Lereng Kesucian

 


Lereng Kesucian

Senja itu menghampar dengan warna jingga yang menyapu atap-atap genteng pondok pesantren Al-Hikmah. Zahra duduk di beranda asrama putri, matanya menerawang ke arah masjid tempat para santri putra sedang bersiap untuk salat maghrib. Di antara barisan itu, sosok tinggi berjenggot tipis yang selalu membuatnya deg-degan kini tampak jelas.

Ustaz Hakim. Pengajar muda lulusan Al-Azhar yang baru setahun mengabdi di pesantren ini. Suaranya yang merdu saat mengaji, caranya menjelaskan tafsir dengan sabar, dan senyumnya yang tulus kepada para santri—semuanya telah mencuri hati Zahra tanpa sepengetahuan siapa pun.

"Zahra, kowe kok melamun wae to?" tegur Siti Aisyah, teman sekamarnya yang sudah seperti kakak sendiri.

"Ora apa-apa, Mbak Ais. Cuma... cape sedikit," jawab Zahra sambil mengalihkan pandangan dari masjid.

Aisyah tersenyum tipis. Sudah berbulan-bulan dia memperhatikan tingkah laku sahabatnya itu. Cara Zahra yang tiba-tiba bersemangat ketika ada pelajaran Ustaz Hakim, atau bagaimana matanya berbinar saat mendengar namanya disebut. Sebagai santri senior, Aisyah paham betul bahwa perasaan seperti itu wajar, tetapi juga berbahaya jika tidak segera dikendalikan.

"Zahra, kowe kudu eling. Kita di sini tujuannya belajar agama, bukan yang lain," kata Aisyah dengan nada bijaksana.

Zahra menunduk. Dia tahu Aisyah benar. Sudah berkali-kali dia berusaha mengusir perasaan itu, tapi hatinya seakan punya kehendak sendiri. Setiap kali melihat Ustaz Hakim mengajar, setiap kali mendengar suaranya yang teduh, perasaan itu justru semakin menguat.

Tiga hari kemudian, ketika Zahra sedang asyik mengerjakan tugas nahwu di perpustakaan, Nyai Khadijah—pengurus asrama putri—menghampirinya dengan wajah serius.

"Zahra, ada tamu untukmu. Bapakmu datang," kata Nyai Khadijah.

Jantung Zahra berdegup kencang. Bapaknya jarang sekali datang ke pesantren, kecuali ada urusan penting. Dengan langkah tergesa, dia menuju ruang tamu. Di sana, Bapaknya duduk dengan wajah tegas yang sudah tidak asing lagi.

"Bapak? Ada apa?" tanya Zahra sambil mencium tangan ayahnya.

"Zahra, Bapak ada kabar baik untukmu. Kyai Hasan dari Ponorogo—anak Kyai Munir yang terkenal itu—sudah melamarmu. Keluarganya baik, anaknya alim, dan pesantrennya besar. Ini jodoh yang baik, Nak."

Dunia Zahra seakan runtuh seketika. Lamaran? Menikah? Tapi dia bahkan belum menyelesaikan pendidikannya di sini. Masih ada dua tahun lagi sebelum dia lulus dari program ma'had aly.

"Tapi, Pak... Zahra masih sekolah. Masih ingin belajar..."

"Belajar bisa dilanjutkan setelah menikah, Zahra. Kyai Hasan itu pengertian, dia akan mendukung pendidikanmu. Lagipula, jodoh seperti ini tidak datang dua kali."

Zahra terdiam. Hatinya bergejolak antara rasa hormat kepada orang tua dan keinginannya untuk menyelesaikan cita-cita. Sementara itu, bayangan Ustaz Hakim entah mengapa muncul di benaknya, membuat dadanya sesak.

"Zahra akan pulang minggu depan untuk bertemu calon suamimu. Siapkan dirimu baik-baik," kata Bapaknya sebelum pamit.

Malam itu, Zahra tidak bisa tidur. Dia duduk di jendela kamar, menatap langit penuh bintang sambil bergumam pelan, "Gusti Allah, punapa karep-Mu kula ora ngerti."

"Zahra, kowe ora turu?" Aisyah terbangun dan duduk di sampingnya.

"Mbak Ais, aku dijodohkan," bisik Zahra dengan suara bergetar.

Aisyah terdiam sejenak, kemudian memeluk sahabatnya itu. "Subhanallah... Mungkin ini yang terbaik untukmu, Zahra."

"Tapi aku belum siap, Mbak. Masih ingin belajar di sini sampai selesai. Dan... dan..."

"Dan apa?"

Zahra tidak melanjutkan. Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa hatinya masih tersangkut pada sosok yang tak mungkin dia miliki?

Seminggu kemudian, Zahra pulang kampung dengan hati yang berat. Pertemuan dengan Kyai Hasan berjalan baik. Pemuda itu memang alim, sopan, dan berwibawa meski masih muda. Keluarganya menyambut Zahra dengan hangat.

"Alhamdulillah, Zahra cocok sekali dengan Hasan," kata ibunya dengan wajah bahagia.

Melihat kebahagiaan orang tuanya, Zahra akhirnya mengangguk pelan. "Baik, Zahra terima lamarannya."

Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Keesokan harinya, Bapaknya mengumumkan sesuatu yang membuat Zahra terkejut.

"Zahra, pernikahannya akan dilangsungkan bulan depan. Keluarga Kyai Hasan ingin segera, dan Bapak juga setuju."

"Bulan depan?" Zahra hampir berteriak. "Tapi kan Zahra masih sekolah, Pak. Masih ada ujian semester..."

"Pendidikan bisa ditunda dulu, Zahra. Yang penting sekarang adalah pernikahan. Nanti setelah menikah, kalau suamimu mengizinkan, kamu bisa melanjutkan."

"Tidak, Pak! Zahra tidak mau menikah sekarang!" kali ini Zahra benar-benar berteriak, matanya berkaca-kaca.

Bapaknya terkejut melihat perlawanan putrinya. Selama ini Zahra selalu penurut, tidak pernah membantah keputusannya.

"Zahra! Kamu sudah berjanji menerima lamaran ini!"

"Zahra menerima lamarannya, tapi tidak untuk menikah sekarang juga! Zahra ingin menyelesaikan sekolah dulu. Ini cita-cita Zahra, Pak. Zahra ingin jadi ustazah yang pintar, yang bisa mengajar dengan baik. Kalau Zahra tidak selesai sekolah, bagaimana bisa tercapai?"

Air mata Zahra mengalir deras. Selama ini dia selalu menahan diri, selalu berusaha menjadi anak yang baik. Tapi kali ini, dia tidak bisa diam saja.

"Bapak tidak mau tahu, Zahra! Keputusan sudah bulat. Kalau kamu masih keras kepala, lebih baik kamu tidak usah kembali ke pesantren!"

Ancaman itu bagaikan petir di siang bolong. Zahra terduduk lemas. Pesantren adalah hidupnya, tempat dia belajar, berkembang, dan... tempat dia bisa melihat Ustaz Hakim setiap hari.

Malam itu, Zahra mengurung diri di kamar sambil terus menangis. Ibunya datang dengan wajah sedih.

"Zahra, Ibu paham perasaanmu. Tapi cobalah mengerti posisi Bapakmu juga. Dia hanya ingin yang terbaik untukmu."

"Tapi kenapa harus sekarang, Bu? Kenapa tidak bisa menunggu sampai Zahra lulus?"

Ibunya duduk di samping tempat tidur, mengelus rambut putrinya. "Jodoh itu tidak bisa ditunda-tunda, Nak. Kyai Hasan itu calon yang baik. Kalau kita menunda, bisa saja dia berubah pikiran atau ada yang lain yang melamarnya."

"Zahra tidak peduli, Bu. Yang Zahra peduli adalah cita-cita Zahra. Zahra ingin seperti Nyai Khadijah, bisa mengajar santri putri dengan ilmu yang mendalam. Bagaimana bisa kalau Zahra tidak menyelesaikan sekolah?"

Ibunya terdiam. Dia paham ambisi putrinya, bahkan kagum dengan semangatnya. Tapi sebagai istri, dia juga paham keputusan suaminya.

Keesokan harinya, Zahra memberanikan diri menemui Bapaknya.

"Pak, Zahra minta maaf sudah berteriak kemarin. Tapi Zahra mohon, berilah Zahra waktu untuk menyelesaikan sekolah. Dua tahun lagi saja. Setelah itu, Zahra akan menikah dengan ikhlas."

Bapaknya menatap putrinya dengan tatapan tajam. "Zahra, kamu pikir jodoh itu bisa menunggu sekehendak hati? Kyai Hasan sudah memberikan kepercayaan dengan melamarmu. Kalau kita minta menunda, sama saja kita meremehkan keluarganya."

"Tapi Pak..."

"Tidak ada tapi-tapian! Keputusan sudah final. Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Bapak akan memberitahu keluarga Kyai Hasan bahwa lamaran ditolak. Tapi ingat, setelah ini jangan harap ada laki-laki baik yang mau menikahi perempuan yang sudah menolak jodoh!"

Ancaman itu membuat Zahra gemetar. Dalam budaya Jawa, menolak jodoh yang sudah disetujui adalah aib besar. Tapi di sisi lain, menikah sekarang juga berarti mengorbankan impiannya.

Siang itu, dengan hati yang hancur, Zahra pergi ke makam kakeknya. Di sana, dia duduk sambil berdoa, meminta petunjuk dari Allah. Angin sore bertiup pelan, membawa aroma bunga melati dari pohon di sudut pemakaman.

"Eyang, Zahra bingung. Zahra ingin menjadi ustazah yang baik, tapi Bapak ingin Zahra menikah sekarang. Apa yang harus Zahra lakukan?"

Tidak ada jawaban, hanya suara burung kutilang yang berkicau di atas pohon beringin tua. Tapi entah mengapa, hati Zahra mulai tenang. Dia ingat pesan Kyai Abdullah, pengasuh pesantrennya: "Ketika kalian bingung memilih antara dua kebaikan, pilihlah yang lebih besar manfaatnya untuk umat."

Zahra bangkit dengan tekad yang bulat. Dia tahu apa yang harus dilakukan.

Malam itu, dia menemui orang tuanya dengan wajah yang sudah tenang.

"Bapak, Ibu, Zahra sudah berpikir matang-matang. Zahra meminta maaf, tapi Zahra tidak bisa menikah sekarang. Zahra ingin menyelesaikan pendidikan dulu. Kalau Kyai Hasan tidak bisa menunggu, ya sudah, Zahra ikhlas lamarannya ditolak."

Bapaknya terperangah. "Zahra! Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan?"

"Zahra sadar, Pak. Dan Zahra juga siap dengan segala risikonya. Tapi Zahra yakin, kalau Zahra menyelesaikan cita-cita dengan niat yang baik, Allah akan memberikan jodoh yang terbaik di waktu yang tepat."

Keheningan menyelimuti ruang tamu. Ibu Zahra menangis dalam diam, sementara Bapaknya berdiri dengan wajah memerah.

"Baik! Kalau itu keputusanmu, Bapak akan sampaikan ke keluarga Kyai Hasan. Tapi ingat, Zahra, setelah ini kamu tanggung sendiri hidupmu!"

Dengan langkah berat, Bapaknya meninggalkan ruangan. Zahra menangis dalam pelukan ibunya, tapi kali ini, air matanya bercampur dengan rasa lega.

Seminggu kemudian, Zahra kembali ke pesantren dengan hati yang lega tapi juga sedih. Dia kehilangan jodoh yang baik, tapi mendapatkan kembali masa depannya. Aisyah menyambutnya dengan pelukan hangat.

"Alhamdulillah, kowe wis bali. Aku kangen banget," kata Aisyah.

"Mbak Ais, aku sudah putuskan. Aku akan fokus belajar sampai lulus. Setelah itu, terserah Allah mau memberi jodoh seperti apa."

"Zahra, aku bangga sama keputusanmu. Kowe wis dewasa."

Senja itu, ketika Zahra duduk di beranda seperti dulu, dia melihat Ustaz Hakim sedang berjalan menuju masjid. Tapi kali ini, hatinya tidak lagi berdebar. Dia tersenyum tipis, lalu bangkit untuk bergabung dengan teman-temannya yang sedang mengaji.

Perasaan pada Ustaz Hakim perlahan-lahan pudar, tergantikan oleh semangat belajar yang membara. Zahra sadar, cinta yang sesungguhnya adalah cinta pada ilmu dan cinta pada Allah.

Dua tahun kemudian, ketika Zahra lulus sebagai lulusan terbaik ma'had aly, sebuah lamaran datang dari kyai muda lain yang ternyata menghargai pendidikannya. Kali ini, Zahra menerimanya dengan hati yang tenang dan siap.

Di hari pernikahannya, sambil menatap pantulan dirinya di cermin dengan kebaya pengantin yang indah, Zahra tersenyum. "Alhamdulillah, Allah memang maha tahu yang terbaik untuk hamba-Nya."

Dan ketika suaminya berkata bahwa dia bangga menikahi seorang ustazah yang pintar, Zahra tahu bahwa pilihannya dulu untuk menunda pernikahan adalah keputusan yang tepat. Cinta sejati bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang menghargai impian dan cita-cita pasangan.

Senja itu, di pondok pesantren yang baru di mana Zahra mengajar, dia duduk di beranda sambil menyiapkan materi untuk santri putrinya. Angin sore bertiup lembut, membawa doa-doa yang tulus untuk para santri yang sedang berjuang menggapai mimpi mereka, seperti yang pernah dia lakukan dulu.


Comments

Anonymous said…
Cerpen yang sangat menyentuh. Dan sepertinya, yang dialami zahra juga dialami banyak santri putri di tahun² terakhir ngajinya ...
Aisyah said…
Aku pun mengalaminya, zahra.
Keputusn ini memang berat ....

Popular posts from this blog

Bisikan di Kamar Mandi

Sang Jenderal telah Menikah

Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren