Perjalanan Menuju Cahaya
Perjalanan Menuju Cahaya
Moh. Kholil Mughofar
Di balik selasar pondok pesantren
Al Musthofa yang berdiri kokoh di lereng pegunungan Soko Tuban, Gus Farid duduk
termenung. Sinar matahari senja menerobos di antara celah-celah pepohonan
pinus, menciptakan pola-pola keemasan pada lantai kayu pesantren. Pemuda
berusia 23 tahun itu baru saja dipanggil oleh Kyai Zainuddin, pengasuh pondok
yang sangat dihormati.
"Farid, ada tugas penting
untukmu," ujar Kyai Zainuddin dengan suara yang tenang namun penuh wibawa.
"Kau harus menemui seseorang di perbatasan Soko dan Montong."
Farid menunduk hormat,
"Siapa yang harus saya temui, Kyai?"
"Beliau adalah seorang wali
yang menyamar dan menyendiri. Namanya Mbah Rohmat. Tidak banyak yang tahu
tentangnya. Ia tinggal di gubuk kecil di kaki Gunung Nganten."
Farid merasa jantungnya berdegup
kencang. Mbah Rohmat adalah nama yang sering dibicarakan dalam bisik-bisik oleh
para santri senior. Konon, beliau adalah seorang wali yang memilih hidup
menyendiri, jauh dari keramaian dunia.
"Apa yang harus saya
sampaikan kepadanya, Kyai?"
Kyai Zainuddin menyerahkan sebuah
bungkusan kecil yang dibungkus dengan kain putih. "Berikan ini kepadanya.
Dan belajarlah dari beliau. Kau akan mengerti ketika bertemu dengannya."
Keesokan paginya, Farid berangkat
dengan bekal seadanya. Ia mengenakan sarung, baju koko, dan peci hitam. Ransel
kecil berisi pakaian ganti, Al-Qur'an kecil, dan beberapa bungkus roti serta
air mineral disampirkan di punggungnya.
Perjalanan dari pesantren Al
Musthofa menuju Gunung Nganten memakan waktu seharian. Melewati perkampungan
kecil, ladang-ladang terasering, dan hutan pinus yang rimbun. Semakin mendekati
perbatasan Soko dan Montong, medan semakin sulit. Jalanan setapak yang semula
jelas perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh semak belukar dan bebatuan.
Di tengah perjalanan, Farid
bertemu dengan seorang penggembala tua yang sedang mengawasi kambingnya.
"Permisi, Pak. Saya mencari
Mbah Rohmat yang tinggal di Gunung Nganten. Apakah Bapak tahu di mana
tepatnya?"
Penggembala itu memandang Farid
dengan tatapan curiga. "Untuk apa mencari orang seperti itu?"
"Saya diutus oleh Kyai
Zainuddin dari pesantren Al Musthofa."
Mendengar nama Kyai Zainuddin,
raut wajah penggembala itu berubah. "Ah, murid Kyai Zainuddin. Ikuti jalan
setapak di balik pohon beringin besar itu. Terus naik sampai kau menemukan batu
besar berbentuk seperti gelang. Dari sana, belok ke kiri. Mbah Rohmat tinggal
di sebuah gubuk kecil di dekat mata air."
Farid mengucapkan terima kasih
dan melanjutkan perjalanan. Matahari mulai condong ke barat ketika ia menemukan
batu besar yang dimaksud. Bentuknya memang seperti gelang raksasa. Ia membelok
ke kiri dan melangkah perlahan.
Suasana hutan semakin sunyi.
Hanya suara gemericik air dan kicauan burung yang terdengar. Farid merasa
gugup. Berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya. Bagaimana rupa Mbah Rohmat?
Apa yang akan ia pelajari dari beliau?
Tanpa disadari, ia telah sampai
di sebuah gubuk kecil yang berdiri di dekat mata air. Gubuk itu sangat
sederhana, terbuat dari bambu dan beratap daun kelapa. Di depannya, seorang
pria tua berjanggut putih sedang duduk bersila, memandang matahari terbenam.
"Assalamu'alaikum,"
sapa Farid dengan suara yang sedikit bergetar.
"Wa'alaikumsalam,"
jawab pria tua itu tanpa menoleh. "Kau murid Kyai Zainuddin?"
Farid terkejut. Bagaimana orang
tua ini tahu tujuannya?
"Iya, Mbah. Saya diutus
untuk memberikan ini," Farid menyerahkan bungkusan yang diberikan Kyai
Zainuddin.
Mbah Rohmat menerima bungkusan
itu dan membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah tasbih tua dan secarik kertas.
Mbah Rohmat membaca kertas itu sejenak, kemudian tersenyum.
"Duduklah, nak. Pasti kau
lelah setelah perjalanan panjang."
Farid duduk di sebelah Mbah
Rohmat. Pria tua itu terlihat sangat sederhana. Mengenakan baju putih lusuh dan
sarung coklat yang sudah memudar. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari sorot
matanya. Begitu dalam dan teduh.
"Kyai Zainuddin mengirimmu
untuk belajar tentang kezuhudan," ujar Mbah Rohmat.
"Kezuhudan?"
"Ya, hidup sederhana dan
tidak terikat pada dunia. Kau lihat pohon jati di sana?" Mbah Rohmat
menunjuk ke arah sebuah pohon jati besar di dekat mata air. "Ia tumbuh
kokoh karena akarnya kuat dan menembus jauh ke dalam tanah. Seperti itulah iman
seorang muslim. Semakin dalam akarnya, semakin kokoh ia berdiri."
Malam itu, Farid menginap di
gubuk Mbah Rohmat. Mereka berbincang tentang banyak hal. Mbah Rohmat bercerita
tentang perjalanan hidupnya, tentang bagaimana ia memilih untuk hidup
menyendiri setelah bertahun-tahun mengabdi di berbagai pesantren di Jawa.
"Kadang, untuk menemukan
Allah, kita perlu menjauh dari keramaian," ujar Mbah Rohmat. "Bukan
berarti mengasingkan diri selamanya, tapi untuk menemukan kedamaian dan
ketenangan jiwa."
Keesokan paginya, Mbah Rohmat
mengajak Farid ke mata air di dekat gubuknya. Air itu begitu jernih hingga
dasar kolam kecil yang terbentuk terlihat dengan jelas.
"Lihat ke dalam air ini,
nak. Apa yang kau lihat?"
Farid memandang ke dalam air.
"Saya melihat bayangan saya sendiri, Mbah."
"Bayangan yang jelas hanya
bisa terlihat di air yang tenang. Begitu pula dengan hati. Ketika hati kita
tenang, kita bisa melihat kebenaran dengan jelas."
Selama tiga hari, Farid tinggal
bersama Mbah Rohmat. Ia belajar tentang kesederhanaan, tentang bagaimana
menjaga hati tetap bersih dan tenang, dan tentang bagaimana mendekatkan diri
kepada Allah di tengah-tengah kesibukan dunia.
Pada hari keempat, Mbah Rohmat
memberikan sebuah tasbih kepada Farid. "Ini untukmu. Gunakan untuk
berzikir kepada Allah. Dan ingatlah, nak, ketenangan hati tidak didapat dari
dunia, tapi dari kedekatan dengan Allah."
Farid menerima tasbih itu dengan
penuh rasa syukur. "Terima kasih, Mbah. Saya akan mengingat
nasihat-nasihat Mbah."
"Sampaikan salamku untuk
Kyai Zainuddin. Katakan padanya, muridnya telah menjadi pohon jati yang
kokoh."
Dengan berat hati, Farid
berpamitan kepada Mbah Rohmat. Perjalanannya kembali ke pesantren Al Musthofa
terasa lebih ringan. Hatinya dipenuhi dengan ketenangan dan pemahaman baru
tentang kehidupan.
Ketika tiba di pesantren, Kyai
Zainuddin menyambutnya dengan senyuman hangat. "Bagaimana perjalananmu,
Farid?"
"Sangat berharga, Kyai. Mbah
Rohmat mengajarkan saya tentang kezuhudan dan bagaimana menjaga ketenangan
hati. Beliau juga menitipkan salam untuk Kyai dan pesan bahwa murid Kyai telah
menjadi pohon jati yang kokoh."
Kyai Zainuddin tersenyum.
"Mbah Rohmat adalah sahabat lamaku. Kami belajar bersama di pesantren
dulu. Ia memilih jalan yang berbeda, tapi tujuan kami sama: mendekatkan diri
kepada Allah."
"Kyai, bolehkah saya tahu
apa yang ada dalam bungkusan yang saya bawa untuk Mbah Rohmat?"
"Hanya sebuah tasbih tua dan
pesan. Aku meminta Mbah Rohmat untuk mengajarimu tentang ketenangan hati dan
kesederhanaan. Aku melihat potensi besar dalam dirimu, Farid. Kelak, kau akan
menjadi pemimpin yang bijaksana."
Sejak hari itu, Farid menjadi
santri yang berbeda. Ia lebih tenang, lebih bijaksana, dan lebih tekun dalam
beribadah. Tasbih pemberian Mbah Rohmat selalu dibawanya ke mana-mana, sebagai
pengingat akan pelajaran berharga yang ia terima.
Dan ketika Kyai Zainuddin
bertanya apa yang paling ia ingat dari pertemuannya dengan Mbah Rohmat, Farid
menjawab, "Bayangan yang jelas hanya bisa terlihat di air yang tenang.
Begitu pula dengan hati. Ketika hati kita tenang, kita bisa melihat kebenaran
dengan jelas."
Kyai Zainuddin mengangguk puas.
Farid telah menemukan cahaya di dalam dirinya, cahaya yang akan membimbingnya
dalam perjalanan hidup selanjutnya.
Comments