Melodi Cinta dalam Senja Pesantren
Melodi Cinta dalam Senja
Pesantren
Moh. Kholil Mughofar
Senja menyisir lembut pucuk-pucuk
pohon yang menaungi Pesantren Darussalam. Angin semilir membawa aroma khas
kitab-kitab kuning yang tersusun rapi di perpustakaan pesantren. Di teras
rumahnya yang berarsitektur Jawa, Kyai Harun As-Syarofi duduk termenung.
Tasbeeh kayu di tangannya bergerak perlahan, seirama dengan doanya yang tak
bersuara.
Usia senja telah mengunjunginya.
Enam puluh lima tahun dihabiskan untuk mengabdi pada ilmu dan santri-santrinya.
Pesantren Darussalam yang dibangunnya dari nol kini menjadi salah satu
pesantren terkemuka di Jawa Timur. Namun ada satu hal yang masih mengganjal di
hatinya: masa depan putra semata wayangnya, Ahmad Fauzan.
Fauzan, lulusan Universitas
Al-Azhar Kairo, kini menjabat sebagai wakil pengasuh pesantren. Pemuda berusia
tiga puluh tahun itu memiliki wawasan yang luas, hafal Al-Quran, dan ahli dalam
ilmu nahwu dan fiqih. Para santri menyukainya karena cara mengajarnya yang
menyenangkan dan penuh hikmah. Namun ada satu hal yang membuat Kyai Harun
khawatir: putranya belum juga menikah.
"Assalamu'alaikum,
Abah." Suara lembut mengalihkan perhatian Kyai Harun.
"Wa'alaikumsalam, Fauzan.
Duduklah, Nak." Kyai Harun menepuk kursi rotan di sampingnya.
Fauzan duduk dengan adab, kedua
tangan bertumpu pada lutut, punggung tegak namun tidak kaku. "Ada yang
ingin Abah bicarakan?"
Kyai Harun tersenyum. Cahaya
senja memantul dari kacamata bulatnya. "Kamu sudah tiga puluh tahun, Nak.
Umur segitu, Abah sudah punya dua anak."
Fauzan tersenyum maklum. Ini
bukan pertama kalinya sang ayah menyinggung masalah pernikahan. "Abah,
saya masih ingin fokus membantu pesantren dulu."
"Menikah bukan berarti
berhenti mengabdi, Nak. Justru dengan menikah, kamu bisa lebih tenang dalam
mengabdi. Nabi Muhammad saw pun berumahtangga saat berdakwah," ujar Kyai
Harun dengan bijak.
"Tapi saya belum menemukan
yang cocok, Abah."
Kyai Harun tersenyum penuh arti.
"Bagaimana dengan Nadzifah?"
Fauzan terdiam. Nadzifah binti
Kyai Zainuddin adalah salah satu santri putri senior yang mengajar di kompleks
putri. Gadis berkerudung biru itu merupakan hafizah 30 juz dengan pemahaman
hadits yang mengagumkan. Santri-santri putri begitu menghormatinya karena
kecerdasan dan kelembutannya.
"Nadzifah?" Fauzan
mengulang, seolah memastikan pendengarannya.
"Iya. Abah lihat dia gadis
yang shalihah, berilmu, dan dari keluarga baik-baik. Kyai Zainuddin juga sudah
setuju jika kamu berkenan."
Fauzan menunduk, menyembunyikan
rona merah yang menjalar di wajahnya. Sejujurnya, ia memang diam-diam mengagumi
Nadzifah. Beberapa kali mereka bertemu dalam forum diskusi kitab yang dihadiri
ustadz dan ustadzah. Nadzifah selalu memberikan pandangan yang jernih dan
dalam, mencipta decak kagum dari para pendengarnya.
"Saya akan shalat istikharah
dulu, Abah," jawab Fauzan akhirnya.
Di kompleks putri, Nadzifah
sedang membimbing beberapa santri dalam memahami kitab Bulughul Maram.
Jemarinya yang lentik menunjuk baris-baris tulisan Arab gundul dengan telaten,
menjelaskan dengan sabar ketika ada santri yang belum paham.
"Ustadzah, ada tamu,"
seorang santri kecil berbisik sambil menyodorkan secarik kertas.
Nadzifah membaca pesan tersebut:
Kyai Harun ingin bertemu. Dadanya berdegup kencang. Ia tahu benar reputasi Kyai
Harun yang tidak pernah memanggil santri kecuali untuk hal-hal penting.
"Baiklah, adik-adik, kita
lanjutkan besok. Silakan pelajari bab berikutnya," Nadzifah menutup
pelajaran dengan lembut.
Dengan langkah yang tenang namun
tegas, Nadzifah berjalan menuju rumah Kyai Harun, ditemani seorang santri putri
sebagai muhrimnya. Di sepanjang jalan setapak yang diapit pohon-pohon rindang,
ia bertasbih dalam hati, mempersiapkan diri untuk apapun yang akan disampaikan
sang kyai.
"Assalamu'alaikum,"
Nadzifah mengucap salam dengan suara lirih namun jelas.
"Wa'alaikumsalam
warahmatullah," jawab Kyai Harun ramah. "Masuklah, Nak."
Di ruang tamu yang sederhana itu,
Kyai Harun duduk berhadapan dengan Nadzifah. Bu Nyai Hanifah, istri Kyai Harun,
juga hadir menemani. Setelah berbasa-basi sejenak dan menyajikan teh panas,
Kyai Harun mulai berbicara tentang maksudnya.
"Nadzifah, Abah dan Umi
sudah mengenalmu sejak kamu pertama kali masuk pesantren ini. Kami melihat
perkembanganmu yang luar biasa, tidak hanya dalam ilmu agama tapi juga dalam
adab dan akhlakmu," Kyai Harun memulai.
Nadzifah menunduk, menyembunyikan
wajahnya yang memerah. "Itu semua berkat doa dan bimbingan Abah dan
Umi," jawabnya rendah hati.
"Abah ingin bertanya, apakah
kamu sudah memiliki calon suami?" tanya Kyai Harun langsung.
Pertanyaan itu membuat Nadzifah
terkejut. Ia menggeleng pelan. "Belum, Abah. Saya masih ingin mengabdi di
pesantren."
"Bagus. Karena Abah ingin
menjodohkanmu dengan Fauzan."
Nadzifah terdiam, jantungnya
berdegup kencang. Ustadz Fauzan? Putra Kyai Harun yang terkenal alim dan rendah
hati itu?
"Tapi... kenapa saya, Abah?
Di luar sana banyak yang lebih pantas untuk Ustadz Fauzan," ujar Nadzifah
dengan suara bergetar.
Bu Nyai Hanifah tersenyum lembut.
"Kamilah yang harusnya bertanya, kenapa tidak kamu? Kamu hafal Al-Quran,
paham tentang hadits, dan memiliki akhlak yang terpuji. Apa lagi yang
kurang?"
Nadzifah tidak bisa menjawab.
Dalam benaknya berkecamuk berbagai perasaan. Rasa tidak percaya diri,
kekhawatiran akan tanggung jawab menjadi istri seorang calon pengasuh
pesantren, dan... rasa bahagia yang tidak bisa ia ungkapkan.
"Saya... saya mohon waktu
untuk shalat istikharah, Abah, Umi," akhirnya Nadzifah menjawab.
Kyai Harun dan Bu Nyai Hanifah
mengangguk penuh pengertian. "Tentu, Nak. Pikirkanlah baik-baik. Kami akan
memberitahu keluargamu tentang maksud kami."
Malam itu, Nadzifah tidak bisa
tidur. Ia menghabiskan waktu dengan shalat tahajud dan istikharah, memohon
petunjuk Allah. Dalam sujud panjangnya, air mata mengalir deras membasahi
sajadah. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata rasa syukur dan ketidakpercayaan
akan karunia yang Allah berikan padanya.
Sementara itu, di kamarnya,
Fauzan juga melakukan hal yang sama. Setelah shalat dan membaca Al-Quran, ia
berbaring menatap langit-langit kamarnya. Bayangan wajah Nadzifah yang selalu
tertunduk sopan saat berbicara dan suaranya yang merdu saat mengaji terngiang
di telinganya.
"Ya Allah, jika dia yang
terbaik untukku, permudahlah jalan kami," bisiknya sebelum terlelap.
Dua minggu kemudian, halaman
Pesantren Darussalam dipenuhi tamu undangan. Kyai dan ustadz dari berbagai
daerah hadir memenuhi undangan Kyai Harun. Acara akad nikah Fauzan dan Nadzifah
dilaksanakan dengan sederhana namun penuh khidmat.
Fauzan, dengan gamis putih dan
sorban hijau, duduk berhadapan dengan Kyai Zainuddin, ayah Nadzifah. Dengan
suara yang tegas dan mantap, ia mengucapkan ijab kabul. Para santri dan hadirin
mengumandangkan takbir dan shalawat, menyambut bersatunya dua insan yang
dipertemukan dalam lingkungan penuh keberkahan.
Di kamar pengantin yang sederhana
namun rapi, Nadzifah duduk menunggu dengan hati berdebar. Gaun putih sederhana
dan kerudung panjang membuatnya tampak anggun. Tak lama kemudian, pintu
terbuka. Fauzan masuk dan langsung mengucapkan salam.
"Wa'alaikumsalam,"
jawab Nadzifah lirih, masih menunduk.
Fauzan duduk di hadapan istrinya,
menatap wajah yang selalu menunduk itu dengan penuh kekaguman. "Bolehkah
saya melihat wajah istri saya?" pintanya lembut.
Perlahan, Nadzifah mengangkat
wajahnya. Mata mereka bertemu untuk pertama kalinya tanpa hijab penghalang.
Fauzan terpana melihat paras ayu yang selama ini tersembunyi itu.
"Subhanallah," bisiknya
kagum. "Alhamdulillah, Allah telah memberikan saya istri yang
shalihah."
"Dan saya mendapatkan suami
yang shalih," balas Nadzifah dengan suara bergetar.
Fauzan tersenyum. "Izinkan
saya membacakan hadits yang selalu saya jaga: 'Dunia adalah perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.' Saya berjanji akan menjaga
perhiasan ini dengan segenap jiwa saya."
Nadzifah tersenyum. Air matanya
menetes haru. "Dan saya berjanji akan selalu mendampingi perjuangan Ustadz
dalam meneruskan pesantren ini."
Di beranda rumahnya, Kyai Harun
menatap langit penuh bintang. Hatinya tenang dan bahagia. Pesantren yang
dibangunnya akan terus hidup dan berkembang di tangan putra dan menantunya yang
shalih dan shalihah. Estafet perjuangan dakwah telah berjalan dengan sempurna.
"Alhamdulillah,"
bisiknya penuh syukur. "Engkau telah menyempurnakan agama putraku."
Comments