Sebatang Kara

 



Sebatang Kara

Maulida Husna Dziaqila

 

Sore itu, langit Jakarta dihiasi semburat jingga. Di taman kota yang mulai lengang, seorang pemuda duduk sendirian di bangku kayu, memandangi sepasang anak kembar yang bermain riang di kotak pasir. Tawa mereka menggema, mengingatkannya pada tawa yang telah lama hilang.

Namanya Reyhan. Usianya baru menginjak dua puluh tahun, namun sorot matanya menyimpan ribuan kisah pilu yang telah ia lalui.

---

Enam belas tahun lalu, keluarga kecil Pak Darmawan dan Bu Sari dikaruniai sepasang bayi kembar laki-laki yang sehat. Reyhan dan Rayhan, begitu mereka dinamai. Dua wajah serupa dengan binar mata yang sama. Pak Darmawan, seorang dosen di universitas negeri, dan Bu Sari, seorang guru TK, tak henti bersyukur atas kehadiran buah hati mereka.

"Lihat, sayang! Mereka mirip sekali. Bagaimana nanti kita membedakannya?" gurau Bu Sari saat menggendong kedua bayinya.

Pak Darmawan tersenyum. "Tenang, Bu. Hatiku akan selalu bisa membedakan mereka."

Kehidupan keluarga kecil itu berjalan penuh kebahagiaan. Si kembar tumbuh dengan penuh canda tawa, diiringi kasih sayang yang berlimpah dari kedua orangtua mereka. Hingga suatu hari, ketika si kembar berusia enam tahun, Bu Sari mulai sering mengeluh sakit kepala.

"Mungkin ibu hanya kelelahan," katanya, menenangkan kekhawatiran suami dan anak-anaknya.

Namun, sakit kepala itu ternyata pertanda sesuatu yang lebih serius. Dokter mendiagnosis Bu Sari mengidap tumor otak stadium lanjut. Pengobatan intensif dilakukan, tapi takdir berkata lain. Enam bulan setelah diagnosis, Bu Sari menghembuskan napas terakhirnya, meninggalkan Pak Darmawan dan si kembar dalam duka mendalam.

"Ibu pergi ke surga, Nak," jelas Pak Darmawan pada kedua anaknya yang masih terlalu kecil untuk memahami konsep kematian.

Malam-malam berikutnya, Reyhan dan Rayhan sering menyelinap ke kamar ayah mereka, menangis terisak karena merindukan sang ibu.

"Kenapa ibu tidak kembali, Ayah?" tanya Reyhan dengan mata sembab.

Pak Darmawan hanya bisa memeluk kedua putranya erat-erat, berusaha menjadi benteng kekuatan meski hatinya sendiri hancur berkeping-keping.

---

Dua tahun berlalu sejak kepergian Bu Sari. Si kembar kini berusia delapan tahun dan mulai beradaptasi dengan kehidupan tanpa ibu mereka. Pak Darmawan berusaha keras menjadi ayah sekaligus ibu bagi putra-putranya.

Hingga suatu hari, Rayhan mulai sering mengeluh sakit dan tubuhnya lebih cepat lelah dibanding saudara kembarnya. Kekhawatiran Pak Darmawan terbukti ketika hasil pemeriksaan menunjukkan Rayhan menderita leukemia—penyakit kanker darah yang ternyata diturunkan dari garis keluarga ibunya.

"Kenapa harus Rayhan, Dok? Kenapa bukan saya saja?" ratap Pak Darmawan di ruangan dokter.

"Penyakit genetik memang sulit diprediksi, Pak. Kadang hanya mengenai salah satu anak kembar. Tapi kami akan berusaha yang terbaik untuk pengobatan Rayhan," ujar dokter menenangkan.

Pengobatan intensif dimulai. Rayhan yang kecil harus menjalani kemoterapi berkali-kali. Rambutnya rontok, tubuhnya semakin kurus, tapi semangatnya tak pernah padam. Reyhan selalu setia menemani kembarannya, bahkan rela bolos sekolah hanya untuk membacakan cerita kesukaan Rayhan di rumah sakit.

"Rey, kalau aku pergi seperti ibu, kau jangan sedih ya," bisik Rayhan suatu malam.

"Kau tidak akan kemana-mana! Kita sudah berjanji akan selalu bersama, ingat?" Reyhan kecil bersikeras, air mata menggenang di pelupuk matanya.

Namun takdir kembali memisahkan mereka. Enam bulan setelah diagnosis, kondisi Rayhan semakin memburuk. Di hari ulang tahun mereka yang kedelapan, Rayhan menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang, ditemani ayah dan saudara kembarnya.

---

Kehilangan ibu dan saudara kembar dalam rentang waktu dua tahun membuat Reyhan kecil nyaris kehilangan semangat hidup. Ia sering mengurung diri di kamar, berbicara pada foto Rayhan seolah kembarannya masih ada.

Pak Darmawan, meski dihantui duka mendalam, berusaha tegar demi putra semata wayangnya yang tersisa. Ia mendedikasikan hidupnya untuk membesarkan Reyhan dengan penuh kasih sayang, berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan Bu Sari dan Rayhan.

"Kau masih memiliki aku, Nak. Dan di dalam dirimu, ada sebagian dari ibu dan Rayhan. Mereka tidak benar-benar pergi," kata Pak Darmawan sambil memeluk Reyhan.

Waktu berlalu. Reyhan tumbuh menjadi remaja yang pendiam namun cerdas. Ia mewarisi kecintaan ayahnya pada ilmu pengetahuan dan buku-buku. Di usianya yang kelima belas, Reyhan berhasil memenangkan olimpiade sains tingkat nasional—sebuah pencapaian yang membuat Pak Darmawan sangat bangga.

"Ini untuk Ibu dan Rayhan, Yah," kata Reyhan sambil menunjukkan medali emasnya.

Pak Darmawan tersenyum haru. "Mereka pasti sangat bangga padamu, Nak."

Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Menjelang ulang tahun Reyhan yang keenam belas, Pak Darmawan mulai sering mengeluh sesak napas dan nyeri dada. Dokter mendiagnosis serangan jantung dan menyarankan operasi bypass jantung segera.

"Jangan khawatir, Yah. Ayah pasti sembuh," Reyhan berusaha tegar, meski ketakutan menghantuinya.

Operasi berjalan lancar, tapi komplikasi pascaoperasi tidak dapat dihindari. Sistem kekebalan Pak Darmawan yang lemah memicu infeksi yang sulit dikendalikan. Dua minggu setelah operasi, Pak Darmawan menyusul istri dan putra bungsunya, meninggalkan Reyhan sebatang kara di usianya yang masih sangat muda.

---

Kini, empat tahun setelah kepergian ayahnya, Reyhan hidup sendirian di rumah peninggalan keluarganya. Ia berhasil melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi berkat beasiswa prestasi dan tabungan yang ditinggalkan ayahnya.

Setiap sore Minggu, Reyhan akan mengunjungi taman kota—tempat keluarganya dulu sering menghabiskan waktu bersama. Di sana, sambil memandangi anak-anak bermain, ia seolah melihat bayangan masa kecilnya bersama Rayhan, ditemani senyum hangat ibu dan ayahnya.

"Kalian pergi terlalu cepat," bisiknya pada angin sore, "tapi aku akan terus hidup untuk kalian."

Kehilangan seluruh keluarga di usia muda membuatnya dewasa sebelum waktunya. Reyhan belajar bahwa hidup tak selalu adil, tapi ia juga belajar tentang ketangguhan dan harapan. Meski sebatang kara, ia tidak pernah merasa benar-benar sendiri. Kenangan dan cinta dari keluarganya selalu hidup dalam setiap detak jantungnya.

Saat matahari mulai tenggelam, Reyhan bangkit dari bangku taman. Esok adalah hari baru—hari di mana ia akan kembali berjuang, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk tiga orang tercinta yang kini mengawasinya dari tempat yang jauh.

"Aku akan membuat kalian bangga," janjinya dalam hati, melangkah pulang dengan tekad yang semakin kuat untuk menjalani hidup dengan penuh makna.

Sebatang kara, tapi tidak pernah sendiri. Itulah Reyhan dan kisahnya yang masih terus berlanjut. Selesai.

 

Comments

Popular posts from this blog

Bisikan di Kamar Mandi

Sang Jenderal telah Menikah

Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren