JANJI YANG TERPATRI
Moh. Kholil Mughofar
Dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang
Langit Jombang tampak kelabu
menaungi Pesantren Darul Hikmah. Sarqowi menatap nanar butiran hujan yang
berjatuhan dari langit. Seperti bening air mata yang menyimpan derita tak
terucap. Sarqowi menarik nafas dalam, lalu membuka kitab Ihya' Ulumuddin yang
tergeletak di sampingnya.
Wama ta'jilul mushibah illa
ridho bil qadha'. Tidak ada cara mempercepat terlewatinya musibah kecuali
dengan ridha terhadap ketentuan Allah.
Kalimat Imam Al-Ghazali itu
begitu menghujam kalbunya. Sarqowi mencoba untuk ridha, namun hatinya bagai
teriris sembilu. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan janji yang telah terpatri?
Janji suci yang diikrarkannya bersama Nadirah di bawah pohon sawo di belakang
pesantren tiga tahun silam.
"Kita akan menikah setelah
kita lulus dan mengabdi dua tahun," begitu janjinya dulu kepada gadis
bermata teduh yang kini entah bagaimana perasaannya setelah Sarqowi dengan
terpaksa memutuskan hubungan mereka.
Telepon genggam Sarqowi bergetar.
Nama "Abah" tertera di layar.
"Assalamu'alaikum,
Abah," sapa Sarqowi.
"Wa'alaikumussalam, Nak.
Bagaimana kabarmu?" Suara Abahnya terdengar lebih riang dari biasanya.
"Alhamdulillah baik, Abah.
Ada apa?"
"Besok, Abah dan Umi akan ke
pesantren. Ada yang ingin kami bicarakan," ujar Abahnya dengan nada penuh
harap.
Sarqowi tahu persis apa yang akan
dibicarakan. Perjodohannya dengan Fa'izah, anak sahabat Abahnya sejak di
Madinah dulu. Perjodohan yang memaksanya harus mengkhianati janji pada Nadirah.
"Insya Allah, Abah. Saya
tunggu besok."
Sarqowi menutup telepon dengan
helaan nafas panjang. Ia memejamkan mata, mencoba mencari kedamaian dalam
keheningan kamarnya.
"Demi Allah, Qowi. Aku tak
mengira kau akan setega ini," ucap Nadirah saat Sarqowi mengakhiri
hubungan mereka dua minggu lalu.
"Maafkan aku, Nadirah. Ini
bukan keinginanku. Tapi aku tak mungkin menentang keinginan Abah. Beliau sangat
berharap aku menikah dengan putri sahabatnya," jawab Sarqowi dengan suara
bergetar.
Air mata Nadirah bergulir
perlahan di pipinya yang pucat. "Lalu janji kita? Apa itu hanya bualan
belaka?"
"Nadirah, aku—"
"Cukup," potong
Nadirah. "Semoga Allah memberikan yang terbaik untukmu. Dan semoga dia
bisa menjadi istri yang salihah bagimu."
Nadirah berlalu dengan langkah
tergesa, meninggalkan Sarqowi yang membeku di tempatnya. Ingin rasanya ia
mengejar, memeluk, dan berkata bahwa ia akan memperjuangkan cinta mereka. Namun
kakinya seolah terpaku pada lantai ubin beranda pesantren.
"Aku mencintaimu karena
Allah, Nadirah," bisiknya lirih pada angin yang berhembus. "Dan
karena Allah pula, aku harus melepaskanmu."
"Sarqowi, Nak."
Suara Umi membangunkan Sarqowi
dari lamunannya. Ia bergegas menghampiri kedua orangtuanya yang baru saja tiba
di ruang tamu pesantren. Kyai Zubair, pengasuh pesantren, telah menyambut dan
menyuguhkan teh hangat untuk mereka.
"Assalamu'alaikum, Abah,
Umi," Sarqowi mencium tangan kedua orangtuanya.
"Wa'alaikumussalam,
Nak," balas Abah dan Uminya bersamaan.
Kyai Zubair tersenyum bijak.
"Saya tinggal dulu, silahkan berbincang dengan nyaman."
Setelah Kyai Zubair undur diri,
Abah Sarqowi berdehem pelan. "Sarqowi, Abah ingin menyampaikan sesuatu
padamu."
Sarqowi mengangguk, bersiap
mendengar rencana perjodohannya yang semakin matang.
"Mengenai rencana
pernikahanmu dengan Fa'izah..." Abah terdiam sejenak, tampak ragu
melanjutkan.
"Ada apa, Abah?" tanya
Sarqowi.
"Rencana itu... terpaksa
dibatalkan."
Sarqowi tersentak.
"Di-dibatalkan? Kenapa, Abah?"
Umi menghela nafas. "Fa'izah
menolak perjodohan ini, Nak. Ternyata, ini bukan kali pertama ia menolak
perjodohan. Sudah beberapa kali sebelumnya ia membatalkan rencana
pernikahan."
"Ayahnya, Ustadz Fawwaz,
merasa sangat malu pada Abah," lanjut Abahnya. "Ia meminta maaf
karena putrinya masih belum siap menikah. Fa'izah ingin menyelesaikan S2-nya
dulu di Inggris."
Perasaan Sarqowi campur aduk. Ada
kelegaan, namun juga ada rasa sesal yang menggerogoti hatinya. Ia telah
melepaskan Nadirah untuk sebuah perjodohan yang akhirnya batal. Betapa ia telah
menyakiti gadis itu untuk sesuatu yang tidak pernah terjadi.
"Abah, Umi..." Sarqowi
mencoba bicara dengan hati-hati. "Sebenarnya... ada seseorang yang dulu
pernah saya janji untuk menikah."
Abah dan Umi saling berpandangan.
"Siapa dia, Nak?" tanya
Umi lembut.
"Namanya Nadirah. Dia santri
di pesantren putri sebelah. Kami saling mengenal saat mengajar di madrasah
pesantren. Dia gadis yang shalihah, hafal Qur'an, dan sangat sopan."
Abah mengangguk-angguk.
"Lalu mengapa kamu tidak pernah cerita pada kami?"
"Saya... saya khawatir Abah
akan kecewa jika saya menolak perjodohan dengan Fa'izah. Saya tahu betapa Abah
menghormati Ustadz Fawwaz."
"Anakku," Abah memegang
pundak Sarqowi. "Abah memang berharap kamu menikah dengan Fa'izah, tapi
bukan berarti Abah akan memaksamu jika ada gadis lain yang sudah mencuri
hatimu. Kenapa tidak jujur pada Abah sejak awal?"
Air mata mulai menggenang di
pelupuk mata Sarqowi. "Maafkan saya, Abah. Saya... saya terlalu takut
mengecewakan Abah."
"Dan sekarang?" tanya
Umi dengan senyum pengertian. "Apa kamu masih mencintai gadis itu?"
"Ya, Umi. Tapi... saya sudah
menyakitinya. Saya memutuskan hubungan kami demi perjodohan ini."
Abah menghela nafas panjang.
"Kalau begitu, temuilah dia. Minta maaflah dengan tulus. Jika dia gadis
yang baik, dia akan memaafkanmu."
"Tapi bagaimana jika dia
sudah terlanjur membenciku, Abah?"
"Cinta yang tulus tidak
mudah berubah menjadi benci, Nak," ujar Umi bijak. "Dan jika memang
dia takdirmu, Allah akan memudahkan jalanmu kembali padanya."
Selama seminggu penuh, Sarqowi
mencoba menghubungi Nadirah. Namun semua pesannya tak dibalas, semua
panggilannya tak dijawab. Sarqowi hampir putus asa ketika Mashita, teman dekat
Nadirah, menghampirinya setelah pengajian.
"Ustadz Sarqowi, Nadirah
pulang ke Banyuwangi. Neneknya sakit keras," ucap Mashita.
"Sejak kapan?" tanya
Sarqowi terkejut.
"Sudah lima hari. Dia tampak
sangat sedih akhir-akhir ini. Kami semua tahu apa yang terjadi antara
kalian," Mashita menunduk. "Tapi Nadirah tak pernah sekalipun
menjelekkan Ustadz. Dia hanya bilang bahwa ini ujian dari Allah untuk keimanannya."
Hati Sarqowi terasa diremas kuat.
Betapa mulia hati gadis yang telah ia sakiti itu.
"Mashita, boleh aku minta
alamat rumah Nadirah di Banyuwangi?"
Perjalanan ke Banyuwangi terasa
begitu panjang. Sarqowi menghabiskan waktu di bus dengan membaca Al-Qur'an dan
beristighfar. Ia takut, sangat takut, Nadirah akan menolaknya. Namun tekadnya
sudah bulat. Ia harus meminta maaf dan menjelaskan semuanya.
Rumah keluarga Nadirah terletak
di pinggiran kota Banyuwangi. Rumah sederhana dengan pagar bambu dan pekarangan
yang ditanami berbagai macam tanaman herbal. Sarqowi menarik nafas dalam-dalam
sebelum mengetuk pintu.
"Assalamu'alaikum,"
ucapnya.
Pintu terbuka, dan seorang wanita
paruh baya muncul. Dari sorot matanya yang teduh, Sarqowi bisa menebak bahwa
ini adalah ibu Nadirah.
"Wa'alaikumussalam,"
jawab wanita itu. "Mencari siapa, Nak?"
"Saya Sarqowi, Bu. Teman
Nadirah dari pesantren. Saya... saya ingin bertemu dengan Nadirah jika
diizinkan."
Ibu Nadirah menatap Sarqowi
lekat-lekat, seolah menilai kesungguhan di matanya.
"Oh, Sarqowi," ucapnya
akhirnya. "Nadirah pernah bercerita tentangmu. Masuklah, Nak."
Sarqowi mengikuti ibu Nadirah
masuk ke dalam rumah. Rumah itu sederhana namun tertata rapi dan nyaman. Di
ruang tamu, ia dipersilakan duduk.
"Tunggu sebentar, ya. Saya
akan memanggil Nadirah," ucap ibu Nadirah sebelum berlalu.
Sarqowi menunggu dengan jantung
berdebar kencang. Beberapa menit kemudian, Nadirah muncul dengan kerudung biru
muda dan gamis putih sederhana. Matanya terlihat sembab, mungkin habis
menangis.
"Ustadz Sarqowi," sapa
Nadirah formal. "Ada apa datang kemari?"
"Nadirah," Sarqowi
mencoba tersenyum meski hatinya perih mendengar sapaan formal itu. "Aku...
aku ingin minta maaf."
Nadirah terdiam, menunggu Sarqowi
melanjutkan.
"Perjodohanku... dibatalkan.
Ternyata gadis itu menolak dan ingin menyelesaikan S2-nya dulu," Sarqowi
menarik nafas. "Tapi bukan itu alasanku kemari. Aku datang karena aku
menyesal telah menyakitimu. Aku menyesal tidak memperjuangkan cinta kita. Aku
terlalu takut mengecewakan orangtuaku hingga akhirnya malah mengecewakan
hatimu."
Air mata mulai mengalir di pipi
Nadirah. "Kenapa harus sekarang, Qowi? Setelah aku mencoba dengan sangat
keras untuk melupakanmu?"
"Maafkan aku, Nadirah. Aku
tahu aku salah. Aku tahu mungkin tak pantas mendapatkan maafmu. Tapi aku ingin
kau tahu bahwa aku masih mencintaimu, sangat mencintaimu. Dan kali ini, aku
siap memperjuangkan cinta kita."
Nadirah mengusap air matanya.
"Bagaimana dengan orangtuamu? Apa mereka akan menerimaku?"
"Mereka yang menyuruhku
menemuimu. Mereka menyesal tidak tahu tentangmu sejak awal. Mereka ingin
bertemu denganmu, Nadirah."
"Benarkah?"
Sarqowi mengangguk mantap.
"Dan jika kau masih mau menerimaku, aku ingin melamarmu, di hadapan kedua
orangtuamu, secara resmi."
Nadirah menatap Sarqowi, mencari
kejujuran di matanya. Kemudian, dengan suara lirih ia berkata, "Setiap
malam aku berdoa pada Allah agar menguatkan hatiku untuk melupakanmu. Tapi di
setiap doa itu pula, aku selalu mendoakan kebahagiaanmu."
"Dan sekarang?" tanya
Sarqowi penuh harap.
"Sekarang aku tahu kenapa
Allah tidak mengabulkan doaku untuk melupakanmu," Nadirah tersenyum tipis.
"Karena Dia punya rencana yang lebih baik untuk kita."
Sarqowi merasakan kelegaan luar
biasa membanjiri hatinya. "Bolehkah aku menemui ayahmu sekarang?"
"Ayah sedang di masjid,
sebentar lagi pulang untuk shalat Maghrib. Kau bisa bicara dengannya setelah
shalat," jawab Nadirah.
Dari arah dapur, ibu Nadirah
muncul dengan nampan berisi dua cangkir teh dan beberapa potong kue. Senyumnya
mengembang melihat wajah putrinya yang kini tampak berseri.
"Sepertinya ada kabar
baik," ujar ibu Nadirah.
Nadirah dan Sarqowi saling
melempar pandang, tersenyum malu-malu.
"Iya, Bu," jawab
Nadirah pelan. "Allah telah menjawab doa-doa kita dengan cara-Nya yang
indah."
Dua bulan kemudian...
Pesantren Darul Hikmah dipenuhi
tamu undangan. Sarqowi berdiri di mimbar masjid pesantren, mengucapkan ijab
kabul dengan lantang dan yakin. Di sampingnya, Kyai Zubair tersenyum bangga. Di
hadapannya, Kyai Hasan, ayah Nadirah, mengangguk puas.
"Saya terima nikahnya
Nadirah binti Hasan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan hafalan Surah
Ar-Rahman dibayar tunai."
Takbir berkumandang memenuhi
masjid. Sarqowi merasakan keharuan yang dalam. Ia menoleh ke arah Abah dan Umi
yang duduk di barisan depan, tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Di samping
mereka, ibu Nadirah tak kalah haru.
Setelah acara akad selesai,
Sarqowi dibawa ke ruang khusus dimana Nadirah telah menunggu. Dengan gugup, ia
membuka pintu dan melihat istrinya—betapa indah kata itu terucap dalam
benaknya—duduk anggun dengan kebaya putih dan kerudung senada.
"Assalamu'alaikum,
istriku," sapa Sarqowi dengan suara bergetar haru.
Nadirah mengangkat wajahnya,
tersenyum malu. "Wa'alaikumussalam, suamiku."
Sarqowi duduk di samping Nadirah,
menggenggam tangannya lembut. "Maafkan aku atas semua kesalahanku di masa
lalu."
"Allah telah mempertemukan
kita kembali, Qowi. Itu sudah cukup membuktikan bahwa kita memang ditakdirkan
bersama," jawab Nadirah lembut.
Sarqowi menatap mata istrinya
dalam-dalam. "Nadirah, aku berjanji akan menjadi imam yang baik untukmu,
menjaga amanah pernikahan ini dengan segenap jiwaku, dan mencintaimu karena
Allah hingga ajal memisahkan kita."
"Dan aku berjanji akan
menjadi istri yang solehah, mendampingimu dalam suka dan duka, dan mencintaimu
karena Allah hingga akhir hayat," balas Nadirah.
Di luar ruangan, alunan shalawat
mulai terdengar. Hujan turun rintik-rintik membasahi bumi, seperti rahmat Allah
yang turun memberkati janji suci dua insan yang telah melewati ujian cinta.
Janji yang pernah terpatri di
bawah pohon sawo itu kini telah menjadi kenyataan, dikukuhkan dalam ikatan suci
yang diridhoi Allah Swt. Dan Sarqowi tahu, perjalanan hidup yang sesungguhnya
baru saja dimulai. Perjalanan yang akan ia tempuh bersama bidadari dunianya,
Nadirah, menuju kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
"Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS.
Ar-Rum: 21)
Tamat
Comments