Bait-Bait Harapan
Bait-Bait Harapa
Ulfa
Ulul Haslinda
Ulfa
memilih jalan yang tidak populer di kalangan santri putri Pesantren Maulana
Malik Ibrahim. Sementara teman-temannya fokus pada hafalan Al-Qur'an atau
prestasi akademik, Ulfa justru mengajukan diri menjadi khodam di ndalem, rumah
Kyai Ihsanuddin dan Bunyai Fifi. Banyak yang tidak memahami keputusannya. Rizka
bahkan sempat menyindirnya, mengatakan bahwa dengan otak secemerlang Ulfa, ia
bisa melakukan hal yang lebih bermanfaat.
"Rizka,
kamu tidak mengerti," Ulfa tersenyum saat menjawab sindiran sahabatnya
itu. "Ada banyak ilmu yang tidak terdapat dalam kitab-kitab. Ada berkah
tersendiri dalam khidmah kepada guru."
Namun
Ulfa tidak pernah menceritakan alasan sebenarnya. Ada rahasia yang ia simpan
rapat-rapat dalam hati, sesuatu yang bahkan tidak berani ia tulis dalam buku
hariannya.
Pagi
itu, seperti biasa Ulfa bangun lebih awal dari santri lainnya. Jam dinding
kamar asrama baru menunjukkan pukul 03.30 ketika ia sudah rapi dengan kerudung
biru mudanya. Khalila, yang tidur di ranjang sebelahnya, membuka mata sekilas.
"Masih
gelap, Fa," gumam Khalila setengah sadar.
"Tidur
lagi saja, masih satu jam sebelum shubuh," bisik Ulfa sambil menyelimuti
temannya.
Ulfa
keluar dari kamar dengan langkah ringan, membawa tas kecil berisi perlengkapan
mengajinya. Udara pagi masih dingin menusuk tulang. Kabut tipis menyelimuti kompleks
pesantren, membuat bangunan-bangunan tampak seperti lukisan samar. Ia melintasi
pelataran depan mushola yang sepi, tempat biasanya santri putra bermain bola di
sore hari.
Ndalem
Kyai berada di bagian depan kompleks pesantren. Bangunan sederhana namun asri
dengan taman kecil yang tertata rapi. Ulfa mengetuk pintu belakang dengan
perlahan.
"Assalamualaikum,"
ucapnya pelan.
Pintu
terbuka, dan sosok Mbak Ita muncul dengan senyum ramah. "Wa'alaikumsalam.
Pagi sekali, Fa."
"Saya
bantu siapkan sarapan ya, Mbak?" tawar Ulfa.
"Bunyai
sudah di dapur. Kamu langsung ke sana saja."
Ulfa
mengangguk dan melangkah menuju dapur. Di sana, Bunyai Fifi sedang menyiapkan
bahan-bahan untuk sarapan. Wanita dari Surakarta itu tampak anggun bahkan saat
berada di dapur dengan celemek.
"Assalamualaikum,
Nyai," sapa Ulfa sambil mencium tangan Bunyai Fifi.
"Wa'alaikumsalam,
Nduk. Alhamdulillah, tepat waktu. Tolong siapkan adonan roti ya, hari ini kita
akan membuat roti panggang untuk sarapan Abah."
Ulfa
mengangguk patuh dan mulai bekerja. Ia menikmati setiap momen di dapur bersama
Bunyai. Ada kedamaian tersendiri yang ia rasakan, jauh dari keriuhan asrama
dengan mulut cerewetnya yang selalu aktif berceloteh.
Saat
sedang fokus menguleni adonan, terdengar langkah kaki memasuki dapur. Ulfa
tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Detak jantungnya yang
langsung berpacu kencang sudah cukup menjadi petunjuk.
"Assalamualaikum,"
suara bariton itu menyapa.
"Wa'alaikumsalam,"
jawab Bunyai Fifi. "Sudah selesai mengambil air untuk Abah, Min?"
Kang
Amin, khodam Kyai yang terkenal dengan kebiasaannya berpuasa setiap hari,
mengangguk sopan. "Sudah, Nyai. Air untuk wudhu Abah sudah saya siapkan
juga."
Ulfa
mencuri pandang sekilas. Kang Amin berdiri tegap dengan wajah teduh.
Garis-garis wajahnya yang tegas menunjukkan kedewasaan, meski usianya mungkin
baru 23 atau 24 tahun. Tidak seperti Kang Alfan yang gemoy atau Kang Wahab yang
pendiam, Kang Amin memiliki aura berbeda. Ada keteguhan dan kesederhanaan yang
terpancar dari sosoknya.
"Ulfa,
tolong ambilkan madu di lemari atas," pinta Bunyai Fifi, membuyarkan
lamunan Ulfa.
"I-iya,
Nyai," Ulfa tergagap, berusaha meraih toples madu di rak yang cukup
tinggi. Ia berjinjit namun tetap tidak mencapai.
Tiba-tiba,
sebuah tangan terulur di sampingnya, dengan mudah meraih toples itu. "Biar
saya bantu," kata Kang Amin, memberikan toples madu kepada Ulfa.
Jemari
mereka bersentuhan sekilas, membuat wajah Ulfa memanas. "Terima
kasih," gumamnya tanpa berani menatap mata Kang Amin.
"Sama-sama,"
jawab Kang Amin singkat sebelum pamit untuk melanjutkan tugasnya.
Setelah
Kang Amin keluar dari dapur, Bunyai Fifi tersenyum penuh arti ke arah Ulfa.
"Min itu anak yang baik. Rajin ibadah, tidak banyak bicara tapi penuh
tanggung jawab."
Ulfa
hanya tersenyum canggung, tidak tahu harus merespon bagaimana. Apakah
ketertarikannya begitu terlihat? Atau Bunyai hanya asal berbicara?
Hari-hari
berlalu dengan rutinitas yang sama. Ulfa membagi waktunya antara kegiatan
pesantren dan tugasnya sebagai khodam di ndalem. Setiap pagi ia membantu di
dapur, sore hari ia membantu Mbak Risa merapikan perpustakaan pribadi Kyai, dan
terkadang ia membantu Bunyai Fifi menyiapkan materi untuk pengajian ibu-ibu
kampung.
Dan
di antara kesibukan itu, selalu ada momen-momen singkat pertemuan dengan Kang
Amin. Terkadang hanya sekadar berpapasan di halaman, bertukar salam, atau
sesekali membantu satu sama lain dalam tugas-tugas di ndalem. Momen-momen kecil
yang selalu Ulfa nantikan dengan debar yang tak terkendali.
"Keliatannya
ada yang lagi kasmaran nih," goda Rizka suatu malam di kamar asrama.
Ulfa
melempar bantal ke arah sahabatnya itu. "Ngawur! Aku fokus ngabdi di
ndalem."
"Halah,
bohong. Aku perhatikan lho, kalau Kang Amin lewat, kamu langsung diam. Padahal
biasanya mulutmu tidak bisa berhenti bicara," Rizka tertawa.
Dari
ranjang sebelah, Khalila ikut menimpali. "Benar. Dan kamu selalu berusaha
tampil rapi kalau tahu akan pergi ke ndalem."
"Kalian
berlebihan," Ulfa menutupi wajahnya dengan bantal, menyembunyikan rona
merah yang mulai menjalar.
"Apa
sih yang kamu lihat dari Kang Amin?" tanya Husna yang sedang menyisir
rambutnya. "Dia kan pendiam, dan setahuku dia puasa terus. Kapan kalian
bisa makan romantis bareng?"
Ulfa
terdiam sejenak. Apa yang ia lihat dari Kang Amin? Mungkin kesederhanaannya,
atau kedisiplinannya dalam beribadah, atau tatapan matanya yang selalu penuh
keyakinan, atau mungkin cara ia berinteraksi dengan santri kecil dengan penuh
kesabaran.
"Aku
hanya... mengaguminya," akhirnya Ulfa berkata pelan. "Tapi itu tidak
penting. Dia tidak mungkin melihatku dengan cara yang sama."
"Jangan
pesimis dulu," Izza yang biasanya pendiam ikut berbicara. "Kamu tidak
akan pernah tahu apa yang ada di dalam hati seseorang."
Suatu
sore setelah jamaah Ashar, Kyai Ihsanuddin mengumpulkan para khodam di ruang
tamu ndalem. Ada pengumuman penting yang ingin beliau sampaikan.
"Pesantren
kita akan mengadakan acara haul Mbah Kyai Bashir bulan depan," kata Kyai
Ihsan dengan wibawanya yang khas. "Kita akan kedatangan tamu dari berbagai
daerah. Saya minta kalian semua untuk membantu persiapannya mulai sekarang."
Bunyai
Fifi kemudian membagi tugas kepada para khodam. Kang Wahab dan Kang Luki
ditugaskan untuk urusan transportasi tamu. Kang Alfan untuk dokumentasi acara.
Mbak Ita dan Mbak Risa mengurus konsumsi untuk tamu khusus. Dan yang membuat
jantung Ulfa berdegup kencang, ia dan Kang Amin ditugaskan untuk mempersiapkan
materi dan kenang-kenangan untuk para tamu.
"Kalian
berdua akan membuat buku kecil tentang sejarah pesantren dan silsilah keilmuan
Mbah Kyai Bashir," jelas Bunyai. "Ulfa yang pandai merangkai kata,
dan Amin yang hafal detail sejarah pesantren, saya yakin kalian akan bekerja
dengan baik."
Ulfa
mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia akan bekerja sama
dengan Kang Amin selama beberapa minggu ke depan. Rasanya seperti doa-doa yang
ia panjatkan setiap malam mulai didengar.
Keesokan
harinya, Ulfa dan Kang Amin mulai bekerja di perpustakaan kecil ndalem. Awalnya
suasana canggung menyelimuti mereka. Ulfa yang biasanya cerewet mendadak
kehilangan kata-kata, sementara Kang Amin tetap dengan sikapnya yang pendiam.
"Kita
mulai dari mana ya, Kang?" tanya Ulfa akhirnya, memecah keheningan.
Kang
Amin membuka beberapa buku catatan tua. "Mungkin sebaiknya kita mulai dari
silsilah keluarga Mbah Kyai Bashir dulu, baru ke sejarah pendirian
pesantren."
Mereka
mulai bekerja dengan serius. Kang Amin menceritakan detail-detail sejarah yang
ia ketahui, dan Ulfa mencatatnya dengan teliti. Sesekali mereka berdiskusi
tentang bagaimana cara menyampaikan cerita agar lebih menarik. Tanpa terasa,
kebekuan di antara mereka mulai mencair.
"Kang
Amin, kok bisa hafal semua silsilah dan sejarah pesantren?" tanya Ulfa
penasaran saat mereka beristirahat sejenak.
Kang
Amin tersenyum tipis. "Dulu saya sering menemani Abah Kyai ziarah ke makam
para sesepuh. Beliau selalu bercerita tentang perjuangan mereka. Lama-lama saya
jadi hafal dengan sendirinya."
"Kang
Amin sudah berapa lama di pesantren ini?"
"Hampir
10 tahun. Saya masuk saat masih kelas 1 MTs," jawabnya. "Kalau
Ulfa?"
"Baru
3 tahun. Saya masuk saat kelas 1 MA," Ulfa terdiam sejenak sebelum
memberanikan diri bertanya, "Kenapa Kang Amin memilih untuk menjadi
khodam? Padahal banyak alumni yang lebih memilih melanjutkan kuliah atau
mengajar."
Kang
Amin menatap ke luar jendela, ke arah santri-santri yang sedang bermain di
pelataran. "Saya merasa tenang di sini. Dan khidmah kepada guru adalah
jalan yang saya pilih untuk mendapat keberkahan ilmu."
Ulfa
mengangguk. Alasan yang sama dengan yang selalu ia katakan kepada
teman-temannya, meski ia punya alasan lain yang tersembunyi.
Hari
demi hari mereka bekerja sama, dan kedekatan mulai terjalin di antara keduanya.
Ulfa mulai terbiasa dengan kehadiran Kang Amin, dan Kang Amin yang biasanya
pendiam mulai lebih banyak berbicara saat bersama Ulfa. Mereka menemukan banyak
kesamaan dalam pandangan hidup dan cita-cita.
Suatu
sore, saat mereka sedang menyelesaikan draft akhir buku, hujan turun dengan
deras. Petir menyambar-nyambar diikuti dengan matinya listrik di seluruh
kompleks pesantren.
"Ya
ampun," Ulfa terkejut, hampir menjatuhkan penanya.
"Tenang,
sebentar saya ambilkan lilin," kata Kang Amin, beranjak dari kursinya.
Dalam
kegelapan, Ulfa merasa jantungnya berdebar kencang. Bukan karena takut gelap,
tapi karena menyadari bahwa hanya ada mereka berdua di perpustakaan ini. Ia
memejamkan mata dan membaca doa untuk menenangkan dirinya.
Kang
Amin kembali dengan sebatang lilin. Cahaya temaram lilin menerangi wajahnya,
membuat bayang-bayang lembut di fitur wajahnya yang tegas.
"Bagaimana
kalau kita lanjutkan besok saja?" usul Kang Amin. "Sepertinya hujan
tidak akan berhenti dalam waktu dekat."
Ulfa
mengangguk setuju. Ia mulai membereskan kertas-kertas di meja, namun tangannya
yang gugup tidak sengaja menyenggol lilin. Lilin itu hampir terjatuh ke
tumpukan kertas kalau saja Kang Amin tidak segera menangkapnya.
Gerakan
refleks itu membuat wajah mereka begitu dekat untuk sesaat. Mata Ulfa bertemu
dengan mata Kang Amin dalam cahaya temaram. Ada sesuatu yang terlihat di mata
Kang Amin, sesuatu yang membuat jantung Ulfa serasa berhenti berdetak.
"Maaf,"
gumam Ulfa cepat-cepat menjauhkan diri.
Kang
Amin meletakkan lilin di tempat yang aman. "Tidak apa-apa," katanya
pelan, namun ada getaran berbeda dalam suaranya.
Mereka
berjalan keluar perpustakaan dalam diam. Di teras, Ulfa ragu-ragu karena hujan
masih turun deras.
"Biar
saya antar pakai payung," tawar Kang Amin, mengambil payung besar yang
tersandar di sudut teras.
Mereka
berjalan beriringan di bawah satu payung, melintasi pelataran yang sepi. Hanya
suara hujan yang menemani langkah mereka. Ulfa bisa merasakan bahu Kang Amin
yang sesekali bersentuhan dengan bahunya, dan ia bersyukur keremangan
menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Terima
kasih sudah membantu membuat buku ini," kata Kang Amin memecah keheningan.
"Tanpa Ulfa, mungkin saya tidak bisa menyelesaikannya dengan baik."
"Sama-sama,
Kang. Saya juga banyak belajar dari Kang Amin," balas Ulfa tulus.
Saat
mereka hampir sampai di asrama putri, langkah Kang Amin tiba-tiba melambat.
"Ulfa,"
panggilnya dengan nada serius. "Ada yang ingin saya katakan."
Ulfa
menahan napas, jantungnya berdebar kencang. "Ya, Kang?"
"Saya..."
Kang Amin tampak kesulitan menemukan kata-kata. "Saya mau minta izin untuk
berbicara dengan orang tua Ulfa, setelah acara haul nanti. Jika Ulfa tidak
keberatan."
Butuh
beberapa detik bagi Ulfa untuk mencerna maksud kalimat itu. Ketika ia akhirnya
mengerti, rasanya seperti ada kupu-kupu beterbangan di perutnya.
"Untuk
apa, Kang?" tanyanya pelan, ingin memastikan bahwa ia tidak salah paham.
"Saya
ingin melamar Ulfa, tentu jika Ulfa bersedia," jawab Kang Amin, kali ini
menatap langsung ke mata Ulfa. "Saya sudah berbicara dengan Abah Kyai, dan
beliau memberi restu."
Air
mata bahagia menggenang di pelupuk mata Ulfa. Doa-doa yang ia panjatkan setiap
malam, harapan yang ia sembunyikan rapat-rapat dalam hati, kini menjadi nyata.
"Saya...
saya bersedia, Kang," jawabnya dengan suara bergetar.
Kang
Amin tersenyum, senyum tulus yang jarang ia perlihatkan. "Terima kasih.
Saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Ulfa, insya Allah."
Mereka
sampai di depan asrama putri. Bu Hawa sudah menunggu di teras dengan wajah
cemas. "Ulfa, dari mana saja? Kami khawatir," tanyanya.
"Maaf,
Bu. Tadi menyelesaikan tugas dari Bunyai, lalu terjebak hujan," jelas
Ulfa.
Kang
Amin menyerahkan payung kepada Ulfa. "Saya permisi dulu.
Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam,"
jawab Bu Hawa dan Ulfa bersamaan.
Malam
itu, Ulfa tidak bisa tidur. Ia berbaring menatap langit-langit kamar, memutar kembali
kejadian sore tadi dalam benaknya. Ia teringat doa-doa yang selama ini ia
panjatkan setiap selesai shalat tahajud, memohon kepada Allah agar dipertemukan
dengan jodoh yang terbaik. Tidak pernah ia sangka bahwa doanya akan terkabul
dengan cara seperti ini.
Di
kamar lain di kompleks yang berbeda, Kang Amin juga terjaga. Ia membuka catatan
kecil yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Di dalamnya tertulis doa dan
harapan yang sama, memohon dipersatukan dengan gadis cerewet yang telah mencuri
hatinya sejak pertama kali bertemu di dapur ndalem tiga tahun lalu.
Hujan
perlahan reda, menyisakan aroma tanah basah yang menyegarkan. Di langit malam,
bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu, seolah ikut merayakan
pertemuan dua hati yang telah lama saling mencari dalam diam.
Tamat.
Comments