Sehari Menjadi Kau
Sehari Menjadi Kau
Moh. Kholil Mughofar
Fajar belum benar-benar merekah
ketika suara adzan Subuh dari menara masjid Pesantren Daarussalam mengalun
merdu. Malik membuka mata perlahan. Ada yang aneh. Biasanya, ia selalu
terbangun lebih awal dari adzan, sudah menjadi kebiasaannya selama tiga tahun
mondok di pesantren ini. Tapi pagi ini berbeda.
"Bangun, Mazaya. Kita sudah
hampir terlambat shalat Subuh," sebuah suara lembut menegurnya, diikuti
guncangan pelan di bahunya.
Malik mengerjapkan mata. Mazaya?
Siapa Mazaya?
Ia menatap sekeliling. Ini bukan
kamarnya. Bukan deretan ranjang tingkat dengan seprai biru lusuh dan
sarung-sarung yang tergantung sembarangan. Ini kamar dengan dinding berwarna
pastel lembut, lemari-lemari rapi dengan stiker nama di pintunya, dan... empat
gadis berjilbab yang sedang bergegas mengambil mukena.
Jantung Malik berdegup kencang.
Ada yang sangat, sangat tidak beres.
"Kau mau menunggu Ustadzah
Fauziah datang dan menarikmu dari tempat tidur lagi?" gadis yang
membangunkannya tadi berkacak pinggang. "Ayo cepat, Mazaya!"
Malik membuka mulut untuk
menjelaskan bahwa telah terjadi kesalahan. Bahwa ia adalah Malik dari asrama
putra Blok C nomor 7, bukan Mazaya. Tapi ketika ia mengangkat tangan untuk
mengucek mata—
Rambut panjang hitam terjuntai di
bahunya.
Dengan panik, Malik menyibakkan
selimut dan melihat tubuhnya sendiri. Tubuh ramping seorang gadis, lengkap
dengan piyama bermotif bunga-bunga kecil. Bukan tubuh kurus tingginya dengan
kaos oblong dan celana training lusuh.
"Ya Allah," bisiknya,
dan bahkan suaranya telah berubah. Lembut, tinggi, suara seorang gadis remaja.
"Mazaya, kau sakit?"
tanya gadis yang tadi membangunkannya, nada suaranya berubah khawatir.
"A-aku... aku baik-baik
saja," Malik tergagap, cepat-cepat turun dari tempat tidur.
Ini pasti mimpi. Pasti mimpi.
Sebentar lagi aku akan bangun di kamarku sendiri, dan Zulfan akan melempar
sarungnya ke wajahku seperti biasa.
Tapi gigitan di lidahnya terasa
nyata. Sentuhan lantai dingin di bawah telapak kakinya terasa nyata. Cermin di
ujung kamar memantulkan sosok gadis berambut hitam panjang dengan mata cokelat
yang familiar—matanya sendiri, tapi di wajah yang sama sekali berbeda.
"Kau aneh sekali pagi
ini," kata Salma—gadis yang tadi membangunkannya, yang sekarang Malik
ketahui adalah teman dekat Mazaya—saat mereka berjalan menuju kamar mandi.
Malik, masih dalam kebingungan
luar biasa, hanya tersenyum kaku. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia
sebenarnya adalah santri putra yang entah bagaimana terperangkap dalam tubuh
seorang santri putri?
"Aku... mungkin... mimpi
buruk," jawabnya akhirnya.
"Mimpi tentang ujian hafalan
dengan Ustadzah Fauziah lagi?" Salma tertawa kecil. "Kau selalu stres
menghadapinya, padahal hafalanmu paling bagus di antara kita semua."
Malik mengangguk saja, berusaha
menyerap informasi ini. Jadi Mazaya adalah santri putri yang hafal Quran. Dan
sepertinya pandai, berdasarkan komentar Salma.
Menghadapi kamar mandi putri
adalah pengalaman paling canggung dalam hidupnya. Malik bergegas masuk bilik,
berhati-hati untuk tidak melihat tubuh yang bukan miliknya terlalu detail, dan
berwudhu dengan cepat. Ia tidak tahu bagaimana cara memakai mukena, tapi
melihat gadis-gadis lain, ia berhasil menirunya dengan kaku.
Di dalam masjid, terdapat ruangan
khusus untuk jamaah perempuan. Malik diam-diam mencari sosok dirinya sendiri di
bagian jamaah laki-laki, tapi dari posisinya, ia tidak bisa melihat dengan
jelas. Apakah tubuh aslinya masih ada di sana? Apakah Mazaya yang asli
terperangkap dalam tubuhnya? Atau ia telah benar-benar berubah menjadi Mazaya?
"Bismillah," bisiknya
pada diri sendiri. "Aku akan menemukan jalan kembali."
Sepanjang hari, Malik berusaha
menjalani kehidupan sebagai Mazaya tanpa menimbulkan kecurigaan. Ini tidak
mudah. Ia tidak tahu jadwal pelajaran Mazaya, tidak mengenal teman-temannya,
dan yang paling menantang: ia tidak tahu di mana letak barang-barang Mazaya.
"Mazaya, kitab Bulughul
Marammu di mana?" tanya seorang gadis bertubuh kecil dengan kacamata
bundar.
"Ah... itu..." Malik
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Di rak ketiga, seperti
biasa," jawab Salma, menatap Malik dengan heran. "Kau benar-benar
aneh hari ini. Apa perlu ke klinik pesantren?"
"Tidak, tidak. Aku baik-baik
saja," Malik buru-buru menjawab.
Ia menemukan bahwa Mazaya adalah
santri teladan. Bukunya rapi, semua tugasnya selalu selesai, dan hafalan
Qurannya luar biasa. Ketika Ustadzah Fauziah—guru tahfidz yang
ditakuti—memintanya membacakan Surah Al-Kahfi ayat 60-70, Malik panik. Ia hafal
ayat-ayat itu, tapi dengan tajwid ala santri putra. Bagaimana jika cara Mazaya
membaca berbeda?
Namun, saat ia mulai membaca,
suara merdu yang keluar dari bibirnya seolah memiliki hafalan sendiri. Lidahnya
bergerak dengan fasih, mengalunkan ayat-ayat dengan tajwid sempurna. Seakan
tubuh Mazaya memiliki memori otot tersendiri untuk membaca Al-Quran.
"Masya Allah, tetap
mengesankan seperti biasa, Mazaya," puji Ustadzah Fauziah. "Meski
sepertinya kau sedikit tidak fokus hari ini."
Malik tersenyum lemah.
"Terima kasih, Ustadzah."
Saat jam istirahat, Malik
memberanikan diri mencari informasi. Ia berjalan ke area perpustakaan, tempat
yang biasanya memungkinkan santri putra dan putri berada dalam satu ruangan
meski terpisah oleh partisi.
"Mau ke mana, Mazaya?"
tanya Salma, mengikutinya.
"Perpustakaan. Ingin...
mencari buku," jawab Malik singkat.
Di perpustakaan, ia mengintip ke
bagian santri putra. Jantungnya berdegup kencang saat melihat sosok yang
familiar—dirinya sendiri!—sedang duduk membaca dengan tenang di sudut ruangan.
Sosok itu tampak berbeda. Postur tubuhnya lebih tegak, cara membacanya lebih
anggun, dan... apakah itu senyum lembut di wajahnya?
Jadi Mazaya ada di tubuhku!
"Siapa yang kau lihat?"
tanya Salma, mengikuti arah pandangan Malik.
"Ti-tidak. Bukan
siapa-siapa," Malik buru-buru berpaling.
"Hmm, Malik, ya?" Salma
tersenyum menggoda. "Anak tahfidz putra yang sering juara itu? Memang
tampan sih, tapi bukankah kau bilang tidak tertarik dengan santri mana pun
sampai lulus nanti?"
Wajah Malik memanas. "Aku
tidak... maksudku..."
"Tenang saja, rahasiamu
aman," Salma tertawa kecil. "Tapi aneh melihatmu begini. Biasanya kau
yang paling tegas soal 'fokus pada ilmu dulu, urusan hati belakangan'."
Jadi begitu, pikir Malik. Mazaya
adalah santri serius yang tidak tertarik pada lawan jenis.
"Aku masih berpegang teguh
pada prinsip itu," jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan.
Menjelang Ashar, Malik menemukan
kesempatan untuk berbicara dengan tubuhnya sendiri—atau lebih tepatnya, Mazaya
yang terperangkap dalam tubuhnya. Ia menyelinap ke dekat tangga yang
menghubungkan area putra dan putri, tempat yang cukup tersembunyi namun masih
dalam area yang diperbolehkan.
"Psst! Hei!" panggil
Malik pelan ketika melihat tubuhnya sendiri berjalan melewati area itu.
Sosok itu berhenti, menoleh, dan
mata mereka bertemu. Ada keterkejutan, lalu pemahaman di mata itu.
"Kau..." bisik sosok
itu—suara Malik sendiri tapi dengan intonasi yang berbeda.
"Aku Malik," bisik
Malik cepat. "Dan kau pasti Mazaya."
Sosok itu mengangguk.
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
"Aku tidak tahu. Apa kau
melakukan sesuatu kemarin malam? Berdoa? Membaca wirid tertentu?"
Mazaya (dalam tubuh Malik)
menggeleng. "Tidak. Hanya saja... aku sempat berpikir, bagaimana rasanya
menjadi laki-laki. Bebas pergi ke mana saja tanpa harus selalu bersama muhrim,
tidak perlu khawatir soal pakaian yang menerawang, bisa leluasa bermain sepak
bola..."
Malik tersenyum kecut. "Dan
aku sempat berpikir, bagaimana rasanya menjadi perempuan. Selalu tertib,
dihormati, tidak perlu berebut kamar mandi, makanan asrama putri yang katanya
lebih enak..."
Mereka terdiam beberapa saat.
"Bagaimana caranya
kembali?" tanya Mazaya akhirnya.
"Aku tidak tahu," jawab
Malik jujur. "Tapi pasti ada jalan. Mungkin besok pagi kita akan kembali
normal?"
"Semoga saja. Aku tidak
biasa dengan... tubuh ini," Mazaya berbisik, wajahnya sedikit memerah.
"Begitu juga aku,"
balas Malik. "Mari berdoa semoga ini hanya berlangsung sehari."
Malam itu, setelah shalat Isya
dan belajar malam, Malik berbaring di tempat tidur Mazaya, menatap
langit-langit. Hari ini adalah pengalaman paling aneh dalam hidupnya. Ia telah
belajar banyak hal—bagaimana rasanya menjadi perempuan, bagaimana beratnya beban
yang mereka pikul dengan keharusan selalu menjaga diri, bagaimana mereka harus
bekerja dua kali lebih keras untuk mendapat pengakuan yang sama.
Ia juga belajar bahwa santri
putri tidak lebih mudah dari santri putra. Jadwal mereka sama padatnya,
tuntutan akademis sama tingginya, dan mereka masih harus mengurus kebutuhan
pribadi yang lebih kompleks.
"Ya Allah," bisiknya
dalam doa. "Jika ini adalah ujian-Mu, maka berilah aku kekuatan untuk
melaluinya. Jika ini adalah pelajaran-Mu, maka berilah aku kebijaksanaan untuk
memahaminya."
Dengan bisikan doa itu, Malik
terlelap.
"MALIK! BANGUN! SUDAH ADZAN
SUBUH!"
Sebuah sarung melayang tepat ke
wajah Malik. Ia tersentak bangun, terduduk di ranjangnya. Di hadapannya berdiri
Zulfan, teman sekamarnya, dengan wajah kesal seperti biasa.
"Kau ini kenapa? Biasanya
paling rajin bangun pagi, tapi hari ini malah mendengkur seperti kerbau,"
gerutu Zulfan.
Malik mengerjapkan mata. Ia
menatap tangannya—tangan laki-laki dengan jari-jari panjang yang familiar. Ia
meraba wajahnya—rahang tegas, kulit kasar karena belum bercukur, dan rambut
pendek berantakan.
"Aku... kembali?"
bisiknya.
"Apa kau bilang? Ayo cepat!
Ustadz Hamid sudah di masjid," Zulfan menarik selimut Malik.
Malik bergegas turun dari tempat
tidur, perasaan lega membanjiri dadanya. Itu semua mimpi! Mimpi yang sangat
nyata, tapi tetap saja mimpi.
Tapi mimpi yang sangat
bermakna, pikirnya sambil berjalan ke kamar mandi.
Saat masuk ke masjid, matanya
secara tidak sengaja menangkap sosok di bagian jamaah putri yang terpisah
partisi kaca buram. Seorang gadis dengan jilbab biru muda yang tampak familiar.
Untuk sepersekian detik, gadis itu juga melihat ke arahnya, dan mereka seperti
saling mengenali.
Malik menggelengkan kepala. Tidak
mungkin itu Mazaya. Dia bahkan tidak nyata.
Namun sepanjang hari itu, Malik
merasa berbeda. Ia lebih menghargai teman-temannya, lebih memahami kesulitan
yang mungkin dihadapi santri putri, dan lebih bersyukur atas keadaannya
sekarang.
Saat berpapasan dengan rombongan
santri putri di area perpustakaan sore itu, Malik melihatnya lagi—gadis
berjilbab biru muda yang sepertinya tersenyum kecil ke arahnya sebelum kembali
menunduk sopan.
"Siapa yang kau lihat?"
tanya Zulfan, menyenggol bahunya.
"Tidak, bukan
siapa-siapa," jawab Malik, tersenyum kecil. "Hanya seseorang dari
mimpi yang sangat nyata."
Atau mungkin, bukan sekadar
mimpi.
Malam itu, sebelum terlelap,
Malik berbisik, "Terima kasih atas pelajarannya, Ya Allah. Dan jika Mazaya
benar-benar ada di dunia nyata, semoga dia juga mendapat hikmah yang sama dari
mimpi yang Kau berikan."
Di asrama putri, tanpa Malik
ketahui, seorang gadis bernama Mazaya juga berbisik hal yang sama sebelum
terlelap.
Comments