Tangis di Bawah Langit Siang

 Tangis di Bawah Langit Siang

Muhammad Davin Ziyan Anaqi

Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

 

Udara subuh masih berembun ketika Daffa dan Davin melangkah keluar dari gerbang pondok. Waktu di jam dinding asrama baru menunjukkan pukul 05.43. Suara adzan Subuh belum lama usai, dan dunia seolah baru saja terbangun dari mimpi panjang. Mereka berdua berjalan dengan sandal jepit butut, menuju tempat yang mereka tahu membagikan bubur gratis setiap pagi.

“Cepetan, Vin. Kalo telat, yang dapet tinggal kuahnya,” ucap Daffa sambil menahan tawa kecil.

Davin hanya menguap lebar. “Santai, Fa. Aku belum sepenuhnya sadar hidup.”

Mereka tertawa lirih, suara tawa yang pelan tapi tulus — seperti dua sahabat yang tak pernah bosan dengan kekonyolan hidup di pondok.

Setelah mendapat dua bungkus bubur hangat, mereka berjalan ke sawah belakang pesantren. Di sana, angin berhembus pelan membawa bau tanah basah dan suara jangkrik yang belum sempat istirahat. Di tepi pematang, mereka duduk berdua, menyantap bubur sambil memandangi matahari yang mulai naik. Ada kebahagiaan sederhana yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang hidup dengan keterbatasan — tapi juga dengan syukur yang besar.

Usai makan, keduanya kembali ke pondok. Kamar mereka sunyi. Hanya ada bantal, sajadah, dan tumpukan kitab. Tanpa banyak bicara, mereka tidur hingga matahari sudah tinggi. Jam di dinding menunjukkan pukul 11.35 ketika Daffa menggeliat bangun.

“Vin, bangun. Jumat ini, kalau telat khutbah, siap-siap disuruh bersih-bersih kamar mandi,” ujarnya setengah bercanda.
Davin menjawab dari balik selimut, “Bersih-bersih aja kamu. Aku tidur aja udah cukup jadi amal jariyah.”

Mereka tertawa lagi. Tawa yang ringan, seolah hidup hanya diisi dengan hal-hal kecil yang menyenangkan.

Namun, siang itu berubah menjadi sesuatu yang tak akan pernah Daffa lupakan.

Setelah shalat Jumat, sekitar jam 13.41, Daffa duduk di sambang — tempat santri biasanya bertemu keluarga yang datang berkunjung. Ia menunggu lama, tak tahu kenapa hatinya berdebar aneh. Hingga akhirnya, suara ibunya, Bu Siti, terdengar memanggil pelan dari kejauhan.

“Daffa…”

Ia menoleh. Wajah ibunya tampak teduh, tapi matanya menyimpan sesuatu. Di sampingnya berdiri ayahnya, Pak Supri, dengan raut yang tegas namun berat.

“Fa, Bapak sama Ibu mau pindah ke luar kota… Lima tahun,” kata ibunya, suaranya nyaris bergetar.
Daffa menatap kosong. “Pindah? Kok mendadak, Bu?”

“Bisnis, Nak,” jawab ayahnya singkat. “Kita sekeluarga harus ikut. Termasuk kamu.”

Hening. Angin sore yang menyapu halaman sambang terasa dingin di kulitnya. Lima tahun. Angka itu terasa seperti jurang. Ia menunduk, menatap tanah yang mulai retak. Hatanya ikut retak.

“Boleh, Fa, aku… aku pamitan dulu sama Davin?” suaranya pelan, hampir tak terdengar.

Ayahnya hanya mengangguk.

Daffa berlari ke arah asrama. Di depan kamar, Davin masih setengah rebahan dengan wajah polosnya. Daffa langsung memeluknya tanpa kata.

“Fa, kamu kenapa?” tanya Davin bingung.

“Aku… harus ikut orang tuaku pindah. Lima tahun, Vin…”

Keheningan menggantung di udara. Lalu Davin ikut memeluk erat sahabatnya. Tak ada tawa, tak ada canda. Hanya air mata yang jatuh diam-diam di punggung satu sama lain.

Waktu seolah berhenti. Mereka tahu, tak ada yang abadi di pondok. Santri datang dan pergi. Tapi perpisahan tetap saja menyakitkan — terutama ketika hati belum siap untuk melepaskan.

TAMAT.

 

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi