Takdir di Kaki Gunung Soko

 



Takdir di Kaki Gunung Soko

Moh. Kholil Mughofar


Langit sore berwarna jingga ketika Ahmad Fauzan keluar dari ruangan Kyai Syafi'i, pengasuh Pesantren Al Musthofa yang terletak di lereng Pegunungan Soko, Tuban. Fauzan, santri berusia 23 tahun yang hampir 7 tahun mondok di pesantren tersebut, melangkah dengan dahi berkerut. Kyai Syafi'i baru saja memberikan tugas yang menurutnya cukup aneh.

"Zan, besok pagi kamu berangkat ke Desa Sedayu Lawas. Temui Haji Mahmud, wali santrinya Lailatul Badriyah. Ada beberapa hal penting yang perlu saya sampaikan padanya," kata Kyai Syafi'i tadi dengan nada tenang namun tegas.

Fauzan mengangguk hormat meski dalam hati bertanya-tanya. Mengapa harus dia? Bukankah ada santri-santri senior lain yang bisa diutus? Atau salah satu putra Kyai? Biasanya urusan dengan wali santri diselesaikan oleh pengurus resmi pesantren.

"Maaf, Kyai. Apa yang harus saya sampaikan pada beliau?" tanya Fauzan sebelum pamit.

"Bawa surat ini," Kyai Syafi'i memberikan amplop putih tersegel. "Dan katakan bahwa saya setuju dengan usulan beliau tempo hari."

Fauzan kembali ke biliknya di asrama putra, masih terheran-heran. Ia bahkan tak tahu siapa itu Lailatul Badriyah. Pesantren Al Musthofa memang besar, dengan santri putra dan putri yang terpisah oleh jarak sekitar 200 meter. Interaksi antar santri putra dan putri sangat dibatasi, kecuali pada acara-acara resmi atau jika ada hubungan kekerabatan.

"Kenapa melamun, Zan?" tanya Gus Habib, teman sekamar Fauzan yang juga putra dari salah satu ustadz di pesantren.

"Ah, tidak. Hanya bingung. Besok Kyai menyuruhku menemui wali santri di Desa Sedayu Lawas."

"Sedayu Lawas? Itu kan cukup jauh. Naik apa?"

"Entahlah, mungkin angkot sampai terminal kota, lalu naik bus."

Gus Habib mengangguk-angguk. "Wali santri siapa?"

"Haji Mahmud, walinya Lailatul Badriyah."

Mendengar nama itu, Gus Habib tersenyum penuh arti. "Oh, Lailatul Badriyah..."

"Kamu kenal?"

"Kamu tidak tahu? Dia itu santri teladan putri tahun lalu. Pintar, hafal Al-Qur'an 20 juz, dan..." Gus Habib mendekat, berbisik, "...cantik."

Fauzan menggeleng. "Sudahlah, aku hanya menjalankan tugas dari Kyai."


Pagi berikutnya, setelah salat Subuh berjamaah, Fauzan berangkat dengan bekal seadanya. Perjalanan dari Pesantren Al Musthofa menuju Desa Sedayu Lawas memakan waktu hampir tiga jam. Pertama naik angkot hingga terminal kota Tuban, lalu bus menuju arah selatan, dan terakhir naik ojek motor menyusuri jalan berbatu.

Desa Sedayu Lawas terletak di lembah kecil, dikelilingi persawahan hijau dan perkebunan mangga. Fauzan berhenti di sebuah warung untuk bertanya.

"Permisi, Bu. Rumah Haji Mahmud di mana ya?"

Ibu pemilik warung menatap Fauzan dari ujung kepala hingga kaki, memperhatikan sarung, baju koko, dan peci yang dikenakannya. "Santri Al Musthofa ya, Mas?"

"Iya, Bu."

"Rumah Pak Haji di ujung jalan sana, yang ada gapura hijau. Semua orang di sini kenal beliau."

Fauzan mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Rumah Haji Mahmud tidak sulit ditemukan. Seperti yang dikatakan ibu pemilik warung, rumahnya cukup besar dengan gapura berwarna hijau. Halaman depannya luas dengan beberapa pohon mangga rindang.

Fauzan mengetuk pintu dengan hati berdebar. Entah mengapa, ia merasa gugup.

"Assalamu'alaikum," sapanya.

Pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan jenggot yang mulai memutih. Ia mengenakan peci putih dan baju koko sederhana.

"Wa'alaikumsalam. Ada yang bisa saya bantu, Nak?" suara pria itu berwibawa namun ramah.

"Maaf mengganggu. Saya Ahmad Fauzan dari Pesantren Al Musthofa. Saya diutus Kyai Syafi'i untuk menemui Bapak Haji Mahmud."

Wajah pria itu langsung berbinar. "Ah, dari Al Musthofa! Saya Mahmud. Mari masuk, Nak."

Fauzan dipersilakan duduk di ruang tamu yang sederhana namun tertata rapi. Di dinding terpasang beberapa kaligrafi ayat Al-Qur'an dan foto-foto keluarga. Seorang wanita paruh baya—yang Fauzan duga adalah istri Haji Mahmud—muncul membawa secangkir teh dan sepiring kue.

"Ini istriku, Ummi Kulsum," Haji Mahmud memperkenalkan.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapa Fauzan sopan.

"Wa'alaikumsalam. Santri Al Musthofa ya? Bagaimana kabar Kyai Syafi'i?"

"Baik, Bu. Beliau mengirimkan salam dan... ini," Fauzan mengeluarkan amplop dari sakunya, menyerahkannya kepada Haji Mahmud.

Haji Mahmud membaca surat itu dengan seksama, sesekali tersenyum dan mengangguk. Istrinya ikut membaca dari samping, ekspresinya juga tampak senang.

"Alhamdulillah," kata Haji Mahmud setelah selesai membaca. "Nak Fauzan, sudah berapa lama di Al Musthofa?"

"Hampir tujuh tahun, Pak Haji."

"Masya Allah, lama juga. Jurusan apa?"

"Tahfidz dan Fikih, Pak."

"Sudah hafal berapa juz?"

"Alhamdulillah 25 juz, Pak."

Haji Mahmud dan istrinya saling melempar pandangan, terlihat semakin puas.

"Orang tua masih ada?"

"Masih, Pak. Di Lamongan."

"Pekerjaan ayah?"

"Petani, Pak. Punya sawah sedikit di kampung."

Fauzan mulai merasa seperti sedang diwawancarai. Pertanyaan demi pertanyaan terus dilontarkan oleh Haji Mahmud dan istrinya. Dari latar belakang keluarga, pendidikan, hingga rencana masa depan. Fauzan menjawab seadanya, meski dalam hati bertanya-tanya mengapa ia ditanyai begitu detail.

"Maaf, Pak Haji. Kyai Syafi'i juga berpesan bahwa beliau setuju dengan usulan Bapak tempo hari," kata Fauzan, berusaha mengingatkan tujuan kedatangannya.

"Ah, ya. Itu kabar baik," Haji Mahmud tersenyum lebar. "Nak Fauzan, sebentar ya. Ummi, tolong panggil Laila."

Istri Haji Mahmud bergegas masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, ia kembali bersama seorang gadis muda mengenakan jilbab putih dan gamis biru muda. Wajahnya tertunduk malu, tak berani menatap ke arah Fauzan.

"Nah, Nak Fauzan. Ini putri kami, Lailatul Badriyah," kata Haji Mahmud.

Fauzan terkejut. Jadi ini Lailatul Badriyah yang dimaksud! Gadis itu hanya mengucapkan salam dengan suara pelan dan segera duduk di samping ibunya, masih dengan kepala tertunduk.

"Laila baru pulang liburan sebentar, minggu depan kembali ke pesantren," jelas Ummi Kulsum.

Suasana menjadi canggung. Fauzan bingung harus berkata apa. Ia merasa seperti ada sesuatu yang terlewatkan, seperti semua orang di ruangan ini tahu sesuatu yang ia tidak tahu.

"Nak Fauzan," Haji Mahmud akhirnya memecah keheningan. "Sebenarnya, kedatanganmu hari ini sudah kami tunggu-tunggu. Kyai Syafi'i sudah bercerita banyak tentangmu."

"Tentang... saya?" Fauzan semakin bingung.

"Ya. Beliau sangat memujimu sebagai santri yang tekun, berbakti, dan memiliki akhlak baik. Itulah mengapa..." Haji Mahmud melirik putrinya sekilas, "...saya dan Kyai Syafi'i bersepakat untuk menjodohkan kamu dengan Laila."

Dunia seakan berhenti berputar. Fauzan terpaku, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Menjodohkan? Dengan putri Haji Mahmud?

"Ma-maaf, Pak Haji. Maksudnya...?"

"Kyai Syafi'i tidak memberitahumu?" tanya Haji Mahmud, sedikit terkejut.

"Ti-tidak, Pak. Beliau hanya menyuruh saya mengantarkan surat dan menemui Bapak."

Haji Mahmud dan Ummi Kulsum saling pandang, kemudian tertawa kecil. "Ah, Kyai Syafi'i dan cara-caranya. Beliau memang suka memberi kejutan."

"Jadi begini, Nak," Ummi Kulsum mengambil alih. "Beberapa bulan lalu, kami berkunjung ke pesantren untuk menjenguk Laila. Saat itulah Kyai Syafi'i menyebut namamu sebagai salah satu santri terbaik. Beliau menceritakan bagaimana kamu mengajar santri-santri kecil dengan sabar, bagaimana kamu selalu disiplin dalam ibadah, dan bagaimana kamu menghormati guru-gurumu."

"Kami terkesan," sambung Haji Mahmud. "Dan saat itu juga, saya meminta Kyai untuk menjodohkanmu dengan Laila, jika kamu bersedia. Kyai setuju, tapi beliau ingin kamu menyelesaikan hafalan Al-Qur'anmu dulu."

Fauzan masih terdiam, mencoba mencerna semua informasi baru ini. Ia melirik ke arah Lailatul Badriyah, yang juga sesekali melirik ke arahnya dengan wajah memerah.

"Tapi... tapi saya bahkan belum pernah bertemu dengan Laila sebelumnya," kata Fauzan akhirnya.

"Itu tidak masalah. Di pesantren, banyak yang dijodohkan tanpa saling kenal lebih dulu. Yang penting adalah ridha Allah dan restu orangtua serta guru," kata Haji Mahmud bijak. "Lagipula, bukankah perjodohan adalah salah satu sunnah Rasulullah?"

Fauzan tidak bisa membantah hal itu. Ia tahu banyak kisah sahabat-sahabat Nabi yang dijodohkan dan hidup bahagia. Namun tetap saja, berita ini terlalu mendadak.

"Tentu saja, kami tidak memaksamu, Nak," tambah Ummi Kulsum lembut. "Kembalilah ke pesantren, bicarakan dengan Kyai. Istikharahlah. Jika memang ada kecocokan, insyaAllah kita lanjutkan. Jika tidak, tidak apa-apa."

Setelah jamuan makan siang dan berbincang lebih lama, Fauzan pamit pulang. Dalam perjalanan kembali ke pesantren, pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan campur aduk. Antara terkejut, bingung, namun juga ada sedikit rasa bahagia yang sulit dijelaskan.


Matahari mulai tenggelam ketika Fauzan tiba kembali di Pesantren Al Musthofa. Ia langsung menghadap Kyai Syafi'i untuk melaporkan hasil pertemuannya.

"Bagaimana, Zan? Sudah bertemu dengan Haji Mahmud?" tanya Kyai Syafi'i dengan senyum penuh arti.

"Sudah, Kyai. Dan... saya terkejut dengan apa yang saya dengar di sana."

Kyai Syafi'i tertawa kecil. "Maaf tidak memberitahumu lebih awal. Tapi aku ingin kamu melihat sendiri keluarga calon istrimu."

"Tapi Kyai, saya belum siap untuk menikah. Saya masih ingin menyelesaikan tahfidz saya dan mungkin melanjutkan kuliah."

"Siapa bilang harus menikah sekarang? Khitbah dulu, menikahnya nanti setelah kamu selesai 30 juz. Anggap saja sebagai motivasi tambahan," kata Kyai Syafi'i sambil menepuk bahu Fauzan.

"Kyai..." Fauzan masih ragu.

"Zan, aku mengenalmu sejak kamu pertama kali datang ke sini. Masih ingat? Kamu datang sendirian, tas kecil di punggung, dan berkata ingin menjadi penghafal Al-Qur'an. Tujuh tahun berlalu, kamu tumbuh menjadi santri yang membuatku bangga. Aku tidak akan menyarankan ini jika tidak yakin ini yang terbaik untukmu."

Fauzan terdiam sesaat, tersentuh oleh kata-kata Kyai Syafi'i.

“Baiklah kyai, saya ikut” jawabnya.

“Alhamdulillah” ucap Kyai Syafi’i.

Dan Fauzan terdiam menunduk sambil berdoa dalam hati semoga keputusannya adalah yang terbaik untuk semuanya. Amin.

Comments

Popular posts from this blog

Bisikan di Kamar Mandi

Sang Jenderal telah Menikah

Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren