Pertarungan Titan di Tengah Banjir Bojonegoro
Pertarungan Titan di Tengah Banjir Bojonegoro
Alif Nur
Afrizal
Hujan telah
mengguyur Bojonegoro tanpa henti selama tiga hari. Sungai Bengawan Solo yang
biasanya tenang kini meluap ganas, menelan jalan-jalan, rumah penduduk, dan
sawah-sawah yang baru saja menguning. Banjir terburuk dalam sejarah kota ini
membuat ribuan warga mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
Pak Yanto,
kepala desa Kanor, menghela napas panjang sambil memandang hamparan air coklat
yang menenggelamkan desanya. Dari bukit tempat pengungsian, pemandangan kota
Bojonegoro yang biasanya dipenuhi aktivitas kini berubah menjadi lautan keruh
dengan atap-atap rumah menyembul di permukaannya.
"Sudah
tiga hari, tapi hujan belum juga reda," keluhnya pada Camat yang baru saja
mengunjungi lokasi pengungsian.
Tepat saat itu,
tanah di bawah kaki mereka bergetar. Awalnya hanya getaran kecil, namun
perlahan intensitasnya meningkat hingga membuat beberapa tenda pengungsian
roboh.
"Gempa?"
tanya salah seorang warga panik.
Namun bukan
gempa yang menyebabkan getaran itu. Dari arah hutan jati di sebelah timur kota,
pepohonan bergerak liar. Dalam sekejap, sosok raksasa muncul di antara kabut
hujan—seekor gorila hitam setinggi gedung lima lantai. Matanya merah menyala,
dan setiap langkahnya membuat tanah bergetar.
"Ya Allah!
Apa itu?" teriak warga bersamaan, berlarian mencari perlindungan.
Gorila raksasa
itu mengaum keras, memukul-mukul dadanya yang bidang sebelum melompat ke arah
pusat kota yang terendam banjir. Air bah bermuncratan tinggi setiap kali
kakinya mendarat, menambah kekacauan yang sudah ada.
Bupati
Bojonegoro yang sedang meninjau lokasi banjir di alun-alun kota segera
dievakuasi. Petugas TNI dan Polri yang awalnya fokus pada evakuasi korban
banjir kini kebingungan menghadapi situasi tak terduga ini.
"Hubungi
markas pusat! Minta bantuan udara!" perintah Komandan Kodim setempat
melalui HT-nya.
Namun belum
sempat bantuan datang, permukaan air di tengah kota tiba-tiba bergejolak.
Sesuatu yang besar bergerak di bawahnya. Warga yang menyaksikan dari kejauhan
menahan napas.
"Tsunami?"
bisik seorang nenek ketakutan.
Air menyembur
tinggi, dan sosok raksasa kedua muncul—seekor reptil raksasa mirip dinosaurus
dengan sirip punggung yang tajam. Makhluk itu mengaum, membuat kaca-kaca
jendela gedung di sekitarnya pecah berkeping-keping.
"Godzilla..."
bisik seorang anak kecil yang masih memegang action figure di tangannya, takjub
sekaligus ketakutan.
Kedua makhluk
raksasa itu kini berhadapan—gorila hitam dengan mata merah dan reptil raksasa
dengan napas berasap. Mereka saling menatap, seolah mengukur kekuatan lawan.
Penduduk Bojonegoro yang tadinya panik karena banjir kini terpaku menyaksikan
pemandangan yang seperti keluar dari film fiksi ilmiah.
Gorila bergerak
lebih dulu, melompat dengan kepalan tangan terangkat. Godzilla mengelak,
membuat air banjir tersembur tinggi membasahi bangunan-bangunan di sekitarnya.
Ekornya yang panjang menyapu, menghantam gorila hingga terpental menabrak
menara masjid agung kota.
"Astaga!
Masjid kita!" pekik Pak Kiai yang baru saja mengevakuasi Al-Quran dari
dalam masjid.
Gorila bangkit,
meraung marah. Ia mencabut sebatang pohon jati besar dan menggunakannya sebagai
pentungan. Godzilla membalas dengan semburan api biru dari mulutnya, membakar
pohon itu seketika.
Pertarungan
semakin sengit. Kedua makhluk raksasa itu bergulat di tengah kota,
menghancurkan bangunan-bangunan yang selamat dari banjir. Stasiun kereta api
Bojonegoro yang bersejarah kini tinggal puing. Kompleks perkantoran pemerintah
daerah rata dengan tanah. Jembatan Bengawan Solo yang menghubungkan Bojonegoro
dengan Tuban ambruk setelah ditabrak tubuh Godzilla.
Dari kejauhan,
Kolonel Prajitno memimpin evakuasi warga dengan beberapa helikopter TNI.
"Ini di luar nalar kita. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah
menyelamatkan sebanyak mungkin warga," katanya pada stafnya.
Sementara itu,
Bu Asih, seorang pedagang pecel di pasar tradisional, justru tersenyum tipis
melihat pertarungan itu.
"Bu Asih
kok malah senyum-senyum?" tanya tetangganya heran.
"Saya baru
ingat cerita mbah saya dulu. Katanya, jika Bojonegoro dilanda bencana besar,
dua penjaga kota akan bangkit dan bertarung. Yang menang akan melindungi kota
ini dari kehancuran total," jawab Bu Asih tenang.
Entah kebetulan
atau tidak, tepat setelah Bu Asih selesai berbicara, arah pertarungan berubah.
Godzilla dan gorila raksasa kini seolah tidak lagi saling menyerang, melainkan
berfokus menghancurkan sesuatu di dasar sungai Bengawan Solo.
Air bergemuruh
hebat. Dari kedalaman sungai, muncul sosok ular raksasa dengan sisik hitam
mengkilap. Makhluk ketiga ini jauh lebih besar dari Godzilla dan gorila.
Matanya kuning menyala dan taringnya menetes racun hijau yang membuat air
disekitarnya mendesis.
"Blorong..."
bisik Bu Asih, merujuk pada makhluk mistis dalam mitologi Jawa.
Kini, Godzilla
dan gorila raksasa bersatu melawan musuh baru ini. Pertarungan tiga titan di
tengah banjir Bojonegoro semakin dahsyat. Ular raksasa melilit Godzilla,
sementara gorila memukuli kepalanya dengan batu-batu besar.
Langit yang
tadinya gelap mendadak terbelah. Kilat menyambar, mengenai ketiga makhluk itu
sekaligus. Untuk sesaat, cahaya menyilaukan membutakan pandangan semua orang.
Ketika mereka membuka mata kembali, ketiga makhluk raksasa itu lenyap tanpa
jejak.
Yang lebih
mengejutkan, banjir yang menenggelamkan Bojonegoro perlahan surut. Sungai
Bengawan Solo kembali tenang, dan matahari mulai menyembul dari balik awan.
"Mereka
pergi..." ujar Pak Yanto takjub.
"Tidak
pergi," sanggah Bu Asih. "Mereka kembali tidur, menunggu waktu
berikutnya untuk bangkit melindungi tanah ini."
Tiga bulan
kemudian, Bojonegoro telah pulih dari bencana. Bangunan-bangunan
direkonstruksi, sawah kembali ditanami. Yang menarik, di alun-alun kota kini
berdiri tiga patung raksasa—gorila, kadal bersirip, dan ular—sebagai pengingat
akan kejadian luar biasa yang mereka alami.
Tak ada yang
tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu. Namun satu hal yang
diyakini warga Bojonegoro: di balik bencana, selalu ada kekuatan tak terduga
yang menjaga mereka.
Dan jika suatu
hari hujan turun terlalu deras, beberapa warga akan berbisik, "Jangan
khawatir, para penjaga kota sedang bersiap." Selesai.
Comments