Pilihlah saya menjadi menantumu, Kyai


Oleh: Moh. Kholil Mughofar
“Sudah waktunya untuk sebuah pembuktian”

Pagi-pagi sekali kang Usin, Kang Fauzi dan Kang Anam sudah duduk rapi di ruang tamu ndalem sepuh. Tadi malam ketiganya diberitahu oleh Mualimin khadam ndalem kalau Abah Yai mengutus mereka ke ndalem pagi-pagi. Perintah yang tidak jelas semacam ini membuat pikiran ketiga santri kawakan itu mengembara kemana saja arahnya.

Nampak Kang Usin sudah mulai cengar-cengir sendiri “Mungkin Abah Yai mau memberi kami ijazah kejadugan bisa melihat tembus pandang. Jadi aku gak perlu lagi susah-susah nggambas lewat lobang kunci pintu mushola hihihi”
Yang di tengah ndiluk terus “Waduh ... pasti Abah Yai akan duko pada kami lantaran kelapa pinggir papan nama yang kami panen tadi malam” Kang Fauzi sudah mulai mandi keringat.
“Pasti nanti Abah Yai akan dawuh begini ...” Kang Anam mengelus janggutnya yang tidak ada bulu jenggotnya “Kamu sudah mondok lama di sini Nam ... jadi Abah pikir sudah saatnya kamu memulai hidup baru. Jadi Abah memutuskan untuk menikahkanmu dengan ... yes yes yeeeees”
“Hush!” Fauzi meneblek paha Anam karena gaduh sendiri. Usin menoleh dengan wajah tidak fahamnya. Sedang Anam masih tetap cengar-cengir dalam lamunannya, tidak memperdulikan Fauzi yang sedang banjir keringat di sampingnya.
Ketiganya baru terdiam saat Abah Yai datang dan duduk di hadapan mereka. Ketiganya menunduk takdzim sebagaimana adab kesopanan santri pada kyainya.
Agak lama Abah Yai tidak berkata apapun. Namun Kang Usin dan kawan-kawannya tak ada yang berani angkat bicara. Khawatir kalau nanti malah membuat marah kyainya itu. Kesemuanya memilih untuk duduk terdiam dengan khusyuk saja. Menanti apa yang akan didawuhkan pengasuh pondok mereka itu.
“Kalian sudah tahu mengapa kusuruh kemari?”
“Dereng, Bah ...” Ketiganya menjawab bersamaan.
“Ngene ... lak awakmu kabeh ki wes mondok suwe nang kene[1]. Usin, sudah berapa tahun kamu mondoknya?”
“19 tahun, bah ...”Jawab Usin pelan tanpa memandang ke arah yang bertanya.
“Kamu Fauzi?”
“Sami kaleh Usin, Bah ...[2]
“Anam?”
“18 tahun 2 bulan 3 hari nanti pas jam 10 lebih 20 menit, Bah” Anam menjawab dengan detail sesuai dengan prediksinya sejak awal. Akan dihitung harinya untuk menentukan hari pernikahan yang cocok!
“Nah .... kalian tak kumpulkan di sini pagi ini sebab Abah mau mengadakan sebuah ujian untuk kalian bertiga”
Usin, Fauzi dan Anam saling gantian berpandangan.
“Bisa dibilang Abah mau mengadakan sebuah sayembara ... dan sayembara ini berhadiah tentunya. Tertarik?”
Ketiga santrinya itu hanya senyum-senyum sebab tak berani menjawab iya, nanti jangan-jangan akan susah. Kalau menjawab tidak mau jangan-jangan nanti bakal menyesal ...
“Diam berarti setuju ya” Abah Yai mengambil kesimpulan “Hadiahnya ialah ...... di antara kalian bertiga akan kunikahkan dengan putri bungsuku. Si Irna ....”
“Ehhh?!”
Ning Irna. Putri Abah Yai yang bungsu. Menghafalkan al Quran di Benda Ciamis. Bertubuh mungil namun sangat pantas. Wajahnya agak oval dengan bola mata seperti artis india. Sikapnya sumeh dan sangat disenangi semua orang. Orangnya periang dan tak canggung untuk menyapa siapapun. Idaman semua santri putra tentunya.
“Abah kira dia sudah saatnya untuk menikah. Apalagi kemarin dia baru saja wisuda al quran. Eman-eman banget kalau tidak segera dicarikan suami agar bisa menjaganya. Dan Abah ingin yang menjaganya adalah santri Abah sendiri”
“Sayembaranya apa, Bah?” Anam memberanikan diri untuk bertanya.
“Nah ngunu nu lhang tanya-tanya .....” Abah Yai tersenyum. Berganti posisi duduk lalu kembali tersenyum lagi. Suasana menjadi cerah. Usin dan yang lainnya barulah berani mengangkat wajah mereka sebab sepertinya Abah Yai sudah mengizinkan.
Usin, Fauzi dan Anam khuyuk konsentrasi mau mendengarkan dawuh Abah Yai yang selanjutnya. Keadaan hening sejenak sampai Abah Yai meneruskan kembali dawuhnya.
“Sayembaranya begini. Setiap dari kalian akan Abah beri satu tugas. Siapa yang bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik maka akan kupilih sebagai menantu sekaligus penerusku memegang pondok pesantren ini ...”
“Nggih, bah ... Insyaallah kami sanggup”
“Baiklah. Kalian kuberi waktu satu tahun. Usin ... kamu kuberi tugas ... bla bla bla”
Dan ketiganya pun segera berangkat mencoba melaksanakan tugasnya masing-masing.
.............................



Waktu berlalu begitu cepat. Sudah 1 tahun semenjak Usin dan 2 kawannya keluar dari pesantren untuk menempuh ujian besar. Hari yang telah ditentukan telah tiba. Sesuai janji Abah Yai menanti kedatangan ketiga santri kebangganyaannya itu di depan ndalem. Sampai pukul 10 belum juga ada yang nampak. Namun Abah Yai memaklumi lantaran tugas-tugas yang ia berikan pada mereka memang tidaklah mudah.
Secangkir kopi hangat menemani beliau. Sudah dua piring mendoan masakan ning Irna ia habiskan demi bersabar menantikan 3 santrinya. Pukul 11 tepat akhirnya nampak pula salah satu dari mereka. Abah Yai segera berdiri dan menghampiri ke tepian emperan ndalem. Ternyata Usin yang pertama kali tiba. Tubuhnya terlihat begitu lusuh dan basah kuyup.
“Usin ...” Tanya Abah Yai sambil tersenyum ramah “Bagaimana/ Kamu sudah bisa kan terbang Bojonegoro-Banten”
“Usin menunduk pasrah “Maafkan saya, Bah ... saya belum berhasil ...”
Demi mendengar kegagalan santrinya itu Abah Yai sudah tak bisa lagi menutupi kekecewaannya. “Dasar santri malas! 19 tahun kamu mengikutiku lo kamu belajar apa? Sudah! Sana kembali ke pondok!”
Beberapa saat kemudian, giliran Fauzi yang sampai. Abah Yai pun memapaknya sebagaimana terhadap Usin tadi. Namun wajahnya sudah tidak bisa tersenyum. Beliau tidak terlalu berharap lagi pada santri-santrinya itu.
“Nah Fauzi. Apakah kamu sudah bisa jalan di atas air menyebrangi selat Madura?”
“Ngapunten sanget, Bah ... Saya belum bisa”
“Halah!!! Bagaimana kamu ini! Tadi Usin sudah gagal dan ternyata kamu juga gagal?! Lalu 19 tahun di sini kamu belajar apa???” Abah Yai terduduk demi menahan marah “Sana kembali ke pondok!”
Perasaan sangat sedih menerpa Abah Yai. 2 santri andalannya telah gagal. Beliau kira dengan 19 tahun ngaji tentu 2 santrinya itu akan bisa menyelesaikan tugas. Apalagi masih diberi waktu 1 tahun. Namun mau bagaimana lagi? Gagal ya gagal. Jadi tinggal menunggu Anam yang belum juga nampak. Akan tetapi Abah Yai benar-benar sudah tidak mau berharap lagi. Paling-paling santrinya yang terakhir inipun akan sama-sama gagal seperti 2 lainnya.
Sore petang hampir manjing maghrib Anam barulah sampai. Dengan tubuh lusuh, pakaian compang-camping dan wajah letih bekas mendapat bencana besar. Namun senyum bangga menghiasi terejengannya itu. Sepertinya Anam telah berhasil melaksanakan tugasnya. Abah Yai segera turun ke halaman. Anam meraih tangannya lalu menciumnya dengan takdhim. Abah yai senang sekali.
“Nah Anam .... kelihatannya kamu berhasil melaksanakan tugas yang kuberikan padamu?”
“Alhamdulillah, Bah. Meski saya harus melalui bencana besar dan usaha mati-matian pula”
“Ya ya tak apa .... jadi, mana bola pimpong yang Abah suruh kamu mencarinya?”
“Eh? Bola pimpong, Bah?? Saya kira nangkep kingkong????” Dan Anam pun nggeblak seketika.


PP. ADNAN AL CHARISH NGUMPAKDALEM DANDER BOJONEGORO



[1] “Begini ... kan kalian semua sudah mondok lama di sini ...”
[2] “Sama dengan Usin, Bah ...”

Comments