Bisikan Malam di Plafon Kamar

 


Bisikan Malam di Plafon Kamar

Azka Nurfi Abdillah Pratama

 

Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro selalu tenang di malam hari. Selepas jamaah Isya dan madrasah diniyah, para santri beristirahat di kamar masing-masing. Bulan purnama mengintip malu-malu di balik gumpalan awan, menerangi kompleks pesantren yang kini hening. Namun, di asrama putra yang terletak di selatan mushola, seorang santri bernama Azka masih terjaga.

Azka duduk di ranjangnya sambil memandangi plafon kamar. Sudah tiga malam berturut-turut ia mendengar suara ganjil dari atas sana—seperti bisikan samar yang memanggilnya. Farel, teman sekamarnya yang dikenal paling cerdas di pesantren, sudah tertidur pulas di ranjang sebelah. Alif yang gila belajar pun telah terlelap dengan buku kitab masih terbuka di sampingnya.

"Besok pagi aku harus mengeceknya," gumam Azka pada dirinya sendiri. Ia memang dikenal suka menghayal, tapi kali ini Azka yakin ia tidak sedang berkhayal. Suara itu nyata.

Keesokan harinya, setelah jamaah Subuh dan setoran membaca Al-Fatihah kepada Bunyai Fifi, Azka menunggu hingga semua santri pergi ke madrasah. Ia berpura-pura sakit agar bisa tinggal di asrama. Setelah memastikan semuanya pergi, ia mengambil kursi dan meletakkannya tepat di bawah plafon kamar yang separuhnya sudah rusak.

"Bismillah," ucapnya pelan sembari menaiki kursi dan mengintip ke celah plafon.

Matanya membelalak ketika menemukan sebuah buku usang bersampul kulit berwarna hitam dengan ukiran aneh. Tanpa pikir panjang, Azka meraih buku tersebut dan turun dari kursi.

"Kitab Asrar Al-Zhulam," Azka membaca judul yang tertulis di sampul dengan aksara Arab yang meliuk-liuk. Ia membuka halaman pertama dan menemukan tulisan tangan yang sudah memudar.

"Barangsiapa membaca kitab ini hingga akhir, ia akan menguasai kekuatan yang tidak dimiliki manusia biasa."

Rasa penasaran Azka semakin menjadi-jadi. Ia tahu seharusnya ia melaporkan temuannya kepada Kyai Ihsanuddin atau minimal kepada Pak Akom, kepala asrama yang galak itu. Namun, hasrat untuk menjadi istimewa, untuk memiliki kekuatan yang tidak dimiliki santri lain, membuatnya menyimpan buku tersebut di dalam tas.


Tiga minggu berlalu. Azka mulai berubah. Ia yang biasanya selalu hadir dalam setiap kegiatan pesantren, kini sering menghilang. Naufal yang selalu netral pun mulai memperhatikan perubahan temannya.

"Kamu kenapa sih, Za? Kok belakangan sering menghilang?" tanya Naufal suatu sore setelah jamaah Ashar.

"Cuma butuh waktu sendiri," jawab Azka singkat.

Sebenarnya, selama tiga minggu ini, Azka diam-diam mempelajari kitab yang ia temukan. Ia menemukan tempat persembunyian di belakang gudang pesantren, jauh dari kamar mandi laki-laki. Di sana, ia membaca halaman demi halaman kitab tersebut, mempraktikkan mantra-mantra dan ritual aneh yang tertulis di dalamnya.

Lambat laun, Azka mulai merasakan perubahan pada dirinya. Ia bisa memindahkan benda-benda kecil tanpa menyentuhnya, membaca pikiran santri lain meski samar-samar, dan yang paling menakjubkan, ia bisa melihat makhluk-makhluk halus yang berkeliaran di sekitar pesantren.

Suatu malam, ketika semua santri telah terlelap, Azka terbangun karena mendengar suara yang sama—suara yang dulu memanggilnya dari plafon. Namun kali ini, suara itu tidak berasal dari plafon, melainkan dari dalam kepalanya sendiri.

"Sekarang kau memiliki kekuatan," bisik suara itu. "Kau bisa mengendalikan mereka semua."

Azka tersenyum. Ia merasa menjadi santri terkuat di Pesantren Maulana Malik Ibrahim. Namun, tanpa disadarinya, setiap kali ia menggunakan kekuatan tersebut, sebagian dari dirinya mulai terkikis, digantikan oleh kegelapan yang merasuki jiwanya.


Pagi itu, saat pengajian kitab kuning bersama Kyai Ihsanuddin selepas Dhuhur, Aldo melontarkan komentar pedas pada Azka.

"Kayaknya ada yang merasa spesial belakangan ini," sindir Aldo dengan nada tajam yang khas. "Memangnya kamu bisa apa selain menghayal?"

Tanpa disadari, kemarahan Azka memuncak. Matanya berkilat gelap, dan tiba-tiba, kitab yang dipegang Aldo terlepas dari tangannya, melayang dan jatuh dengan keras ke lantai.

"Astaghfirullah," ucap Kyai Ihsan, menatap tajam ke arah Azka. "Ada yang ingin kamu jelaskan, Azka?"

Semua santri terdiam. Mereka tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, tapi mereka tahu itu bukan hal normal.

Azka menunduk, berusaha mengelak. "Tidak ada apa-apa, Kyai. Mungkin kitabnya licin."

Namun, Kyai Ihsan yang memiliki ketajaman spiritual bisa merasakan aura gelap yang menyelimuti Azka. Setelah pengajian selesai, beliau memanggil Azka ke rumahnya yang terletak di depan kompleks pesantren.

"Saya merasakan ada yang berubah darimu, Nak," ucap Kyai Ihsan dengan lembut namun tegas. "Ada sesuatu yang gelap yang menyelimutimu."

Azka tetap mengelak, namun Kyai Ihsan tidak mudah dibohongi. Beliau memerintahkan Kang Wahab, khodamnya yang pendiam, untuk mengawasi Azka.


Kekuatan Azka semakin bertambah. Ia kini bisa mengendalikan cuaca di sekitar pesantren. Hujan turun ketika ia marah, dan langit menjadi cerah ketika ia bahagia. Para santri mulai ketakutan, terutama setelah beberapa dari mereka melihat Azka berbicara pada sosok yang tidak terlihat.

Suatu malam, Farel yang selalu tertidur pulas terbangun karena mendengar Azka berbicara sendiri di sudut kamar. Ia membuka mata sedikit dan melihat Azka dikelilingi oleh aura hitam, berbicara dalam bahasa yang tidak ia mengerti.

Keesokan paginya, Farel melaporkan kejadian tersebut pada Kyai Ihsan.

"Saya khawatir ada sesuatu yang tidak beres dengan Azka, Kyai," ucap Farel, untuk pertama kalinya terlihat cemas.

Kyai Ihsan mengangguk. "Saya juga merasakannya. Sepertinya sudah waktunya memanggil Pak Misqol."

Pak Misqol dari Balen, teman Kyai Ihsan yang ahli dalam hal supranatural, tiba di pesantren pada sore hari. Bersama Gus Iib, adik Kyai Ihsan yang juga ahli dalam hal ghaib, mereka bertiga berunding di rumah Kyai.

"Ini berbahaya," kata Pak Misqol setelah mendengar cerita tentang Azka. "Jika benar ia mempraktikkan ilmu hitam, maka tidak hanya dirinya yang dalam bahaya, tapi seluruh penghuni pesantren."

"Menurut ajaran Islam, sihir adalah ilmu yang haram untuk dipraktikkan," tambah Gus Iib. "Sebagaimana yang diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 102, bahwa sihir hanya akan membawa mudharat dan tidak membawa kemanfaatan."

"Kita harus menyelamatkan Azka sebelum terlambat," ujar Kyai Ihsan. "Bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya."


Sementara itu, di belakang gudang pesantren, Azka sedang mempraktikkan ritual terakhir dari kitab tersebut—ritual yang akan memberikannya kekuatan penuh atas dunia gaib. Namun, tepat ketika ia hendak menyelesaikan ritual tersebut, Syauqi, teman sekamarnya yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola, tak sengaja menemukannya.

"Azka! Apa yang kamu lakukan?" tanya Syauqi kaget melihat lingkaran aneh dengan simbol-simbol yang digambar Azka di tanah.

"Pergi!" teriak Azka, matanya berkilat tidak wajar. "Jangan ganggu aku!"

Syauqi berlari ketakutan, langsung menuju rumah Kyai Ihsan untuk melaporkan apa yang ia lihat.

Mendengar laporan tersebut, Kyai Ihsan, Pak Misqol, dan Gus Iib segera menuju ke belakang gudang. Namun, mereka terlambat. Ritual telah selesai, dan Azka kini berdiri di tengah lingkaran, tubuhnya diselimuti aura hitam pekat.

"Azka, kembalilah, Nak," ucap Kyai Ihsan dengan suara lembut namun tegas. "Apa yang kamu lakukan adalah haram dalam agama kita."

"Saya sudah terlalu jauh, Kyai," jawab Azka, suaranya berubah lebih berat. "Saya adalah santri terkuat sekarang. Tidak ada yang bisa mengalahkan saya."

"Ketaatan kepada Allah adalah kekuatan terbesar, bukan ilmu hitam," kata Pak Misqol. "Ilmu yang kamu pelajari itu hanya akan membawamu pada kehancuran."

Azka tertawa, suaranya menggema di seluruh pesantren. Tiba-tiba, angin kencang bertiup, menerbangkan daun-daun dan membuat pohon-pohon bergoyang keras. Para santri yang sedang berada di luar asrama berlarian mencari perlindungan.

"Lihat kekuatan saya!" teriak Azka, mengangkat tangannya ke langit. Awan hitam mulai berkumpul di atas pesantren.

Kyai Ihsan, Pak Misqol, dan Gus Iib mulai membaca ayat-ayat Al-Quran. Suara mereka bersatu, menciptakan perisai tak terlihat yang mengelilingi pesantren.

"Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Quran, 'Sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah'," ucap Kyai Ihsan. "Kembalilah pada fitrahmu sebagai seorang muslim, Azka."

Mendengar ayat-ayat suci dibacakan, aura hitam di sekitar Azka mulai bergetar. Ia merasa kesakitan, namun masih berusaha melawan.

"Kitab itu bukan milikmu, Azka," kata Pak Misqol. "Itu adalah kitab yang ditanam oleh orang yang dengki pada pesantren ini. Kitab itu dimaksudkan untuk menghancurkan pesantren dari dalam."

Azka mulai goyah. Ia memang merasa ada yang aneh selama ini. Setiap kali ia menggunakan kekuatan dari kitab tersebut, ia merasa sebagian dari dirinya terkikis, digantikan oleh sesuatu yang gelap dan dingin.

"Lepaskan kitab itu, Nak," pinta Kyai Ihsan. "Lepaskan sebelum terlambat."

Air mata mulai mengalir di pipi Azka. Ia sadar betapa jauh ia telah tersesat. Dengan tangan gemetar, ia mengambil kitab dari sakunya dan menyerahkannya pada Kyai Ihsan.

Seketika itu juga, aura hitam yang menyelimuti tubuhnya menghilang. Azka jatuh terduduk, tubuhnya lemas.

Pak Misqol mengambil kitab tersebut dengan hati-hati. "Kitab ini harus dihancurkan," katanya. "Ini adalah kitab yang berbahaya."

"Tapi sebelum itu," kata Gus Iib, "kita harus membersihkan jiwa Azka dari pengaruh ilmu hitam ini."


Malam itu, di mushola Pesantren Maulana Malik Ibrahim, diadakan ritual pembersihan untuk Azka. Kyai Ihsan, Pak Misqol, dan Gus Iib memimpin ritual tersebut, dibantu oleh doa dari seluruh santri. Air dari tujuh sumur berbeda dibacakan ayat-ayat suci, kemudian dimandikan ke Azka.

"Astaghfirullahal'adzim," Azka terus beristighfar, menyesali perbuatannya. Air matanya tidak berhenti mengalir.

Setelah ritual selesai, Kyai Ihsan memanggil seluruh santri untuk berkumpul di mushola.

"Anak-anakku," beliau memulai dengan suara bijak, "apa yang terjadi pada Azka adalah pelajaran bagi kita semua. Dalam Islam, kita diajarkan untuk mencari ilmu yang bermanfaat, yang mendekatkan kita pada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan ilmu yang justru menjauhkan kita dari-Nya."

Kyai Ihsan melanjutkan, "Ilmu hitam atau sihir adalah ilmu yang haram dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Quran, 'Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir)'."

"Sihir hanya akan membawa pada kegelapan," tambah Pak Misqol. "Kegelapan hati, kegelapan jiwa, dan akhirnya kegelapan iman."

Azka berdiri, masih lemas namun sudah bisa berdiri tegak. "Saya minta maaf," ucapnya dengan suara bergetar. "Saya telah tersesat. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi."

Para santri menatap Azka dengan campuran rasa khawatir dan simpati. Farel, yang biasanya tertidur di saat-saat seperti ini, justru yang pertama menghampiri Azka dan merangkulnya.

"Kita semua bisa tersesat," kata Farel. "Yang penting adalah kembali ke jalan yang benar."

Aldo, yang biasanya pedas dalam berkata-kata, hanya mengangguk setuju. Bahkan Rado, yang sering mendapat mimpi aneh, mengakui bahwa ia pernah bermimpi tentang bahaya yang mengancam pesantren, namun tidak menyangka bahwa itu berkaitan dengan Azka.


Keesokan harinya, Kyai Ihsan, Pak Misqol, dan Gus Iib membawa kitab tersebut ke luar pesantren. Di sebuah tempat terpencil, mereka menghancurkan kitab itu dengan cara membakarnya sambil membaca ayat-ayat suci.

"Kitab seperti ini seharusnya tidak pernah ada," kata Pak Misqol. "Tapi sayangnya, selalu ada orang yang menciptakannya untuk tujuan yang tidak baik."

"Yang terpenting adalah kita telah menyelamatkan Azka," kata Kyai Ihsan. "Dan semoga peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh santri."

Gus Iib mengangguk. "Dan juga pengingat bagi kita semua bahwa tidak semua ilmu itu baik untuk dipelajari."


Azka kembali ke rutinitasnya sebagai santri Pesantren Maulana Malik Ibrahim. Namun, pengalamannya dengan ilmu hitam meninggalkan bekas yang tidak bisa dihapus—bekas yang akan selalu mengingatkannya tentang betapa berbahayanya mencari kekuatan dengan cara yang salah.

Sementara itu, di ruang kerjanya, Kyai Ihsan menulis surat kepada sesama pemimpin pesantren di seluruh Indonesia, memperingatkan tentang kitab berbahaya yang mungkin masih beredar. Beliau juga meminta Pak Sokhib, temannya yang ahli komputer, untuk membuat sistem keamanan digital yang bisa mendeteksi aktivitas mencurigakan di internet terkait ilmu hitam.

"Ilmu adalah cahaya," tulis Kyai Ihsan di akhir suratnya. "Dan kita sebagai umat Islam harus selalu mencari cahaya yang membimbing kita pada kebenaran, bukan kegelapan yang menyesatkan."

Di asrama putra, Azka kini lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Ia masih suka menghayal, tapi kini khayalannya lebih tertuju pada bagaimana menjadi muslim yang baik dan santri yang bermanfaat bagi sesama.

"Kadang kita harus tersesat dulu untuk tahu jalan mana yang benar," kata Azka pada Naufal suatu malam.

Naufal mengangguk. "Yang penting, kamu sudah kembali."

Dan di atas langit pesantren, bulan purnama kembali bersinar terang, menerangi kompleks Pesantren Maulana Malik Ibrahim yang kini damai. Bisikan-bisikan malam telah lenyap, digantikan oleh lantunan ayat-ayat suci yang mengalun merdu dari mushola yang terletak di tengah pesantren.

Tamat.

Comments

Popular posts from this blog

Bisikan di Kamar Mandi

Sang Jenderal telah Menikah

Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren