiknya berkali-kali.
"Iya, Laila benar. Kakak harus senang."
Mereka makan
bersama di gazebo itu. Zaida melahap nasi dan lauk buatan Ibu dengan
lahap—makanan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ibu selalu memasak dengan
cinta, dan Zaida bisa merasakannya di setiap suapan.
Ketika
matahari mulai condong ke barat, tanda waktu berbuka sudah dekat, Ayah Fatir
berkata, "Nak, Ayah dan Ibu harus pulang sebelum Maghrib. Ongkos pulang
mahal kalau kesorean."
Zaida
mengangguk, meski hatinya ingin berteriak "jangan pergi." Tapi ia
mengerti. Ia harus mengerti.
"Ibu
titip ya, jaga kesehatan. Jangan lupa makan. Kalau sakit, langsung bilang Bu
Hawa. Ibu sudah titip nomor Ibu ke beliau," kata Ibu Farhana sambil
merapikan kerudung Zaida.
"Iya, Bu.
Zaida janji."
"Dan
ini..." Ayah Fatir menyerahkan amplop tipis. "Uang saku untuk sebulan
ke depan. Jangan dihabiskan sekaligus ya."
Zaida menerima
amplop itu dengan tangan gemetar. Ia tahu, uang di dalam amplop ini adalah
hasil lembur Ayah bertubi-tubi. Ia tahu, untuk mengumpulkan uang ini, mungkin
Ayah melewatkan makan siang beberapa kali.
"Makasih,
Yah... Bu..."
Mereka
berpelukan lagi di gerbang. Pelukan yang panjang, yang tidak ingin berakhir.
Laila menangis tidak mau lepas dari Kakaknya. Zaida harus membujuk lama agar
Laila mau pulang dengan Ibu dan Ayah.
"Kakak
janji, kalau ada libur, Kakak usahakan pulang ya. Jangan nangis," bisik
Zaida sambil mengusap air mata Laila.
Ibu, Ayah, dan
Laila akhirnya berjalan menuju halte angkot. Zaida berdiri di gerbang,
melambaikan tangan sampai mereka menghilang dari pandangan. Air matanya jatuh
lagi, tapi kali ini ada senyum di wajahnya.
Alifa berdiri
di sampingnya, ikut melambaikan tangan meski tidak mengenal keluarga Zaida.
"Keluargamu baik sekali," katanya lembut.
"Iya,
Lif. Mereka... mereka adalah berkah terbesar dalam hidupku."
Malam itu,
setelah shalat Isya, Zaida duduk di kamar bersama Alifa, menatap kotak kue yang
masih tersisa. Ia mengambil sepotong kecil, mengunyahnya pelan.
"Lif,"
katanya sambil tersenyum. "Ini kue terindah yang pernah aku rasakan."
Alifa
tersenyum. "Karena dibuat dengan cinta."
"Iya.
Dengan cinta dan pengorbanan."
Zaida menatap
keluar jendela, ke arah langit malam yang penuh bintang. "Ya Allah,"
bisiknya dalam hati. "Terima kasih sudah memberiku orangtua seperti
mereka. Maafkan aku yang sering mengeluh. Maafkan aku yang pernah iri. Aku
berjanji akan lebih bersyukur."
Di malam itu,
Zaida tertidur dengan hati yang penuh. Penuh syukur. Penuh cinta. Penuh tekad
untuk menjadi anak yang membuat orangtuanya bangga, untuk membalas semua
pengorbanan mereka.
Dan di malam
yang sama, di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, Ibu Farhana menatap foto
Zaida sambil berdoa. "Ya Allah, lindungi anakku. Jadikan dia anak yang
shalihah. Itu saja yang Ibu minta."
Ayah Fatir
yang duduk di sampingnya menggenggam tangan istrinya. Mereka berdua lelah,
capek, tubuh mereka sakit-sakit setelah perjalanan jauh. Tapi hati mereka
bahagia. Sangat bahagia.
Karena mereka
sudah melihat senyum putri mereka. Dan itu lebih berharga dari apapun di dunia
ini.
Karena cinta orangtua tidak diukur dari seberapa sering mereka datang,
tapi dari seberapa besar mereka rela berkorban.
Tamat
Comments