Si Tukang Maling
Si Tukang Maling
Maulida
Husna Dzi Aqila
Langit
senja memerah di atas Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro. Di gerbang
pesantren, seorang gadis dengan wajah tertunduk melangkah keluar sembari
menyeret koper usangnya. Nila, santri yang baru tiga bulan menghuni pesantren
itu, tidak menoleh ke belakang. Tidak ada yang mengantar kepergiannya. Tidak
ada pelukan perpisahan. Hanya bisikan "si tukang maling" yang masih
terngiang di telinganya.
"Maafkan
aku, Ayah, Ibu," bisiknya lirih. Air mata mengalir di pipinya yang pucat.
"Aku sudah gagal."
Di
balik gorden ruang tamunya, Kyai Ihsanuddin dan Bunyai Fifi menatap kepergian
Nila dengan wajah sendu. Keputusan untuk mengeluarkan santri selalu menjadi
momen paling berat bagi mereka.
"Apakah
keputusan kita terlalu keras, Pak Kyai?" tanya Bunyai Fifi pelan.
Kyai
Ihsan menghela napas panjang. "Terkadang ketegasan diperlukan untuk
menjaga kemaslahatan bersama, Bu Nyai. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits,
'Segala perkara itu dinilai sesuai dengan niatnya.' Niat mencuri berulang kali
tidak bisa lagi ditolerir."
Dua
minggu sebelumnya, suasana kantin putri begitu ramai setelah pengajian kitab
kuning bersama Kyai Ihsanuddin. Mbak Qia, kepala kantin putri yang jago
berbahasa Inggris itu, sedang sibuk melayani santri-santri yang kelaparan.
"Mbak,
gorengan lima, sama es teh manis dua," seru Ulfa dengan suaranya yang
lantang. Seperti biasa, mulutnya tidak bisa diam. "Eh, Rizka, katanya ada
santri baru ya di kamar sebelah?"
"Iya,
namanya Nila. Orangnya pendiam, tapi ramah," jawab Rizka yang selalu
update tentang siapa pun di pesantren. "Katanya dia dari Surabaya."
Nila
yang baru saja masuk kantin tersenyum tipis mendengar namanya disebut. Gadis
berkerudung biru muda itu menghampiri meja pesanan.
"Assalamualaikum,
Mbak. Saya mau beli roti dan air mineral," ujarnya sopan.
Mbak
Qia tersenyum ramah. "Waalaikumsalam. Sebentar ya."
Saat
Mbak Qia berbalik mengambil pesanan, Nila melirik kotak uang yang tidak
tertutup rapat di bawah meja kasir. Tangannya sedikit gemetar, namun dengan
cepat dia memasukkan beberapa lembar uang ke dalam saku roknya saat tidak ada
yang memperhatikan.
Tiga
bulan sebelumnya, di rumah sederhana pinggiran Surabaya.
"Nila,
Ayah sudah tidak sanggup membiayai sekolahmu di kota," ujar ayahnya dengan
wajah sendu. "Pesantren Maulana Malik Ibrahim di Bojonegoro menawarkan
beasiswa setengah untuk santri baru. Kamu mau, Nak?"
Nila
menatap ayahnya yang kelelahan. Bahunya yang dulu tegap kini sedikit
membungkuk. Sejak PHK besar-besaran di pabrik tempatnya bekerja, ayahnya hanya
menjadi tukang ojek dengan penghasilan tidak menentu. Ibunya sudah
sakit-sakitan sejak setahun lalu.
"Baik,
Ayah. Nila mau," jawabnya mantap, meski hatinya berat meninggalkan
orangtuanya dalam kondisi seperti ini.
Malam
sebelum keberangkatan, Nila mendengar percakapan orangtuanya dari balik pintu
kamar.
"Beasiswa
setengahnya masih terlalu mahal untuk kita," suara ibunya parau.
"Bagaimana dengan biaya hariannya nanti?"
"Aku
sudah pinjam uang dari Pak RT," jawab ayahnya lesu. "Setiap bulan
kita harus mencicilnya."
Hati
Nila remuk mendengarnya. Dia bertekad untuk tidak menjadi beban bagi
orangtuanya.
"Ada
yang kehilangan uang lagi?" suara Bu Hawa, kepala asrama putri, menyentak
keheningan malam setelah jamaah Isya.
Husna
mengangkat tangannya. "Saya, Bu. Uang saku bulanan saya hilang dari laci
meja."
Bu
Hawa menghela napas. "Ini sudah kasus kelima bulan ini. Siapa pun yang
mengambil uang teman-temannya, sebaiknya mengaku sekarang juga."
Ruangan
itu sunyi. Nila menunduk dalam-dalam, jari-jarinya meremas ujung kerudungnya.
"Baiklah,
kalau tidak ada yang mengaku, terpaksa saya akan lapor ke Kyai Ihsan untuk
meminta bantuan Pak Misqol," ancam Bu Hawa.
Bisik-bisik
ketakutan terdengar di seluruh ruangan. Nama Pak Misqol, ahli spiritual dari
Balen yang bersahabat dengan Kyai, selalu membuat para santri merinding. Konon,
dia bisa mengetahui siapa yang berbohong hanya dengan menatap matanya.
Dua
bulan sebelumnya, Nila duduk di tepi ranjangnya, membaca surat dari ibunya
dengan tangan gemetar:
Anakku,
maafkan ibu dan ayah. Ibu harus dirawat di rumah sakit lagi. Ayah terpaksa
meminjam uang lagi untuk biaya pengobatan. Jangan khawatirkan kami. Fokuslah
belajar di pesantren.
Nila
meremas surat itu. Uang sakunya sudah habis untuk membeli kitab dan kebutuhan
sehari-hari. Bagaimana dia bisa membantu orangtuanya?
Ketika
itulah matanya tertuju pada dompet milik Khalila yang sedikit terbuka di atas
meja. Tanpa pikir panjang, dia mengambil beberapa lembar uang. "Aku akan
mengembalikannya nanti," janjinya dalam hati.
Tapi
janji itu tidak pernah ditepati. Sebaliknya, satu kali pencurian berubah
menjadi kebiasaan. Setiap kali surat dari rumah datang, Nila semakin terpuruk
dalam lingkaran dosa.
Seminggu
kemudian, Nila tergesa-gesa memasuki kantin putri. Wajahnya pucat dan tangannya
gemetar. Dia menghampiri Mbak Qia.
"Mbak,
saya mau beli roti."
Mbak
Qia sedang sibuk menghitung uang di kotak kasir dengan kening berkerut.
"Sebentar ya, Nila. Saya sedang menghitung uang. Sepertinya ada yang
kurang."
Jantung
Nila berdebar kencang. Dia berbalik, berniat meninggalkan kantin, namun
tiba-tiba...
"Tunggu,"
suara Bu Fika, kepala keamanan putri yang pendiam namun tajam pengamatannya,
menghentikan langkahnya. "Bisa kamu buka sakumu, Nila?"
Nila
membeku. Seluruh kantin mendadak sunyi. Semua mata tertuju padanya.
"S-saya
tidak..." Nila tergagap.
"Buka
sakumu sekarang," tegas Bu Fika.
Dengan
tangan bergetar, Nila mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya. Mbak Qia
memeriksa uang tersebut.
"Ini
uang dengan nomor seri yang saya tandai kemarin," kata Mbak Qia dengan
suara kecewa.
Khalila,
si jenius yang sedang mengerjakan tugas di sudut kantin, mendongak dari
bukunya. "Jadi selama ini kamu pelakunya?"
Air
mata Nila jatuh bercucuran. "Maafkan saya... saya..."
Ruang
kantor Kyai Ihsanuddin terasa pengap sore itu. Nila duduk di hadapan Kyai
dengan kepala tertunduk dalam. Bu Hawa dan Bu Fika berdiri di belakangnya.
"Nila,"
suara Kyai Ihsan terdengar berat namun lembut. "Apa yang mendorongmu
melakukan ini semua?"
Nila
tidak sanggup menjawab. Air matanya jatuh menetes ke lantai.
"Kami
menemukan ini di kamarmu," Bu Fika menyerahkan sebuah amplop berisi uang
dan beberapa surat dari orangtuanya.
Kyai
Ihsan membaca surat-surat itu dengan seksama. Wajahnya melembut sedikit.
"Anakku, aku memahami kesulitanmu. Tapi dalam Islam, kesulitan tidak
pernah membenarkan cara yang haram. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an,
'Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil.'"
"Maafkan
saya, Kyai," isak Nila. "Saya khilaf."
"Ini
bukan khilaf lagi, Nila. Kamu telah melakukan ini berkali-kali," ujar Bu
Hawa dengan nada tegas. "Ada tujuh kasus kehilangan uang yang telah
dilaporkan. Dan kita tidak tahu berapa banyak yang tidak dilaporkan."
Kyai
Ihsan menghela napas panjang. "Kamu harus mengembalikan semua uang yang
kamu ambil. Dan kamu harus meminta maaf kepada seluruh santri yang telah kamu
rugikan."
Keesokan
harinya di aula pesantren, Nila berdiri di hadapan seluruh santri putri,
mengakui kesalahannya dengan air mata berlinang. Namun, alih-alih pengampunan,
dia mendapatkan tatapan sinis dan bisikan-bisikan menusuk.
"Si
tukang maling," bisik Ulfa dengan suara yang tidak terlalu pelan.
"Munafik,
pura-pura alim," tambah santri lain.
Rizka,
yang biasanya suka ikut campur urusan orang lain, menyebarkan cerita tentang
Nila ke seluruh pesantren, bahkan sampai ke asrama putra.
Hari-hari
berikutnya adalah neraka bagi Nila. Tidak ada yang mau duduk bersamanya di
kelas atau di kantin. Semua santri mengabaikannya, beberapa bahkan secara
terang-terangan menghinanya.
"Maling!
Jangan dekat-dekat, nanti barangmu hilang," ejek beberapa santri saat Nila
lewat.
Saat
jadwal mengaji Al-Qur'an, tidak ada yang mau sekelompok dengannya. Saat
musyawarah kelas, pendapatnya selalu diabaikan.
Malam
itu, di rumah Kyai Ihsan, sebuah rapat darurat diadakan. Kyai Ihsan, Bunyai
Fifi, Bu Hawa, Bu Fika, dan beberapa ustadz ponpes hadir.
"Saya
mendapat laporan bahwa Nila masih mengambil barang milik santri lain,"
ujar Bu Fika. "Kemarin, sebuah gelang emas milik Husna hilang. Kami
menemukannya di kotak sepatu Nila."
Kyai
Ihsan mengusap wajahnya yang lelah. "Apakah Nila mengakuinya?"
"Dia
mengaku, tapi berjanji tidak akan mengulanginya lagi," jawab Bu Hawa.
"Ini sudah ketiga kalinya dia berjanji seperti itu."
Bunyai
Fifi, yang selalu lembut dan penuh pengertian, kini terlihat berat hati.
"Kita sudah memberinya kesempatan berkali-kali, Pak Kyai. Saya sudah
mencoba berbicara dengannya dari hati ke hati. Saya juga sudah menawarkan
bantuan untuk masalah keluarganya. Tapi sepertinya kebiasaan mencuri itu sudah
mendarah daging."
"Para
santri juga sudah mulai resah," tambah Pak Nusa, ustadz yang hobi
berolahraga. "Beberapa orangtua menelepon, khawatir barang-barang berharga
anak mereka akan hilang."
Gus
Iib, adik Kyai Ihsan yang ahli dalam hal ghaib, menambahkan, "Menurut
pengamatan saya, Nila seperti sudah kecanduan mencuri. Ini bukan hanya masalah
kebutuhan ekonomi lagi."
Kyai
Ihsan menatap foto pendiri pesantren yang tergantung di dinding. "Dengan
berat hati, saya rasa kita tidak punya pilihan lain," ujarnya akhirnya.
"Demi kemaslahatan bersama, Nila harus dipulangkan."
Tiga
hari kemudian, Nila dipanggil ke ruang Kyai Ihsan. Dia sudah bisa menebak apa
yang akan disampaikan.
"Nila,"
Kyai Ihsan memulai dengan suara berat. "Kami telah mempertimbangkan segala
sesuatunya dengan seksama. Kami memahami kesulitan keluargamu, tapi pesantren
adalah tempat untuk belajar dan mengembangkan akhlak mulia. Apa yang kamu lakukan
telah meresahkan banyak santri."
Bunyai
Fifi menambahkan dengan lembut, "Kami sudah memberimu kesempatan
berkali-kali, Nila. Tapi kamu tetap mengulangi kesalahanmu."
Nila
hanya bisa menunduk, air matanya jatuh tanpa suara.
"Dengan
berat hati, kami memutuskan untuk memulangkanmu," ujar Kyai Ihsan tegas
namun tetap penuh wibawa. "Ini bukan hukuman, tapi sebuah pelajaran.
Semoga di luar sana, kamu bisa introspeksi diri dan memperbaiki
perilakumu."
"Kami
telah menghubungi ayahmu," kata Bunyai Fifi. "Beliau akan menjemputmu
besok pagi."
Namun,
malam itu, Nila menulis surat untuk orangtuanya dan diam-diam pergi sebelum
ayahnya datang. Dia tidak sanggup menghadapi kekecewaan di mata ayahnya.
Kembali
ke senja itu, Nila melangkah gontai meninggalkan pesantren. Dia tidak tahu
harus ke mana. Pulang ke rumah berarti menghadapi kekecewaan orangtuanya. Tapi
dia sudah tidak punya tempat lagi di pesantren.
"Nila!"
Sebuah
suara menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan melihat Mbak Risa, khodam Bunyai
Fifi yang misterius itu, berlari kecil mengejarnya.
"Ini
dari Bunyai Fifi," ujar Mbak Risa, menyerahkan sebuah amplop. "Beliau
bilang, meskipun kamu harus pergi, bukan berarti kamu kehilangan kesempatan
untuk bertaubat dan memulai hidup baru."
Nila
menerima amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada sejumlah uang dan
secarik kertas bertuliskan: "Untuk biaya pulang dan pengobatan ibumu.
Ingatlah, pintu taubat selalu terbuka bagi siapa pun yang
bersungguh-sungguh."
Air
mata Nila kembali menetes. Dia tidak pantas menerima kebaikan ini, tapi dia
tahu ini adalah kesempatan terakhirnya untuk berubah.
"Sampaikan
terima kasih saya kepada Bunyai," bisiknya parau. "Dan maaf, untuk
semuanya."
Mbak
Risa mengangguk. "Ingatlah, Nila. Seberat apa pun kesalahanmu, Allah Maha
Pengampun selama kamu mau bertaubat dengan sungguh-sungguh."
Nila
mengangguk pelan, lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan pesantren. Hatinya
hancur, tapi ada secercah harapan bahwa suatu hari nanti, dia akan mampu
menebus kesalahannya dan membuktikan bahwa "si tukang maling" bisa
berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Di
balik gorden, Kyai Ihsan dan Bunyai Fifi mengamati kepergian Nila dengan doa di
hati mereka, berharap gadis itu akan menemukan jalannya kembali ke fitrah yang
suci.
"Allah
tidak melihat rupa dan hartamu, tapi Dia melihat hati dan amalmu," gumam
Kyai Ihsan, mengutip hadits Nabi Muhammad SAW. "Semoga Nila menemukan
hidayah-Nya."
Langit
senja yang kemerahan perlahan berganti gelap, menandai berakhirnya satu babak
kehidupan dan dimulainya babak yang baru, baik bagi Nila maupun bagi Pesantren
Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro.
Tamat.
Comments