Sandal Petaka
SANDAL PETAKA
Moh. Kholil Mughofar
Kalau menurut saya, masalah
terbesar di pesantren bukanlah hafalan Quran, bukan juga bangun tahajud, tapi
sandal hilang. Ya, hilangnya sendal jepit merupakan bencana yang lebih
menakutkan daripada ujian kitab kuning dadakan.
Namaku Ahmad Ridwan, biasa
dipanggil Iwan, santri tingkat akhir di Pesantren Al-Barokah yang terletak di
pinggiran kota Jombang. Sebuah pesantren dengan 500-an santri putra yang
semuanya punya hobi sama: koleksi sandal orang lain.
Pagi itu, seperti biasa, saya
bersiap untuk pergi ke kamar mandi. Masalahnya, kamar mandi di pesantren ini
cuma ada 20 untuk 500 santri. Jadi, kalau kamu tidak bangun pagi-pagi buta,
bersiaplah mengantre sambil menahan 'panggilan alam' selama 30 menit. Itupun
kalau beruntung.
Saya mengulurkan tangan ke bawah
ranjang untuk mengambil sandal Swallow biru kesayangan saya. Sandal itu hadiah
dari Mamak setelah saya berhasil menghafal Juz 30. Tapi yang saya temukan
hanyalah debu dan beberapa bungkus mie instan bekas — bukti kejahatan tengah
malam saya dan teman sekamar.
"Loh, sandal gue mana?"
gumam saya panik.
Ustadz Rojali, pengasuh pesantren
kami, punya teori bahwa ketika sandal hilang, ada tiga kemungkinan: diambil
jin, dipinjam teman tanpa izin, atau yang paling masuk akal, seseorang
'tersesat' dan membawa pulang sandal kita.
"Woi, ada yang liat sandal
Swallow biru gue nggak?" tanya saya pada seisi kamar yang berisi 20
santri.
"Swallow biru? Yang sol-nya
udah tipis kayak lembar jawaban ujian kosong itu ya?" sahut Dimas, teman
sekamar yang terkenal dengan julukan 'Kamus Berjalan' karena hafalannya yang
luar biasa.
"Iya, itu! Hadiah dari Mamak
gue, bro!"
"Kayaknya tadi gue liat
Hasan pakai sandal biru deh," jawab Dimas sambil melipat sarungnya.
Saya langsung meluncur ke kamar
Hasan yang berada di ujung lorong asrama. Tanpa mengetuk pintu (karena ini
pesantren, bukan hotel), saya langsung menerobos masuk.
"San, lu liat sandal Swallow
biru gue nggak?"
Hasan yang sedang menyisir rambut
(entah untuk apa, karena kita semua berpenampilan seperti bola bowling dengan
peci) menoleh dengan wajah bingung.
"Nggak tuh. Gue pakai sandal
sendiri kok," jawabnya sambil menunjuk sepasang sandal jepit merah di
bawah kakinya.
"Tapi kata Dimas, lu pakai
sandal biru tadi!"
"Oh, itu... Tadi gue minjem
bentar buat ke WC. Habis itu gue taruh lagi kok depan kamar lo."
Firasat saya langsung tidak enak.
Di pesantren, menaruh sandal di depan kamar sama saja dengan memberikan
undangan resmi bagi santri lain untuk 'meminjamnya'.
Saya kembali ke kamar dengan
lunglai. Sandal kesayangan saya hilang. Opsi yang tersisa hanyalah sandal
cadangan: sandal Swallow putih dengan ukuran yang kebesaran, hadiah dari kakak
sepupu saya yang salah beli ukuran.
"Takdir Allah," kata
Ustadz Rojali setiap ada santri kehilangan sandal.
Jam pertama pagi itu adalah
pelajaran Nahwu (tata bahasa Arab) dengan Ustadz Zubair. Beliau terkenal
sebagai ustadz paling tegas dan disiplin di pesantren. Terlambat satu menit?
Siap-siap jadi tukang bersih WC selama seminggu.
Saya berlari terburu-buru dengan
sandal putih kebesaran yang 'plek-plek' bunyinya lebih keras dari bedug
pesantren. Ketika hampir sampai di depan kelas, malapetaka terjadi.
PLAK! BYUR!
Saya terpeleset di genangan air,
sandal putih saya terlempar entah ke mana, dan pantat saya mendarat dengan
mulus di atas genangan lumpur sisa hujan semalam. Beberapa santri yang lewat
cekikikan melihat nasib malang saya.
"Subhanallah, Wan! Lu sedang
latihan buat lomba renang ya?" ledek Ali, teman sekelas yang kebetulan
lewat.
"Diam lu! Bantu gue
bangun!" seru saya kesal.
Saat berdiri, saya menyadari
bahwa celana putih saya kini bercorak batik coklat alami. Dan yang lebih parah,
sandal putih kebesaran itu hilang sebelah!
"Ya Allah... cobaan apa lagi
ini..." rintih saya.
Akhirnya, dengan terpaksa, saya
masuk kelas dengan satu kaki bersandal, satu kaki telanjang, dan pantat coklat.
Tentu saja, Ustadz Zubair tidak melewatkan pemandangan absurd ini.
"Astagfirullah... Ahmad
Ridwan! Kamu ini mau masuk kelas atau mau demo anti-sandal?" kata beliau
dengan wajah setengah menahan tawa.
Seisi kelas meledak tertawa.
Wajah saya merah padam.
"Maaf Ustadz, sandal saya
hilang tadi pagi, terus sandal cadangan saya juga hilang sebelah barusan,"
jawab saya lemas.
"Kamu ini sudah tingkat
akhir tapi masih saja ceroboh. Ya sudah, sekarang kamu ambil sapu lidi di
gudang, bersihkan halaman pesantren sampai Dzuhur!"
Dan begitulah, saya menghabiskan
pagi yang indah dengan menyapu halaman pesantren seluas lapangan sepak bola
dengan kaki setengah telanjang.
Saat istirahat Dzuhur, saya
melihat pemandangan yang membuat darah naik ke kepala. Bukan, bukan bidadari
turun dari langit. Tapi Rojak, santri baru asal Madura, dengan santainya
memakai sandal Swallow biru yang sangat saya kenal.
"WOI, ROJAK! ITU SANDAL
GUE!" teriak saya sambil berlari menghampirinya.
Rojak menoleh dengan wajah polos.
"Sandal apa, Kak?"
"Itu yang lo pakai! Swallow
biru itu punya gue!"
"Oh, ini? Saya nemu di
mushola tadi pagi, Kak. Saya kira nggak ada yang punya," jawabnya dengan
logat Madura yang kental.
"Gimana ceritanya sandal
yang gue taruh di depan kamar bisa nyasar ke mushola?!"
Rojak menggaruk kepalanya.
"Ndak tahu, Kak. Tapi tadi pagi saya lihat Kak Dimas pakai sandal biru
juga waktu ke mushola."
Jadi begitu rupanya. Hasan
meminjam tanpa izin, mengembalikan di depan kamar, lalu Dimas 'meminjam' lagi
untuk sholat Subuh, dan meninggalkannya di mushola, hingga akhirnya Rojak
menemukannya.
"Sini, balikin sandal
gue!" kata saya sambil mengulurkan tangan.
"Tapi Kak, saya nggak punya
sandal lain. Sandal saya hilang kemarin," jawab Rojak dengan wajah
memelas.
Dan di situlah saya terjebak
dalam dilema moral yang klasik di pesantren: merebut kembali hak milik atau
berbagi dengan saudara seiman yang kesusahan?
Setelah menghela napas panjang,
saya berkata, "Ya udah, lu pakai aja dulu. Tapi besok belikan gue yang
baru ya!"
Rojak tersenyum lebar.
"Makasih Kak! Insya Allah besok saya ganti!"
Sore itu, saya terpaksa pergi ke
warung depan pesantren untuk membeli sandal baru. Hanya dengan uang 20 ribu di
kantong (hasil nabung jajan seminggu), pilihan saya terbatas pada sandal jepit
biasa dengan merek "Kura-Kura" — merek entah dari mana yang baru saya
dengar.
Keesokan harinya, sesuai janji,
Rojak memberikan sandal baru untuk saya. Tapi bukan Swallow biru, melainkan...
Swallow PINK dengan gambar Hello Kitty!
"Rojak... ini serius?"
tanya saya sambil mengangkat sandal pink itu dengan ujung jari.
"Iya Kak! Itu sandal adik
saya, masih baru! Dia ikut Mamak ke rumah nenek, jadi nggak dipakai,"
jawabnya dengan bangga.
"Tapi... pink? Hello Kitty?
Gue cowok, Jak!"
"Kan yang penting fungsinya
sama, Kak," jawabnya dengan logika tak terbantahkan khas santri.
Ternyata, celetukan Ustadz Rojali
benar. Ada hikmah di balik setiap musibah sandal hilang. Hikmah saya kali ini?
Menjadi satu-satunya santri putra di Pesantren Al-Barokah yang memakai sandal
Hello Kitty pink.
Dan anehnya, sejak saat itu,
tidak ada lagi yang berani 'meminjam' sandal saya.
TAMAT
Comments