Aku Bukan Seorang Pencuri

 


Aku Bukan Seorang Pencuri

Senja mulai menyapa ketika Aina berjalan menyusuri halaman PP. Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro. Langkahnya gontai, tidak seperti biasanya. Mata gadis berkerudung biru itu sembab, bekas tangisan yang susah payah ia tahan sejak dipanggil ke kantor asrama putri tadi siang. Tuduhan yang dialamatkan kepadanya bagaikan petir di siang bolong—mencuri uang bendahara asrama. Seumur hidupnya di pesantren yang akrab disebut PP. Malibo ini, belum pernah ia merasa sehina ini.

"Aina, tunggu!" terdengar suara Lina, sahabatnya sejak pertama kali mondok.

Aina mempercepat langkahnya, enggan bertemu siapapun. Ia berbelok cepat ke arah mushola yang berada di tengah kompleks pesantren, berharap menemukan ketenangan di sana. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sekelompok santri putri sedang bersiap untuk mengaji. Dengan tergesa, ia membalikkan badan menuju asrama putri yang terletak di utara mushola.

"Aina, jangan lari terus. Aku percaya kamu tidak melakukannya!" Lina berhasil menyusulnya dan memegang pundaknya.

Aina menghela nafas panjang sebelum akhirnya berhenti. "Bagaimana aku tidak lari, Lin? Semua orang memandangku seperti pencuri sekarang."

"Tidak semua. Aku percaya padamu," ujar Lina tegas. "Ayo, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi."

Mereka memilih duduk di teras belakang asrama putri, tempat yang cukup sepi karena jam itu sebagian besar santri sedang berada di madrasah untuk kegiatan sore. Di kejauhan terlihat Bu Hawa, kepala asrama putri yang tegas, sedang mengarahkan beberapa santri untuk membersihkan halaman.

"Tadi siang aku dipanggil ke kantor asrama. Bu Hawa bilang ada laporan kehilangan uang kas bendahara asrama. Uang itu seharusnya digunakan untuk membeli keperluan asrama," Aina mulai bercerita dengan suara bergetar.

"Lalu?"

"Maya bersaksi bahwa dia melihatku memasuki kamar pengurus dan mengambil uang dari laci meja bendahara."

Mata Lina melebar. "Maya? Santri baru itu?"

Aina mengangguk lemah. "Dia bahkan menjelaskan dengan sangat rinci, Lin. Katanya dia melihatku kemarin sore sekitar pukul empat masuk ke kamar pengurus saat sepi, membuka laci dengan hati-hati, dan mengambil amplop berisi uang."

"Tapi kemarin sore kita sedang membantu Mbak Qia di kantin putri. Aku ingat betul karena kita harus menggantikan petugas piket yang sakit," Lina mengerutkan kening.

"Aku sudah bilang begitu, tapi Maya bersikeras bahwa dia melihatku. Dan... Bu Hawa sepertinya lebih percaya padanya. Maya kan terkenal rajin dan selalu mendapat nilai bagus."

Lina mendengus. "Rajin belum tentu jujur."

Dari kejauhan, mereka melihat Maya berjalan dengan beberapa temannya. Gadis dengan kerudung merah muda itu melirik sekilas ke arah Aina dan Lina sebelum berbisik kepada teman di sampingnya. Tawa kecil mereka terdengar menyakitkan di telinga Aina.

"Aina, sudah sarapan?" suara lembut terdengar dari belakang mereka. Bunyai Fifi, istri KH. M. Ihsanuddin yang berasal dari Surakarta itu, berdiri dengan senyum hangat.

"Sudah, Nyai," jawab Aina lirih, berusaha menyembunyikan kesedihannya.

Bunyai Fifi duduk di samping mereka. "Mbak Risa memberitahuku tentang apa yang terjadi. Jangan khawatir, kebenaran selalu memiliki caranya sendiri untuk terungkap."

Air mata Aina kembali menggenang. Bunyai Fifi selalu memiliki mata yang jeli dan hati yang peka. "Saya tidak mengambil uang itu, Nyai. Saya berani bersumpah."

"Aina, di pesantren ini kita diajarkan untuk selalu jujur dan sabar menghadapi ujian," Bunyai mengelus pundak Aina. "Percayalah pada Allah. Sementara itu, jangan berhenti mencari kebenaran."

Setelah Bunyai Fifi pergi, Lina menatap Aina dengan penuh tekad. "Kita harus mencari bukti, Aina. Kamu tidak boleh diam saja."

"Tapi bagaimana? Maya punya saksi yang melihatku keluar dari kamar pengurus."

"Siapa?"

"Dewi. Temannya yang selalu bersamanya."

Lina berpikir sejenak. "Bukankah di depan kamar pengurus ada CCTV yang dipasang setelah kejadian kehilangan kitab bulan lalu?"

Mata Aina berbinar untuk pertama kalinya hari itu. "Benar! Tapi bagaimana cara kita mengaksesnya?"

"Kita bisa minta tolong Kang Wahab. Dia 'kan yang mengurus keamanan dan CCTV di pesantren."

Keesokan harinya, Aina dan Lina menunggu dengan gelisah di depan ndalem pengasuh. Mereka berharap dapat bertemu dengan Kang Wahab yang merupakan salah satu abdi ndalem Kyai Ihsan.

"Assalamu'alaikum," sapa Kang Wahab yang baru keluar dari ndalem.

"Wa'alaikumussalam, Kang," jawab keduanya bersamaan.

"Ada apa, nduk? Tumben pagi-pagi sudah di sini," tanya Kang Wahab ramah.

Lina menjelaskan maksud kedatangan mereka dengan hati-hati. Kang Wahab mendengarkan dengan seksama sebelum mengangguk pelan.

"Insyaallah saya bantu. Tapi ini harus sepengetahuan Pak Kyai atau Bu Nyai. Karena akses CCTV tidak bisa sembarangan."

Mereka setuju dan beruntung Kyai Ihsanuddin kebetulan sedang berada di ndalem. Setelah mendengar penjelasan mereka, Kyai yang dikenal dengan kebijakannya itu langsung memberi izin.

"Kebenaran memang harus dicari, bukan ditunggu," ujar Kyai Ihsanuddin sambil memperbaiki posisi kacamatanya. "Kang Wahab, tolong periksa rekaman kemarin sore dan sehari sebelumnya."

Di ruang monitor, mereka melihat rekaman CCTV dengan teliti. Tidak ada tanda-tanda Aina memasuki kamar pengurus pada waktu yang disebutkan Maya. Namun, mereka terkejut saat melihat sosok Maya sendiri yang masuk ke kamar tersebut pada sore hari yang sama.

"Astaghfirullah... ini tidak benar," gumam Kyai Ihsanuddin.

Rekaman itu juga menunjukkan bahwa Aina memang berada di kantin putri bersama Lina pada waktu yang Maya tuduhkan.

"Kita perlu memanggil Maya dan menyelesaikan masalah ini," kata Kyai dengan tegas.

Sore itu, di kantor asrama putri, Maya duduk dengan kepala tertunduk di hadapan Kyai Ihsanuddin, Bunyai Fifi, dan Bu Hawa. Aina dan Lina juga hadir sebagai pihak yang dituduh dan saksi.

"Maya, kami sudah melihat rekaman CCTV," kata Bu Hawa dengan suara tegas. "Kamu harus jujur sekarang."

Maya mulai terisak. "Maafkan saya, Bu... Saya yang mengambil uang itu. Saya butuh untuk membayar biaya pengobatan ibu saya di rumah. Tapi saya takut mengakuinya, jadi saya... saya menuduh Aina."

Bunyai Fifi menghela nafas. "Maya, di pesantren ini kita selalu mengajarkan kejujuran dan tolong-menolong. Kalau kamu ada kesulitan, harusnya kamu cerita kepada kami, bukan malah menuduh orang lain."

"Kenapa harus Aina yang kamu tuduh?" tanya Kyai Ihsanuddin lembut.

Maya menunduk semakin dalam. "Karena... karena saya iri padanya. Dia selalu dipuji oleh semua ustadzah dan disukai banyak santri. Saya pikir... jika dia mendapat masalah, saya bisa lebih diperhatikan."

Hening sejenak menyelimuti ruangan itu.

"Maya," Kyai Ihsanuddin memecah keheningan. "Islam mengajarkan kita untuk selalu berbuat baik dan jujur. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa kejujuran menuntun pada kebaikan dan kebaikan menuntun ke surga. Sedangkan kebohongan menuntun pada kejahatan dan kejahatan menuntun ke neraka."

Maya menangis terisak. "Saya menyesal, Pak Kyai. Sungguh menyesal."

"Sebagai hukuman," lanjut Bu Hawa, "kamu harus mengembalikan uang itu, meminta maaf di depan semua santri putri, dan mendapat tugas tambahan selama sebulan."

Bunyai Fifi menambahkan dengan lembut, "Dan untuk masalah ibumu, seharusnya kamu bercerita. Pesantren ini punya dana untuk membantu santri yang keluarganya sakit. Kang Emi yang mengurus bagian itu."

Aina yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. "Saya memaafkan Maya, Bu Nyai, Pak Kyai. Mungkin saya juga ada salah tanpa saya sadari sampai Maya merasa seperti itu terhadap saya."

Kyai Ihsanuddin tersenyum. "Inilah indahnya pesantren. Kita belajar menghadapi ujian, memaafkan, dan memperbaiki diri. Maya, belajarlah dari Aina yang bisa memaafkanmu meski kamu sudah melukainya."

Malam itu, setelah shalat Isya berjamaah di mushola, para santri putri berkumpul di aula asrama. Maya, dengan air mata berlinang, meminta maaf kepada Aina di depan semua santri. Aina menerimanya dengan tulus, bahkan memeluk Maya dengan hangat.

Di sudut ruangan, Bunyai Fifi berbisik kepada Kyai Ihsanuddin, "Alhamdulillah, masalah ini menjadi pelajaran berharga bagi semua santri."

Kyai mengangguk. "Benar. Kadang Allah menguji kita tidak untuk menghukum, tapi untuk mendidik. Aina diuji kesabarannya, Maya diuji kejujurannya."

Sebelum tidur, Aina membuka kembali kitab Ihya Ulumuddin peninggalan ayahnya. Dia membaca tentang taubat dan bagaimana seseorang bisa memperbaiki diri setelah berbuat salah. Hatinya merasa damai, karena ia telah belajar arti penting kejujuran, kesabaran, dan memaafkan—nilai-nilai yang selalu diajarkan di PP. Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro.

Di luar kamar asrama putri, bulan bersinar terang menerangi halaman pesantren yang sunyi. Besok adalah hari baru, dan setiap santri akan kembali menimba ilmu dengan semangat yang sama namun jiwa yang semakin dewasa.

Comments

Popular posts from this blog

Bisikan di Kamar Mandi

Sang Jenderal telah Menikah

Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren