Posts

Showing posts from October, 2025

Lima Bintang Kecil di Bukit Soko

Image
  Lima Bintang Kecil di Bukit Soko Moh. Kholil Mughofar, S.Pd. (Editor & Guru Menulis)   Matahari pagi menyinari lereng-lereng hijau Kecamatan Soko dengan lembut. Di antara pepohonan jati yang rimbun, tersembunyi sebuah gubuk kecil yang tampak sederhana dari luar. Namun siapa sangka, gubuk itulah rumah bagi lima anak yatim yang telah menjadi pahlawan kecil tanpa diketahui siapa pun. "Ayo, Tono! Bangun!" seru Sari, gadis berusia empat belas tahun dengan mata berbinar-binar. Rambutnya yang dikepang dua bergoyang-goyang saat ia menggoyangkan bahu temannya yang masih tertidur pulas. Tono menggeliat malas. "Sebentar lagi, Sari. Mimpi aku indah sekali tadi," gumamnya sambil mengucek mata. "Mimpi tidak akan mengisi perut kita," sahut Budi dari sudut gubuk. Anak laki-laki berusia lima belas tahun itu sudah bangun sejak subuh, merapikan peralatan-peralatan khusus mereka. "Lagipula, Pak Karno bilang ada informasi penting hari ini." Wati...

Tinta dan Dendam di Bawah Lentera

Image
  Tinta dan Dendam di Bawah Lentera M. Bahrul Ulum, S.Hi. (Wali Kelas 8 SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro) Hujan gerimis membasahi jalanan Batavia yang gelap, hanya diterangi oleh sinar temaram lentera minyak yang berayun-ayun ditiup angin malam. Di balik jendela gedung pemerintahan kolonial, seorang lelaki berusia pertengahan tiga puluhan duduk membungkuk di atas meja tulis kayu jati yang penuh dokumen. Raden Mas Ulum Widjaya, sang pejabat tinggi pribumi, menatap laporan keuangan proyek kanal baru dengan mata yang semakin menyipit. "Dua ribu gulden untuk upah buruh? Padahal hanya seratus orang yang bekerja..." bisiknya sendiri, jarinya menelusuri baris-baris angka yang jelas-jelas dipalsukan. Dari balik tumpukan dokumen, matanya menangkap coretan tinta merah—sebuah tanda yang ia buat sendiri setiap kali menemukan ketidakberesan. Sudah terlalu banyak coretan merah belakangan ini. Tiba-tiba, pintu ruang kerjanya diketuk pelan. "Mas Ulum, ada tamu,...

Rinduku di Bawah Pohon Waru

Image
  Rinduku di Bawah Pohon Waru Ulfa Ulul Haslinda Siswi SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro   Angin sore turun pelan di sudut desa Wonosari, membawa bau tanah yang baru saja disiram gerimis. Pohon waru tua di halaman rumah Nyai Sarinem menggugurkan satu-dua daunnya, seperti ingin mengingatkan bahwa musim sedang berubah. Tapi bagi Sarinem, waktu tak lagi diukur dari musim. Ia menghitung hari dengan satu ukuran: berapa lama lagi sampai suaminya pulang? Di serambi rumah panggung yang dindingnya sudah retak di sana-sini, Sarinem duduk bersila di atas tikar pandan. Di sampingnya, seorang gadis kecil sedang merangkai bunga kamboja dalam mangkuk tanah liat. “Nduk,” kata Sarinem sambil mengelus rambut si kecil. “Kau tahu, waktu embah seusiamu, embah suka memetik bunga kamboja juga. Tapi bukan untuk main. Untuk ditaruh di seragam tentara kakekmu, sebelum ia berangkat perang.” “Perang?” tanya si kecil, Raras, matanya membesar. “Iya. Kakekmu, Sastro Dinata, ikut bergeri...

Di Antara Dentum Meriam

Image
  Di Antara Dentum Meriam Mauluda Husna Dziaqila Siswi SMP Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro   Langit sore di lereng Gunung Wilis memerah, seakan mengisyaratkan bahwa malam nanti akan membawa duka baru. Kabut tipis turun, membungkus kebun kopi yang bergoyang pelan diterpa angin. Namun, udara tak lagi wangi; ia bercampur bau mesiu dan daun terbakar. Di jalan setapak yang licin oleh tanah liat, Raden Wirya berjalan tergesa sambil merangkul Sulastri, istrinya yang tengah hamil sembilan bulan. Setiap langkah sang istri diiringi tarikan napas berat. "Mas… aku… tidak kuat lagi…" suara Sulastri terputus-putus. Wirya menatap wajah pucat itu. “Bertahanlah, Las. Sedikit lagi… kita harus menjauh dari jalan utama. Mereka akan menyisir desa sebentar lagi.” Dari kejauhan, letusan senapan terdengar seperti petir yang tak menunggu hujan. Sesekali, bayangan serdadu Belanda terlihat di balik pepohonan—bayangan yang membuat Wirya mempererat genggamannya pada tangan Sulastri. “...

Hujan di Meja Tinta

Image
  Hujan di Meja Tinta Mui’zzatin Nufus Bidzikrillah Siswi SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro   Tahun 1938, Desa Kramat Sari hanyalah sebuah titik kecil di peta Hindia Belanda, tapi di mata penduduknya, desa itu adalah dunia yang lengkap—dengan sawah berpetak-petak yang memantulkan cahaya matahari, deretan pohon kelapa yang bergoyang diterpa angin laut, dan pasar kecil yang selalu riuh setiap Senin dan Kamis. Di tengah desa, berdirilah Sekolah Rakyat Kramat Sari. Bangunannya sederhana, berdinding papan kayu, beratap seng yang di sudut-sudutnya mulai berkarat. Jika angin laut bertiup kencang, atap itu akan berderit, dan suara gemerisik papan terdengar seperti orang berbisik-bisik di langit. Meja-meja kayu di dalam kelas penuh goresan nama anak-anak, coretan angka, dan kadang bekas tinta yang tumpah. Pagi itu, lonceng sekolah yang terbuat dari potongan besi tua dipukul tiga kali oleh Pak Darmin, penjaga sekolah. Anak-anak berlari dari segala arah: ada yang masih m...

Gaun Noni Itu

Image
  Gaun Noni Itu Rizka Dewi Nur Aini Siswi SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro Matahari sore merayap turun perlahan di balik pepohonan jati, menyelimuti kota kecil dengan warna jingga yang hangat namun getir. Di sebuah gang sempit berbatu, di antara rumah-rumah beratap genteng merah yang mulai kusam, berdirilah Marni, anak perempuan yang biasa dipanggil si “Mata Embun”. Matanya melekat pada sekelompok anak noni Belanda yang melintas di jalan besar, berlari-lari kecil dengan gaun-gaun yang berkibar. Salah satu di antaranya, gadis kecil dengan rambut pirang yang dikuncir dua, mengenakan gaun biru muda yang dihiasi renda dan pita berkilau. Gaun itu tampak hidup, seolah menari mengikuti langkah si pemiliknya. Marni mengerutkan dahi, sebuah perasaan asing menggerayangi hatinya "Betapa indahnya gaun itu," bisiknya lirih. Malam itu, di rumah sederhana mereka, Marni duduk di dekat meja makan. Ayahnya, Pak Rahmat, baru saja kembali dari mengayuh becak. Tubuhnya lela...