Rahasia di Balik Lemari Kayu
Rahasia di Balik Lemari Kayu
Subuh masih menyisakan keheningan di koridor Pondok Pesantren Nurul Hidayah ketika Bu Nyai Siti Khadijah melangkah pelan menuju kamar santri putri blok C. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar 7, tempat lima santri putri menimba ilmu. Aroma tak sedap menyeruak dari celah pintu, membuatnya mengernyitkan dahi.
"Astaga, bau apa ini?" gumamnya sambil mengetuk pintu dengan keras.
Dari dalam terdengar kegaduhan. Suara-suara terburu-buru, seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu. Kamilah yang membuka pintu, wajahnya pucat pasi.
"Assalamu'alaikum, Bu Nyai," sapanya dengan suara bergetar.
"Wa'alaikumussalam. Bau apa ini, Nak?" Bu Nyai melangkah masuk, hidungnya semakin mencium aroma asam yang menyengat.
Kamar itu tampak rapi, terlalu rapi untuk ukuran kamar lima santri putri remaja. Sprei dikencangkan dengan sempurna, buku-buku tertata dengan presisi militer, dan tidak ada sedikitpun sampah yang berserakan. Namun bau itu... bau itu seperti datang dari dalam dinding itu sendiri.
"Tidak ada apa-apa, Bu Nyai. Mungkin dari selokan belakang," jawab Siti Aminah, santri senior yang biasanya tenang, kini tampak gelisah.
Bu Nyai berjalan mengelilingi kamar, hidungnya seperti anjing pelacak yang sedang mencari jejak. Bau itu semakin kuat ketika ia mendekati lemari kayu tua di sudut kamar. Lemari warisan almarhum pendiri pesantren itu selalu menjadi kebanggaan kamar 7.
"Siapa yang menggunakan lemari ini?" tanya Bu Nyai.
"Kami... kami semua, Bu Nyai," jawab Fatimah dengan suara hampir tidak terdengar.
Tapi mata Bu Nyai yang tajam menangkap sesuatu. Di antara lima gadis itu, ada satu yang tidak berani menatapnya sama sekali. Zainab, santri baru dari Jember yang selalu pendiam dan misterius.
"Zainab," panggil Bu Nyai dengan nada yang membuat gadis itu bergidik. "Kemarilah."
Zainab melangkah dengan kaki bergetar. Wajahnya yang biasanya pucat kini semakin putih seperti kain kafan.
"Buka lemari itu," perintah Bu Nyai.
"Bu Nyai, saya... saya..."
"Buka!"
Dengan tangan gemetar, Zainab membuka pintu lemari kayu itu. Seketika, aroma busuk menyeruak keluar dengan dahsyat, membuat semua orang di dalam kamar itu terbatuk-batuk dan menutup hidung.
Bu Nyai terkesiap. Di dalam lemari itu, tersembunyi di balik tumpukan baju, terdapat puluhan wadah plastik berisi makanan yang sudah berjamur. Nasi yang sudah kehijauan, sayur yang sudah berlendir hitam, dan lauk-pauk yang sudah tidak bisa dikenali lagi bentuk aslinya. Semuanya menggerogoti ruang lemari seperti koloni alien yang mengerikan.
"Ya Allah..." Bu Nyai mundur selangkah. "Zainab, apa yang kau lakukan?"
Zainab terduduk di lantai, menangis tersedu-sedu. "Maafkan saya, Bu Nyai. Saya... saya tidak bermaksud..."
"Tidak bermaksud apa? Meracuni teman-temanmu? Membuat kamar ini seperti tempat sampah?"
Empat santri lainnya berdiri di belakang Bu Nyai, wajah mereka campuran antara jijik, marah, dan kasihan. Mereka sudah lama curiga dengan tingkah laku Zainab yang aneh. Gadis itu selalu makan terburu-buru di kantin, lalu membawa makanan kembali ke kamar dengan alasan untuk dimakan nanti. Tapi 'nanti' itu tidak pernah datang.
"Ceritakan semuanya," perintah Bu Nyai sambil duduk di kursi, berusaha menahan napas dari bau yang masih menguar kuat.
Zainab mengusap air mata dengan punggung tangannya. "Saya... saya takut kehabisan makanan, Bu Nyai."
"Takut kehabisan? Kita makan tiga kali sehari, Nak. Tidak pernah ada yang kehabisan makanan di pesantren ini."
"Tapi... tapi di rumah..." suara Zainab semakin lirih. "Di rumah, kami sering tidak makan berhari-hari. Bapak saya sering mabuk dan menghabiskan uang untuk berjudi. Ibu saya sakit-sakitan. Kadang kami hanya makan sekali dalam tiga hari."
Hening menyelimuti kamar itu. Bahkan bau busuk seolah ikut terdiam mendengar pengakuan yang memilukan itu.
"Jadi ketika saya sampai di sini dan melihat ada makanan setiap hari, saya... saya takut suatu saat makanan itu akan habis. Saya takut harus kembali merasakan lapar yang menyiksa itu," lanjut Zainab. "Saya menyimpan makanan untuk berjaga-jaga. Tapi saya tidak tahu kalau makanan bisa basi dan berjamur seperti ini."
Bu Nyai merasakan dadanya sesak. Di balik mata tuanya yang bijaksana, air mata mulai berkumpul. Gadis di hadapannya ini bukan santri nakal atau tidak sopan. Dia adalah anak yang terluka, yang trauma akan kelaparan.
"Kenapa tidak bercerita kepada kami, Nak?" tanya Bu Nyai dengan suara lembut.
"Saya malu, Bu Nyai. Saya tidak mau dianggap miskin atau dikasihani."
Siti Aminah maju selangkah. "Zainab, kita semua di sini sama. Tidak ada yang kaya atau miskin. Kita semua adalah saudara."
"Benar," sahut Kamilah. "Kalau kamu lapar, bilang saja. Kami bisa berbagi makanan."
Fatimah dan Nurul mengangguk setuju. Wajah mereka tidak lagi menunjukkan jijik atau marah, tapi kasih sayang dan pengertian.
Bu Nyai bangkit dari kursinya. "Zainab, dengarkan Ibu baik-baik. Di pesantren ini, tidak ada yang akan kelaparan. Janji Ibu padamu. Kalau kamu takut, datang saja ke dapur. Bi Yatmi akan memberikan makanan kapan saja kamu minta."
"Tapi Bu Nyai, saya sudah merusak lemari ini. Saya sudah membuat teman-teman saya tidak nyaman. Saya..."
"Kamu belajar," potong Bu Nyai. "Kamu belajar bahwa menyimpan makanan dengan cara yang salah justru akan merusaknya. Kamu belajar bahwa kepercayaan kepada Allah harus lebih kuat daripada ketakutanmu. Dan yang terpenting, kamu belajar bahwa bercerita kepada orang yang tepat bisa menyelesaikan masalah."
Bu Nyai memeluk Zainab dengan hangat. "Sekarang, kalian bersih-bersihkan lemari ini bersama-sama. Dan Zainab, mulai besok kamu makan di dapur bersama Ibu. Kita akan belajar bersama tentang cara menyimpan makanan yang benar, dan yang lebih penting, tentang cara mempercayai rezeki Allah."
Sore itu, kamar 7 dipenuhi suara tawa dan canda. Lima santri putri itu bergotong-royong membersihkan lemari yang sudah seperti baru kembali. Zainab tidak lagi menyendiri. Dia duduk di tengah-tengah teman-temannya, berbagi cerita tentang kampung halamannya di Jember, tentang sawah-sawah yang hijau dan sungai yang jernih.
Bu Nyai berdiri di ambang pintu, tersenyum melihat pemandangan itu. Dia tahu bahwa misteri bau busuk di kamar 7 sudah terpecahkan. Tapi yang lebih penting, hati seorang anak yang terluka sudah mulai tersembuhkan.
"Allahu a'lam," bisiknya pelan. "Allah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya."
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak tiba di pesantren, Zainab tidur dengan tenang. Tidak ada lagi ketakutan akan kelaparan. Tidak ada lagi kebutuhan untuk menyembunyikan makanan. Yang ada hanya rasa syukur dan kehangatan persaudaraan yang akan selalu melindunginya.
Dan lemari kayu tua itu, setelah dibersihkan dan didoakan, kembali menjadi saksi bisu persaudaraan lima santri putri yang saling mengasihi, saling memahami, dan saling menguatkan dalam menimba ilmu di jalan Allah.
Wallahu a'lam bishawab.
Comments