Mutiara di Pulau Tak Bernama
Mutiara di Pulau Tak Bernama
Moh. Kholil Mughofar
Badai datang tanpa ampun.
Gelombang setinggi tiga meter menghantam perahu kayu yang membawa dua belas
santri Pesantren Darussalam. Mereka seharusnya hanya melakukan perjalanan
singkat ke pulau seberang untuk menghadiri kompetisi tahfidz, namun takdir
berkata lain.
"Baca Ayat Kursi!"
Teriak Ustadz Farid, pembimbing mereka, berusaha mengatasi deru angin.
"Bersama-sama!"
Santri-santri itu—enam laki-laki
dan enam perempuan—bergegas membaca doa, suara mereka bergetar namun mantap.
Namun gelombang berikutnya terlalu kuat. Perahu mereka terangkat tinggi,
berputar di udara seperti mainan, sebelum hancur berkeping-keping saat menghantam
permukaan laut.
Ahmad membuka mata, merasakan
pasir kasar di pipinya. Tenggorokannya perih oleh air laut. Ia terbatuk keras,
merasakan sisa-sisa air keluar dari paru-parunya.
"Alhamdulillah, kau
sadar!" Sebuah suara yang ia kenal menyapanya. Itu Zaki, teman sekamarnya
di pesantren. Wajahnya lecet, baju putihnya compang-camping, tapi matanya
memancarkan kelegaan luar biasa.
Ahmad berusaha bangkit,
pandangannya perlahan menjelas. Dia melihat pantai berpasir putih membentang,
dikelilingi pepohonan lebat yang belum pernah ia lihat jenisnya. Langit biru
cerah seolah mengejek nasib mereka—sangat kontras dengan badai mematikan beberapa
waktu lalu.
"Yang lain?" tanyanya
parau.
"Alhamdulillah semua
selamat," jawab Zaki. "Ustadz Farid sedang memimpin pertemuan di
bawah pohon itu."
Ahmad mengikuti arah yang
ditunjuk Zaki. Di bawah pohon besar dengan akar-akar yang menjuntai seperti
tirai, berkumpul sepuluh orang lainnya. Ia mengenali sarung dan jilbab yang
sudah tidak lagi rapi itu.
"Bismillah," Ustadz
Farid memulai pertemuan. "Pertama-tama, mari bersyukur karena Allah masih
memberikan kita kesempatan hidup."
Santri-santri itu mengangguk.
"Kedua, kita harus tetap
tenang dan berfikir jernih. Jangan panik." Ustadz Farid memakai kacamata
bundarnya yang ajaibnya masih utuh. "Dari pengamatanku, kita terdampar di
pulau yang tidak berpenghuni. Tidak ada tanda aktivitas manusia sejauh mata
memandang."
"Bagaimana cara kita pulang,
Ustadz?" tanya Aminah, santri perempuan dengan jilbab biru muda.
"Itulah yang harus kita
pikirkan bersama," jawab Ustadz Farid. "Sementara ini, kita perlu
bertahan hidup. Air, makanan, dan tempat berlindung adalah prioritas
utama."
Mereka membagi tugas. Kelompok
pertama mencari air tawar, kelompok kedua mengumpulkan makanan, dan kelompok
ketiga membangun tempat berlindung. Ustadz Farid memastikan setiap kelompok
terdiri dari santri putra dan putri yang bekerja dengan tetap menjaga batasan
syar'i.
Hamid, santri tahun terakhir yang
terkenal dengan kecerdikannya, memberi usul, "Ustadz, bagaimana jika kita
membuat api unggun besar di pantai? Mungkin ada kapal yang lewat."
"Ide bagus," puji
Ustadz Farid. "Tapi kita juga harus realistis. Entah berapa jauh kita
terbawa badai. Pulau ini mungkin tidak berada di jalur pelayaran."
Hari berganti minggu. Kehidupan
di pulau itu mulai terstruktur. Mereka membangun pondok dari ranting dan daun,
menemukan mata air tawar, dan belajar mengidentifikasi buah-buahan yang aman
dimakan. Sebuah rutinitas tercipta—bangun sebelum subuh, shalat berjamaah,
mencari makanan, memperbaiki tempat tinggal, dan di malam hari, belajar
Al-Quran di bawah cahaya api unggun.
Tak ada kitab, tak ada papan
tulis, tapi Ustadz Farid dan para santri yang hafal Al-Quran berbagi
pengetahuan mereka. Pulau itu menjadi pesantren mini mereka.
Suatu malam, saat semua telah
tertidur, Ahmad terbangun karena mendengar suara aneh dari dalam hutan. Suara
itu seperti... bisikan? Atau nyanyian? Ia tak dapat memastikan.
Didorong rasa penasaran, Ahmad
mengambil obor kecil dan melangkah hati-hati ke arah suara itu. Ia tahu
seharusnya tidak pergi sendiri, tapi sesuatu tentang suara itu seperti
memanggilnya secara pribadi.
Semakin dalam ia masuk ke hutan,
semakin jelas suara itu. Sebuah nyanyian dalam bahasa yang tidak ia kenal,
namun entah bagaimana terasa familiar. Cahaya samar kebiruan muncul di antara
pepohonan.
Ahmad menelan ludah.
"Bismillah," bisiknya sebelum maju.
Di sebuah cekungan tanah, ia
menemukan pemandangan yang membuat jantungnya seolah berhenti. Sebuah batu
besar berbentuk kubus sempurna memancarkan cahaya biru lembut. Di permukaannya
terukir kaligrafi Arab yang rumit—ayat-ayat Al-Quran yang ia kenali, bercampur
dengan tulisan lain yang asing baginya.
Dan di sekeliling batu itu,
melayang-layang seperti kelopak bunga tertiup angin, adalah sosok-sosok tembus
pandang bercahaya. Mereka menyerupai manusia, tapi jelas bukan manusia.
"Assalamu'alaikum,"
sapa Ahmad dengan suara bergetar.
Sosok-sosok itu berhenti
bernyanyi. Mereka menoleh serempak ke arah Ahmad. Salah satu dari mereka, yang
tampak paling bercahaya, melangkah maju.
"Wa'alaikumsalam, Wahai
Pembawa Cahaya," jawabnya dalam bahasa Arab yang fasih namun berintonasi
aneh.
Ahmad terkesiap. "Si-siapa
kalian?"
"Kami adalah Jin Muslim yang
telah lama menjaga Pulau Baitul Hikam ini," jawab sosok itu. "Dan
kami telah menunggu kedatanganmu, Wahai Pembawa Cahaya."
"Pembawa Cahaya? Apa
maksudnya?" Ahmad semakin bingung.
Jin itu menunjuk batu bercahaya.
"Batu Nubuwwah ini diturunkan ke pulau ini berabad lalu, menyimpan rahasia
yang hanya bisa dibuka oleh seseorang dengan hati yang murni dan hafalan Quran
yang sempurna. Kami merasakan kehadiranmu sejak kau tiba di pulau ini."
Ahmad menggeleng. "Tapi
hafalanku belum sempurna. Aku baru hafal sepuluh juz."
"Bukan jumlahnya, tapi
keikhlasannya," jawab Jin itu. "Dan bukan kau sendiri, tapi kalian
berdua belas santri dan guru kalian. Bersama-sama."
Pagi harinya, dengan tangan
gemetar, Ahmad menceritakan pengalamannya kepada Ustadz Farid dan
teman-temannya. Awalnya mereka ragu, tapi keingintahuan mengalahkan ketakutan.
Dipimpin Ahmad, mereka menemukan
cekungan tanah itu. Batu Nubuwwah masih di sana, tapi tidak ada jin yang
terlihat.
"Subhanallah," bisik
Ustadz Farid, mengamati kaligrafi di batu itu. "Ini adalah ayat-ayat
tentang petunjuk dan penyelamatan. Tapi sebagian tulisannya... ini bahasa
Suryani kuno. Bahasa para nabi terdahulu."
Zaki memberanikan diri menyentuh
batu itu. Begitu jarinya menyentuh permukaan batu, cahaya biru memancar lebih
terang. "Ustadz! Ia bereaksi!"
Ustadz Farid mengerti. "Coba
kita semua menyentuhnya bersama-sama. Sambil membaca Al-Quran."
Ketiga belas orang itu membentuk
lingkaran mengelilingi batu, masing-masing meletakkan satu tangan di
permukaannya. Dengan dipimpin Ustadz Farid, mereka mulai membaca Surah Yasin.
Saat bacaan mencapai ayat
terakhir, cahaya dari batu meledak ke atas seperti pilar cahaya biru yang
menjulang hingga ke langit. Tanah di bawah mereka bergetar. Batu itu perlahan
tenggelam ke dalam tanah, meninggalkan lubang berbentuk lingkaran sempurna.
Dari dalam lubang itu, muncul
tangga spiral yang tampaknya terbuat dari kristal bening. Cahaya lembut
menerangi ke bawah, menunjukkan jalan masuk ke ruang bawah tanah yang luas.
"Apakah... kita harus
turun?" tanya Aminah ragu-ragu.
"Bismillah," jawab
Ustadz Farid, mulai menuruni tangga.
Ruang bawah tanah itu lebih tepat
disebut istana bawah tanah. Dindingnya terbuat dari kristal yang memantulkan
cahaya dalam warna-warna pelangi. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja
bundar dengan tiga belas kursi. Di atas meja itu tergeletak sebuah peta kuno
yang tampak berpendar.
"Ini... ini peta kepulauan
kita," kata Ustadz Farid setelah mengamati peta itu. "Dan titik merah
ini... ini posisi kita sekarang."
Zaki memperhatikan titik-titik
lain di peta. "Ustadz, ada jalur yang tergambar dari sini ke pulau
terdekat. Dan lihat, ada catatan dalam bahasa Arab di sini."
Ustadz Farid membaca tulisan itu:
"Siapa yang datang dengan keimanan, akan pergi dengan keselamatan. Temukan
perahu di gua timur dan gunakan kompas cahaya untuk kembali."
Mereka segera mencari dan
menemukan jalan keluar lain dari ruang bawah tanah, yang membawa mereka ke gua
di sisi timur pulau. Dan benar saja, di sana terdapat sebuah perahu besar yang
tampak kuno namun dalam kondisi sempurna. Di bagian haluan perahu, terdapat
kotak kecil berisi kompas yang memancarkan cahaya biru.
Tiga hari kemudian, perahu mereka
terlihat oleh kapal nelayan dari Pulau Makmur. Para nelayan terkejut melihat
perahu kuno dengan tiga belas penumpang berpakaian santri yang sudah dinyatakan
hilang selama hampir dua bulan.
Ketika akhirnya tiba kembali di
pesantren, mereka disambut seperti orang yang bangkit dari kubur. Cerita
tentang pulau misterius, batu bercahaya, dan perahu ajaib menyebar cepat, meski
banyak yang meragukan kebenarannya.
Yang tidak diragukan adalah
perubahan pada diri ketiga belas orang itu. Mereka kembali dengan hafalan
Al-Quran yang lebih kuat, pemahaman agama yang lebih dalam, dan cahaya
spiritual yang tampak jelas di wajah mereka.
Ustadz Farid menulis jurnal
tentang pengalaman mereka, yang kemudian disimpan di perpustakaan pesantren.
Sementara Ahmad sering termenung, menatap langit malam, bertanya-tanya apakah
jin-jin di Pulau Baitul Hikam masih menunggu Pembawa Cahaya berikutnya.
Dan kompas cahaya yang mereka
bawa pulau? Ustadz Farid menyimpannya di ruang pribadinya. Sekali waktu, jarum
kompas itu bergerak sendiri, selalu menunjuk ke arah yang sama—arah di mana
petualangan baru menunggu untuk dimulai.
"Tidak semua harta karun
adalah emas dan permata. Terkadang, harta paling berharga adalah pengalaman
yang mengubah hidup dan menguatkan iman." — Dari jurnal Ustadz Farid
Comments