Ku Tulis Cerita Karena Sebuah Nadhar
Oleh : Binti Mufida
Semua berawal dari sebuah ajang kompetisi yang diadakan di ponpes. Kita
menyebutnya MQK. Saat pertama kali diadakan aku masih duduk di bangku
Ibtidaiyah (6 Ibtida’). Pesertanya sih mulai kelas 1 ts – keatas. Malahan dari
sebagian pesertanya saat ini sudah boyong.
Tapi ada juga yang masih muqim, termasuk salah satu juaranya sekarang
menjadi ustadz di madin kita, dan dari kalangan putri yang menjadi juara adalah
adalah orang nomor satu seponpes putri, siapa lagi kalau bukan bu Roisah. Saat
itu jurinya masih pak Sholeh kalau gak salah pak Shohib juga. Terus siapa lagi
ya? Yang pasti jurinya saat itu masih muda-muda, maksudnya bukan pak-pak sepuh.
Acarapun semakin
ramai saat diputarkan video MQK salah satu mbak-mbak yang menjadi juara kalau
nggak salah tingkat provinsi. Tapi sebelumaku mondok aku sudah mengenalnya. Aku
yang hanya bisa melihat dari kejauhan menjadi tergugah untuk merngikuti
jejaknya ... hahaha (konyol)
Acara baru
berlangsung setengah mainan. Aku berjalan menuju kamarku (gotaan) yang saat itu
masih bertempat di aula bawah dan sekarang menjadi bangunan baru. Kutarik
sebuah bantal yang tersusun rapi di pojokan kamar. Sambil tidur-tiduran kubuka
kitab mabadi fiqih yang sudah ada makna pegonnya. Hehehe. Gaya-gaya sih buat
dibaca.
Semenjak itu datanglah
sebuah motivasi baru dalam hidupku. Aku mulai senang dengan mempelajari Kitab-kitab
khususnya pelajaran madin. Padahal kalau dipikir yang namanya baca buku aku
paling malas. Maklum bukan kutu buku.
Pertama kali aku
mengerti i’rob itu, ada salah satu ustadz memberi pengertian tentang i’rob. Kenapa
dibaca rofa sebab menjadi mubtada. Kenapa disebut mubtada sebab diawali huruf
mim. Begitu pula dengan pengertian lainnya. Aku hanya mengangguk-ngangguk. Dalam
benakku berkata “Oh ngunu to”. Maklum dulu mts aku disuruh mondok nggak mau
dengan alasan dekat dengan rumah. Meskipun begitu aku tetap ikut mengaji
walaupun hanya ala kadarnya (gak tenanan). Ada pelajaran nahwu shorof. Tiap
kali disuruh nasrif pasti aku Cuma bisa plonga-pongo melihat teman-temanku yang
hafal di luar kepala. Menyesal sih sebenarnya karena nggak mau mondok dari mts.
Apa lagi ada
salah satu temanku yang tiap kali ditanya orang tua pasti jawabnya pakai bahasa
krama inggil. Aduh aku merasa malu karena aku sendiri Cuma bisa njeh, dalem,
sampun dan mboten.
Aku mulai merasakan perubahan saat
mondok (barokahe simbah Charish) yang awalnya ndak bisa jadi bisa termasuk
bahasa krama. Guru yang mengajariku adalah Bu Muslichatus Sa’adah. Kebanyakan
santri memanggilnya Bu Mus. Hehe nama yang unik. Teringat dengan Bu Mus yang
ada di film Laskar Pelangi. Karena sering menghafalkan kosa kata bahasa krama,
aku dan teman-teman sekelaskupun jadi bisa berbahasa krama. Yang pasti ada
perubahanlah.
Usut demi usut motivasi itu
selain tumbuh dari diri sendiri juga bisa hadir dari orang lain. Nah bagi yang
masih belum begitu minat dengan belajar kitab (baca kitab), cobalah cari
motivasi. Bisa saja motivasi itu datang dari tokoh idola. Bisa para asatidz,
teman kalian atau bahkan keluarga kalian. So jangan pernah berhenti atau putus
asa karena semua berawal dari mimpi. Yang terpenting adalah i’tikad yang kuat.
Urusan bejo atau tidak itu urusan Allah, karena semua hanya miliknya.
Comments