Surat Rahasia di Pesantren Al-Hidayah
Surat Rahasia di Pesantren Al-Hidayah
Senja itu, langit di atas Pesantren Al-Hidayah terlihat kemerahan seperti wajah Khadijah yang tengah membaca surat misterius di tangannya. Santri kelas 3 Aliyah itu baru saja selesai mengaji Al-Qur'an di masjid ketika menemukan amplop putih tanpa nama pengirim terselip di antara kitab Riyadhus Shalihinnya.
"Bismillah..." bisiknya pelan sambil memastikan tidak ada yang melihat. Dengan tangan gemetar, ia membuka surat itu.
Kepada ukhti yang mulia,
Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Semoga surat ini sampai dengan selamat. Aku tahu ini melanggar aturan pesantren, tapi ada hal penting yang harus kusampaikan. Aku sudah lama memperhatikanmu dari kejauhan. Cara kamu mengaji, cara kamu membantu santri junior, semuanya membuatku kagum. Aku ingin berkenalan denganmu dengan cara yang halal.
Jika ukhti berkenan, mohon balas surat ini dan letakkan di tempat yang sama. Aku akan menunggu.
Wassalamu'alaikum Seorang santri yang mengagumi akhlakmu
Khadijah merasakan jantungnya berdebar kencang. Wajahnya memanas. Ini adalah pertama kalinya ia menerima surat dari seorang laki-laki, apalagi santri putra.
"Astaghfirullah..." gumamnya sambil segera melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam saku jilbabnya.
....................
Malam itu, Khadijah tidak bisa tidur nyenyak. Ia terus memikirkan surat rahasia tersebut. Di sampingnya, Aminah, teman sekamarnya, tampak lelap tertidur setelah seharian menghafalkan Al-Qur'an.
"Ya Allah, apa yang harus kulakukan?" batinnya gelisah.
Ia ingat betul aturan pesantren yang sangat tegas: santri putra dan putri dilarang keras berkomunikasi tanpa ada keperluan yang jelas dan tanpa sepengetahuan pengasuh. Pelanggaran ini bisa berujung pada pemecatan dari pesantren.
Namun di sisi lain, hati kecilnya merasa penasaran. Siapa gerangan santri putra yang berani mengambil risiko besar hanya untuk mengirimnya surat? Bagaimana ia bisa tahu kebiasaan Khadijah yang suka membantu santri junior?
Keesokan harinya, setelah shalat subuh, Khadijah memutuskan untuk bercerita kepada Ustadzah Maryam, wali kelasnya yang dikenal bijaksana dan penyayang.
....................
"Ustadzah, saya ingin berkonsultasi tentang sesuatu yang penting," kata Khadijah setelah memastikan ruangan kosong.
Ustadzah Maryam, seorang wanita paruh baya yang berwajah lembut, mengangguk sambil tersenyum. "Silakan, anakku. Ada apa?"
Dengan ragu-ragu, Khadijah menceritakan tentang surat rahasia yang diterimanya. Ia menunjukkan surat itu kepada ustadzahnya.
Ustadzah Maryam membaca surat tersebut dengan seksama, ekspresinya serius namun tidak marah. Setelah selesai, ia menatap Khadijah dengan pandangan yang penuh hikmah.
"Subhanallah, anakku. Ini adalah ujian bagimu," kata ustadzah dengan lembut. "Allah SWT sedang menguji keimanan dan ketaatanmu pada aturan-Nya."
"Bagaimana sikap yang benar, Ustadzah?" tanya Khadijah dengan mata berkaca-kaca.
"Dalam Islam, niatnya mungkin baik, ingin berkenalan dengan cara halal. Tapi caranya yang tidak tepat," jelas Ustadzah Maryam. "Pesantren memiliki aturan untuk melindungi kehormatan santri-santrinya. Jika kalian benar-benar serius, ada jalur yang benar."
....................
Ustadzah Maryam kemudian menjelaskan prosedur yang seharusnya dilakukan jika ada santri yang ingin berkenalan untuk tujuan serius.
"Jika niatnya baik dan serius untuk ta'aruf menuju pernikahan, santri putra itu seharusnya menghubungi wali atau keluarganya untuk menemui pengasuh pesantren. Lalu pengasuh akan memfasilitasi pertemuan yang sopan dan sesuai syariat," jelasnya.
"Lalu bagaimana dengan surat ini, Ustadzah?"
"Kamu harus membalas surat ini, tapi bukan untuk meneruskan korespondensi rahasia. Jelaskan padanya cara yang benar jika niatnya memang serius. Sekaligus ingatkan dia tentang konsekuensi dari tindakannya," saran Ustadzah Maryam.
Khadijah mengangguk paham. "Baik, Ustadzah. Tapi bagaimana jika dia tetap nekad?"
"Maka kita akan melaporkannya kepada Kyai pengasuh putra. Bukan untuk menjatuhkan hukuman, tapi untuk memberikan pembinaan," jawab ustadzah dengan tegas namun penuh kasih sayang.
....................
Malam itu, dengan hati-hati, Khadijah menulis surat balasan:
Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Akhi yang terhormat,
Jazakallahu khairan atas surat yang telah dikirim. Aku menghargai niat baik akhi, namun cara yang akhi tempuh tidaklah tepat menurut syariat dan aturan pesantren.
Jika niat akhi memang serius untuk ta'aruf menuju jenjang yang halal, ada cara yang lebih baik dan berkah. Hubungi keluarga akhi untuk menemui pengasuh pesantren. Mereka akan memfasilitasi perkenalan yang sesuai dengan syariat Islam.
Aku berharap akhi memahami bahwa komunikasi rahasia seperti ini dapat membahayakan nama baik kita berdua dan melanggar aturan pesantren yang telah ditetapkan untuk kebaikan bersama.
Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.
Wassalamu'alaikum
Ukhti yang mengingatkan dalam kebaikan
Setelah menitipkan surat balasan di tempat yang sama, Khadijah merasa lega. Ia telah mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan di pesantren.
....................
Tiga hari berlalu tanpa ada respons. Khadijah mulai merasa tenang, mengira santri putra itu telah memahami pesannya. Namun pada hari keempat, ia mendapat kejutan.
Saat sedang mengaji di perpustakaan, Ustadzah Maryam menghampirinya dengan wajah cerah.
"Khadijah, ada yang ingin bertemu denganmu di ruang tamu," katanya.
Di ruang tamu, Khadijah melihat seorang laki-laki paruh baya berjenggot yang duduk bersama Kyai Hasan, pengasuh putra. Di sampingnya ada seorang pemuda yang menunduk malu.
"Assalamu'alaikum, neng Khadijah," sapa laki-laki itu ramah. "Saya Pak Ahmad, ayah dari Muhammad Farid, santri kelas 3 Aliyah putra."
Khadijah terkejut. Jadi santri yang mengirim surat itu bernama Muhammad Farid, dan ternyata ayahnya sudah datang ke pesantren.
....................
Kyai Hasan kemudian menjelaskan situasinya. "Farid telah menceritakan semuanya kepada ayahnya setelah membaca surat balasanmu, neng. Dia sadar telah melakukan kesalahan dan ingin memperbaikinya dengan cara yang benar."
Pak Ahmad menambahkan, "Saya bangga dengan sikap putri yang mengingatkan anak saya tentang cara yang benar. Itu menunjukkan akhlak yang mulia."
"Sekarang, jika kalian berdua memang merasa ada kecocokan untuk melanjutkan ta'aruf, kami bisa memfasilitasi dengan cara yang sesuai syariat," lanjut Kyai Hasan.
Khadijah melirik ke arah Farid yang masih menunduk. Pemuda itu kemudian angkat bicara dengan suara pelan, "Saya minta maaf atas kesalahan saya. Saya sadar seharusnya tidak mengirim surat secara diam-diam. Terima kasih telah mengingatkan saya tentang jalan yang benar."
....................
Setelah pertemuan tersebut, Khadijah meminta waktu untuk berpikir dan bermusyawarah dengan keluarganya. Ia merasa bersyukur karena masalah yang semula membuatnya gelisah kini terselesaikan dengan cara yang penuh hikmah.
Malam itu, ia duduk di taman pesantren bersama Aminah, sahabat karibnya, sambil menatap bintang-bintang.
"Subhanallah, ternyata cara Allah menyelesaikan masalah selalu yang terbaik ya, Aminah," kata Khadijah reflektif.
"Iya, Khadijah. Kamu telah mencontohkan bagaimana menghadapi ujian dengan cara yang benar. Tidak menuruti hawa nafsu, tapi tetap menjaga adab dan akhlak," puji Aminah.
"Aku belajar bahwa ketika kita istiqamah di jalan yang benar, Allah akan memberikan jalan keluar yang penuh berkah," lanjut Khadijah.
.....................
Seminggu kemudian, setelah bermusyawarah dengan keluarga dan istikharah, Khadijah memberikan jawaban melalui Ustadzah Maryam. Ia bersedia untuk melanjutkan ta'aruf dengan Farid, namun dengan syarat keduanya harus menyelesaikan pendidikan di pesantren terlebih dahulu.
"Kami masih harus fokus mencari ilmu dan memperbaiki diri. Jika memang jodoh, Allah akan memudahkan setelah kami lulus," pesan Khadijah melalui ustadzahnya.
Farid menerima keputusan itu dengan lapang dada. Ia bahkan berterima kasih karena Khadijah telah mengajarkannya tentang kesabaran dan cara yang benar dalam Islam.
.....................
Dua tahun kemudian, setelah keduanya lulus dari pesantren dengan prestasi gemilang, ta'aruf mereka berlanjut dengan restu kedua keluarga. Pernikahan mereka dilangsungkan di pesantren Al-Hidayah, menjadi inspirasi bagi santri-santri lainnya tentang cara berkenalan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dalam khutbah pernikahannya, Kyai Hasan berkata, "Inilah buah dari kesabaran dan ketaatan pada aturan Allah. Ketika kita mengikuti jalan-Nya, meski terasa sulit, hasilnya akan selalu yang terbaik."
Khadijah dan Farid saling berpandangan dengan senyum bahagia. Mereka bersyukur telah memilih jalan yang penuh berkah, dimulai dari sebuah surat rahasia yang hampir membuat mereka tersesat, namun akhirnya menuntun mereka ke jalan yang diridhoi Allah.
Tamat
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." - QS. Ar-Rum: 21
Pesantren Al-Hidayah kembali tenang, dengan satu pelajaran berharga: cinta yang dimulai dengan ketaatan akan berbuah kebahagiaan yang berkah.
Comments