PETUALANGAN GUS KECIL DI DUNIA DIGIMON
PETUALANGAN GUS KECIL DI DUNIA
DIGIMON
Moh. Kholil Mughofar
"Gus, kita ini ada di mana
sih?" Rojak, khadam setia yang selalu mengenakan peci hitam dan sarung
kotak-kotak bertanya dengan wajah bingung. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal sambil memandang sekeliling yang sama sekali tidak familiar, sembari membetulkan posisi
kacamata bulat yang selalu melorot di hidungnya.
Gus Kecil, seorang santri muda
berbadan kurus yang selalu membawa tas cangklong kesayangannya kemana-mana, hanya
bisa terdiam. Jujur saja, dia juga bingung. Sepuluh menit yang lalu mereka
masih berada di perpustakaan pesantren, membaca kitab kuning sambil menunggu
waktu mengaji. Dan sekarang? Entahlah. Yang jelas tempat ini bukan pesantren.
"Mungkin kita ketiduran
terus mimpi bareng kali, Jak," jawab Gus Kecil asal, meskipun dalam hati
dia yakin ini bukan mimpi. Cubitan yang dia layangkan ke pipinya sendiri
terlalu sakit untuk ukuran mimpi.
Pemandangan di sekitar mereka
seperti campuran antara hutan tropis dan taman bermain futuristik. Pohon-pohon
tinggi menjulang, tapi daunnya berwarna ungu terang. Rumput di bawah kaki
mereka berwarna biru muda. Dan yang paling aneh, ada benda-benda elektronik
yang menempel di beberapa batang pohon.
"Gus, itu apaan ya?"
tanya Rojak sambil menunjuk ke arah semak-semak yang bergerak-gerak.
Dari balik semak-semak muncul
makhluk kecil berbentuk seperti bola bulu berwarna pink dengan mata besar dan
telinga panjang.
"Hai! Aku Koromon! Kalian
siapa?" makhluk itu bertanya dengan suara ceria.
Rojak langsung melompat ke
belakang Gus Kecil. "Astagfirullah! Makhluk apa itu bisa ngomong?!"
Jujur saja, dari semua hal aneh
yang pernah terjadi dalam hidupku—dan percayalah, hidupku penuh dengan kejadian
aneh—ini mungkin yang paling tidak masuk akal. Namaku Muhammad Shadiq, tapi
semua orang memanggilku Gus Kecil karena aku keturunan kyai dan, well, tubuhku
yang tidak bisa dibilang tinggi ini.
Sekarang aku dan Rojak, khadamku
yang setia tapi sering bikin frustasi, sedang berhadapan dengan makhluk yang
mengaku bernama Koromon. Dan dia terus bicara tentang sesuatu bernama
"Digimon" dan "Digital World".
"Jadi maksudmu, kita
sekarang ada di dalam komputer gitu?" tanyaku sambil membetulkan kacamata
yang melorot.
"Bukan di dalam komputer,
tapi di Dunia Digital! Tempat semua Digimon tinggal!" jawab Koromon dengan
antusias.
Rojak berbisik di telingaku,
"Gus, menurut saya kita kena santet. Mungkin ini gara-gara Gus kemarin
nolak lamaran nikah dari putrinya Kyai Somad?"
Aku memutar bola mata. Rojak dan
teori konspirasinya.
"Jak, kalau kita kena
santet, ngapain dikirim ke dunia digital yang bahkan dukun di kampung kita
nggak tahu? Mereka paling banter cuma bisa kirim jin ke kamar mandi, bukan
teleportasi ke dimensi lain."
"Bener juga sih, Gus."
Hari pertama di Dunia Digital
berlalu dengan penuh kebingungan. Koromon menjelaskan bahwa dia adalah
"partner Digimon" yang ditakdirkan untuk bertemu dengan kami. Entah
bagaimana, sebuah alat aneh bernama Digivice muncul di saku sarungku. Katanya,
ini bukti bahwa aku adalah "DigiDestined", manusia terpilih yang
harus menyelamatkan Dunia Digital.
"Lah terus saya apa dong,
Gus?" tanya Rojak tersinggung.
"Kamu asisten
DigiDestined," jawabku ngasal.
"Kok rasanya tetep jadi
khadam ya?" gumam Rojak kecewa.
Malam itu, kami tidur di dalam
gua yang ditunjukkan Koromon. Aku tidak bisa tidur, terus memikirkan bagaimana
cara kembali ke pesantren. Besok ada ujian tahfidz, dan Abah pasti akan marah
besar kalau aku tidak hadir.
"Gus, tidur dong. Besok kita
harus jalan jauh kata si bola pink itu," Rojak menguap lebar.
"Jak, kamu nggak kepikiran
gimana caranya pulang?"
"Ya kepikiran lah, Gus. Tapi
kan kita nggak tahu caranya. Jadi ya... istikharah dulu aja. Kali aja besok
dikasih petunjuk."
Logika Rojak kadang-kadang
membuatku ingin tertawa dan menangis sekaligus.
Pagi berikutnya, petualangan
sesungguhnya dimulai. Koromon—yang sekarang berubah menjadi Agumon, makhluk
seperti dinosaurus kecil berwarna oranye—membawa kami menemui Digimon lainnya.
Ada Gabumon, Biyomon, Tentomon, dan masih banyak lagi. Semuanya berbicara dan
memiliki kekuatan unik.
"SubhanAllah, makhluk Allah
memang banyak macamnya ya, Gus," komentar Rojak sambil memandang takjub
sekumpulan Digimon yang melintas.
"Jak, ini dunia digital,
bukan makhluk ciptaan Allah," koreksiku.
"Loh, bukannya semua yang
ada itu ciptaan Allah? Meskipun ini dunia digital, tetap saja Allah yang
menciptakan, kan?"
Aku terdiam. Kadang-kadang Rojak
bisa sangat filosofis tanpa dia sadari.
Perjalanan kami terganggu ketika
tiba-tiba langit menjadi gelap. Sebuah sosok besar, Devimon namanya, muncul dan
menyerang desa Digimon.
"Manusia tidak boleh ada di
Dunia Digital! Kalian harus dimusnahkan!" teriak Devimon dengan suara yang
menggelegar.
Rojak langsung ngumpet di
belakangku. "Gus, baca ayat Kursi dong!"
Tanpa pikir panjang, aku membaca
ayat Kursi sekeras mungkin. Anehnya, Devimon tampak kesakitan mendengar
bacaanku.
"Terus, Gus! Sepertinya
mempan!" Rojak menyemangati.
Agumon yang berdiri di sampingku
tiba-tiba bersinar. "Agumon... digivolve to... Greymon!"
Agumon berubah menjadi dinosaurus
raksasa dan menyerang Devimon. Bersamaan dengan itu, aku terus membaca ayat
Kursi. Kombinasi serangan Greymon dan bacaan ayat Kursi berhasil mengalahkan
Devimon.
"Masyaallah, Gus! Kita
mengalahkannya!" Rojak melompat kegirangan.
Selama beberapa hari berikutnya,
kami belajar banyak tentang Dunia Digital. Ternyata, kedatangan kami di sini
bukan kebetulan. Ada kejahatan besar yang mengancam keseimbangan antara Dunia
Digital dan dunia nyata. Dan entah kenapa, aku dan Rojak terpilih untuk
membantu menghentikannya.
"Tapi kami cuma santri
biasa," protesku pada Gennai, sesepuh Digimon yang mirip manusia.
"Justru itu," jawab
Gennai bijak. "Kesederhanaan dan ketulusan hatimu adalah kekuatan
terbesar."
Rojak mengangguk-angguk sok
paham. "Bener itu, Gus. Seperti kata Kyai di pesantren, 'kesederhanaan
adalah perhiasan terindah seorang santri'."
"Sejak kapan ada kyai yang
bilang begitu, Jak?"
"Ya nggak ada sih, Gus. Saya
ngarang biar keren aja," jawab Rojak dengan muka tanpa dosa.
Tantangan terbesar kami datang
ketika harus menghadapi Myotismon, Digimon jahat yang ingin menguasai kedua
dunia. Dia sangat kuat, bahkan gabungan kekuatan semua Digimon partner kami
tidak cukup untuk mengalahkannya.
"Kita butuh strategi,"
kataku sambil berpikir keras.
"Bagaimana kalau kita pakai
strategi perang Badar, Gus?" usul Rojak tiba-tiba.
"Maksudmu?"
"Ya kita kelihatannya
sedikit, tapi sebenarnya kuat. Kita bagi jadi tiga kelompok. Satu di depan, dua
di samping untuk kepung musuh."
Aku tercengang. Tidak menyangka
Rojak yang biasanya pelupa dan ceroboh bisa mengusulkan strategi perang.
Dan ajaibnya, strategi itu
berhasil! Kami berhasil mengalahkan Myotismon.
Setelah berhasil mengembalikan
kedamaian di Dunia Digital, akhirnya kami diberi tahu cara untuk pulang ke
dunia nyata. Sederhana saja, kami harus fokus pada tempat yang ingin kami tuju
dan menggunakan Digivice.
Sebelum pergi, aku dan Rojak
berpamitan dengan Agumon dan Digimon lainnya.
"Terima kasih atas
petualangan luarbiasanya," ujarku pada Agumon.
"Kami akan merindukan
kalian," jawab Agumon sedih.
Rojak bahkan menitikkan air mata.
"Kalian Digimon baik banget. Nanti kalau saya punya anak, saya kasih nama
Agumon deh."
"Jangan aneh-aneh,
Jak," tegurku sambil menahan tawa.
Kami pun kembali ke dunia nyata,
tepatnya ke perpustakaan pesantren. Anehnya, waktu di dunia nyata seperti tidak
bergerak selama kami pergi. Baru beberapa detik berlalu sejak kami menghilang.
"Gus, itu tadi beneran
terjadi kan? Bukan mimpi?" tanya Rojak bingung.
Aku merogoh saku sarungku dan
menemukan Digivice masih ada di sana.
"Bukan mimpi, Jak. Tapi
mungkin lebih baik kita simpan cerita ini untuk diri sendiri. Siapa yang akan
percaya kalau kita bilang habis bertarung dengan monster digital?"
"Bener juga sih, Gus.
Bisa-bisa dikira kita kesurupan."
Sejak hari itu, aku dan Rojak
kembali pada rutinitas di pesantren. Tapi kadang-kadang, kami diam-diam
membicarakan petualangan kami di Dunia Digital. Dan setiap malam, aku selalu
berdoa semoga teman-teman Digimon kami baik-baik saja di dunia mereka.
Oh ya, dan Rojak benar-benar
memberi nama anaknya Agumon beberapa tahun kemudian. Untungnya, istrinya
mengira itu nama Arab yang artinya "pembawa kebaikan".
TAMAT
Comments