Oleh: Assa’dily Adi
“Sore hari, Ahad, 1 Sya'ban 1437
H (8 mei 2016)”
Beserta sahabat seperjuangan kala masih di ponpes dulu, terjadi
perbincangan saat acara reuni-an yang diadakan tiap selapanan (hari yang
menunjuk pada kalender jawa, red) belum dimulai, cuaca agak mendung meski tak
sampai terjadi hujan, akibatnya banyak sahabat alumni yang tidak hadir. Kami
ngobrol ngalor-ngidul sebelumnya,
apapun. Mulai dari hal yang remeh-temeh
seperti kesibukan kami masing-masing di rumah hingga yang menghangatkan
suasana.
Tidak terasa obrolan tak jelas tadi menjadi begitu serius ketika kami
mengalihkan topik bahasan tentang bagaimana sahabat alumni tadi ngomong tentang
anak didiknya (kebetulan dia juga Guru di desanya) yang juga tetangganya, yang
tak kerasan dulu saat awal mondok, padahal sudah mengeluarkan banyak biaya
untuk pendaftaran, baik di sekolah formal atau di ponpes, tapi bukan itu yang
menjadi masalah utama, saat aku tanya tentang kenapa alasan tak kerasan tadi,
setelah dirinci dengan banyak ulasan, ternyata anak tadi kurang nyaman di
pondok (perasaan hampir semua anak baru mondok gitu, aku misalnya). Mulai dari
kebiasaan di ponpes yang memang dia belum beradaptasi hingga terjadinya
"perpeloncoan" (senior adalah raja, junior adalah budak , Never!), hal
yang jamak terjadi di hampir semua tempat atau instansi, yang memang menjadi
rahasia umum.
Selain itu, begitu sulitnya mengajak, merayu, hingga mengambil hati anak
maupun orang tuanya untuk diajak mondok dia alami juga, tanpa pamrih (pejuang
!!!). Wajar memang karena hal ini memang menjadi beban moral anak pesantren
untuk berdakwah. Merasa bertanggung jawab atas dekadensi moral di
lingkungannya. Satu hal yang tak begitu banyak orang awam hiraukan .
Tak banyak harapan darinya, mungkin sahabat alumni lain juga merasakan
hal yang tak jauh beda. Kalau saya tentu. Agar mbok ya_o santri baru itu ada
perhatian lebih dari teman-teman pengurus Ponpes, dua hingga tiga bulan-lah
minimal, dibuat nyaman senyaman-nyamannya. Dipisah antara santri lama dan
santri baru mungkin, agar tidak satu kamar (Mungkin loo). Yaa biar sesama
santri baru lebih cepat beradaptasi. Tidak terjadi plonco-ploncoan tadi.
Sebetulnya banyak alasan yang melatar belakangi santri baru itu tak
kerasan, akan sangat lama kalau dibahas. masing-masing akan mempunyai pandangan
sendiri-sendiri yang akan mengeluarkan banyak keringat kalau didiskusikan. Tapi
aku yakin, semisal wali satri mempunyai komitmen akan pentingnya mondok, apapun
alasannya, InsyaAllah anaknya akan tetap dipondokkan meskipun air mata darah
keluar dari anaknya memohon agar tak dipondokkan (pengalaman pribadi, maaf
curhat).
Dan semoga ini menjadi renungan kita semua, terjadi sinergi agar pondok
kita tak mementingkan kuantitas, akan tetapi juga kualitas. Menjadi santri yang
tak hanya jago memecahkan masalah khilafah yang banyak terjadi di masyarakat
modern ini. Tetapi juga sopan, santun, dan ramah tamah seperti halnya
Rasulullah contohkan.
Salam NUsantara.
PP. ADNAN AL CHARISH NGUMPAKDALEM DANDER BOJONEGORO
Comments